Sabtu, 06 September 2008

Review Java Bleu, resto Perancis yang luar biasa (saya udah bilang belum kalo ini luar biasa?)

Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak. Begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sebuah tempat yang dijuluki seorang teman yang adalah seorang jurnalis gaya hidup sebagai tempat menjual foie gras alias hati angsa terbaik di Jakarta, dan kata bos saya ada di lonely planet Indonesia. Tempat tersebut bernama Java Bleu, sebuah restoran makanan Perancis yang beralamat di Komp D-Best (Plaza Golden) Blok E-24 Fatmawati. Tempat tersebut ternyata hanya berjarak 10-15 langkah ayunan kaki (literally) dari kantor saya yang berada tepat di seberangnya. Saya yang pernah masuk kesana untuk menanyakan kelas salsa mereka tidak pernah menduga bahwa tempat tersebut adalah sebuah restoran, karena rupanya sama seklai tidak berbeda dengan deretan ruko di samping, seberang dan belakangnya. Tidak ada yang istimewa dari eksterior bangunan tersebut.











Berbahagialah saya, karena untuk menjawab rasa penasaran si big boss dan menjamu tamu kantor, kami diajak untuk makan malam disana. Karena sepertinya tempat yang tersedia kecil, kami memesan tempat lewat telepon, sekaligus menunya agar tidak terlalu menunggu lama ketika datang. Pegawai restoran juga cukup membantu menjelaskan melalui telepon mengenai enu yang kami pesan karena istilahnya menggunakan bahasa Perancis. Menu yang kami pesan adalah 4 porsi Beef Brochette (@ 85rb, jadi 340rb), 1 pork creole (76rb), 1 ox tounge (70rb), 2 Duck confit (@88rb jadi 176rb), 1 quiche forestiere mushroom small (30rb), 2 iced lemon tea (@12 rb jadi 24rb), 1 lemonade (14rb), 1 iced tea (8rb), 1 equil sparkling (18rb), 4aqua bottle (26rb), 1 botol shiraz Goundrey (285rb), 1 Chocolate Tart (35rb), 1 Profiteroles (39rb), 1 Pain perdu (39rb), 1 chocolate mousse (35rb), 1 tart of the day (35rb). Ditambah pajak 10% dan service charge 5 %, total kerusakan kas kantor saya (untung bukan kas saya) adalah Rp.1.449.000


Pembahasan pertama adalah mengenai interior. Gedung java bleu teridiri dari 4 lantai yaitu basement yang berfungsi sebagai dapur, lantai satu yang terdiri dari 5-6 meja, lantai 2 yang biasanya dipakai kelas salsa setiap hari rabu, dan lantai 3 yang sedang direnovasi untuk jadi butik penjualan batik. sepanjang dinding ruangan, dipenuhi oleh foto-foto dengan gaya klasik Perancis yang ternyata juga dijual. Ketika kami datang, semua meja terisi penuh sehingga terasa agak sesak.


Sekarang, mari kita memasuki bagian paling penting yaitu pembahasan makanan. Prinsip yang dianut oleh saya dan rekan-rekan kantor saya adalah jangan memesan menu yang sama agar kami bisa saling mencicipi, karena kami tidak mungkin merecoki piring si big boss dan tamunya. Makanan yang pertama dibahas disini adalah pesanan saya sendiri yaitu Duck Confit. Ketika makanan pertama kali datang, saya agak kecewa karena untuk sepotong paha bebek yang ukurannya super besar berwarna kuning keemasan dan berharga 88rb, tampilannya tidak semegah yang saya bayangkan. Bahkan, tidak ada saus sama sekali, hanya setumpuk kentang goreng berbentuk dadu dan basil serta bumbu salad. Tetapi ternyata saya salah besar! Ketika saya mengayunkan garpu dengan nyaris tanpa tenaga, daging bebek terpotong dengan sangat mudah. Kulitnya renyah dan garing serta dagingnya lembut sekali bahkan jauh lebih lembut dari daging ayam. Bumbunya meresap hingga ke dalam bahkan tidak setitik sambal atau saos pun dibutuhkan. Hal ini bahkan diakui teman saya yang termasuk kategori orang yang mengaduk semua saus jadi satu, dan dia tidak menggunakan saus sambal sama sekali karena memang bebeknya sudah enak. Kalo rekan JS-ers ada yang familiar denga serial kartun Jepang Born To Cook, suapan pertama bebek membuat saya terbang ke udara, hehehe. Saya kira kentang yang ada hanya tambahan saja tapi ternyata rasanya spicy, renyah dan gurih hingga saya pun tidak tega menodai si kentang dengan saus tomat seperti biasa saya lakukan.




Berikutnya adalah Ox Tongue. Sebagai penikmat lidah, memang menurut saya semua olahan lidah enak. Di Java Bleu, lidah disetai dengan saus kental berwarna kecoklatan yang rasanya cenderung manis gurih yang membuat mashed potatoes yang menyertainya terasa enak sekali. Bahkan teman saya bilang itu adalah mashed potatoes terenak yang pernah dia makan.


Berikutnya adalah beef brochette tenderloin berupa potongan daging yang ditusuk-tusuk. Rasanya buat saya plain meski dagingnya empuk. Saya kira rasa plain disebabkan karena lidah indonesia saya. Tapi ternyata bos saya yang british dan tamunya yang american menyatakan hal yang sama. Untungnya beef brochette ini disertai oleh semangkuk krim yang ternyata terdiri dari potongan kentang dan krim keju yang lembut dan gurih, dan bahkan enak dimakan tanpa dagingnya.



Giliran berikutnya jatuh kepada...quiche isi jamur. Sekilas bentuk quiche ini seperti cup cake dan makanan sejenisnya. Begitu menu pesanan teman saya ini datang, saya kaget karena porsi smallnya yang benar2 kecil dan buat saya seperti porsi bayi. Tapi begitu teman saya memasukkan suapan pertamanya, dia langsung bilang "kenapa gw gak pesen yang large sekalian??? ini enak banget!". Rasanya creamy dan lembut di dalam.


Berhubung saya tidak makan daging babi dan orang yang memesan pork creole tidak jadi datang, akhirnya si pork creole dibungkus. Meski besoknya saya mendapat laporan bahwa orang yang memakan pork creole bilang bahwa rasanya enak, tapi saya gak bisa liat ekspresinya, hehehe.

Sekarang dessertnya. Favorit kami semua adalah Profiteroles. Bentuknya seperti kulit soes dibelah, ditengahnya diisi oleh esktrim beku rasa vanilla dan kopi, dan disiram dengan coklat cair yang rasanya semu-semu pait. Rasanya? luar biasa!!!! Seandainya bukan karena harga diri, saya akan dengan senang hati membantu tukang cuci piring membersihkan piring yang satu itu. Kalo bebeknya bikin saya terbang ke udara, profiterolesnya bikin saya menjelajah angkasa!


Chocolate moussenya lembut, seperti agar-agar disertai dengan fla yang rasa susunya terasa sekali. 2 orang teman saya menyukai coklat mousse tersebut, tetapi buat saya coklat moussenya agak terlalu manis.







Pain perdu itu berupa potongan pisang panggang yang diberi eskrim dan saus. Lagi-lagi, ada perbedaan opini mengenai benda satu ini, karena teman saya suka sekali, sedang menurut saya sekali lagi agak terlalu manis.



Sedangkan untuk tart of the day, kami sepakat bahwa rasanya memang manis sekali.



Kejutan belum selesai. Ketika saya memesan ice tea, saya membayangkan yang datang hanya es teh biasa. ternyata, sekali lagi dugaan saya salah. Teh yang datang disajikan dalam gelas tinggi, disertai batang vanilla dan daun mint! Rasanya luar biasa enak. Saya pernah mencoba minuman mint yang rasanya aneh gak jelas, teh mint yang rasanya seperti pasta gigi, tapi yang untuk yang ini, sensasi mintnya melayang lebut di mulut saya...dengan atau tanpa gula, rasanya tetap luar biasa. Lemonade dan iced lemon teanya mempunyai tampilan rasa yang serupa, tetapi ditambah rasa asam dari lemon. Buat yang suka rasa yang asam, lemonade atau iced lemon teany sangat dianjurkan.

Begitulah pengalaman saya di Java Bleu, restoran Perancis bercita rasa luar biasa di tempat yang sangat sederhana. Malam itu adalah salah satu malam dimana perut dan indra perasa saya mendapatkan kepuasan luar biasa. Tidak heran tempat ini masuk lonely planet. Untung tempatnya sederhana, kalau mewah, saya tidak bisa membayangkan berapa harga makanan-makanan itu.

Rabu, 03 September 2008

Review Mulih Ka Desa

Petikan kecapi, tiupan suling sunda dan semilir angin pegunungan adalah 3 hal yang mengiringi kunjungan tamu di Mulih Ka Desa. Mulih Ka Desa adalah sebuah resort beserta rumah makan yang berlokasi di daerah Samarang, Garut searah dengan Kampung Sampireun. malahan, Mulih Ka Desa itu dimiliki oleh group yang sama dengan sampireun.

Tempatnya terdiri dari dereta saung-saung di atas kolam ikan dan sawah yang sengaja dibuat. Selain itu, Mulih Ka DEsa juga memiliki resort yang bisa disewa. Ketika kakak saya bertanya, harga sewa per bungallow sekitar 500rb semalam dan bisa diinapi oleh berapa orang pun meskipun jatah sarapan pagi hanya untuk 2 orang. Di bagian belakang rumah makan, ada deretan meja dan kursi bagi pengunjung yang tidak ingin makan di saung, serta taman. Taman tersebut dapat digunakan oleh anak-anak karena ada perosotan, engrang dan beberapa permainan tradisional sunda lainnya. Yang cukup unik, ada juga 2 ekor kerbau diikat di dekat saung dan bisa dinaiki oleh pengunjung.




Yang lucu, Mulih Ka Desa menggunakan perangkat makan dan minum berupa piring dan gelas kaleng yang sengaja ditetrek (wah saya tidak tahu terjemahan bahasa indonesianya apa). Kurang lebih artinya sengaja diketuk-ketuk biar agak bocel sedikit. Buat saya kok agak lucu aja, harus bayar untuk makan dengan piring kaleng. Di dalam saung pun ada kotak tisu terbuat dari anyaman yang agak kotor. Ibu saya bilang, seandainya tidak ingat bahwa suasana pedesaan yang ditawarkan, mungkin dia akan lebih ngedumel. Tapi kalau dilihat dari suasana, Mulih Ka Desa mencapai tujuannya karena saya dan keluarga betul-betul terkantuk-kantuk menikmati semilir angin dan alunan musik.



Sambil menunggu pesanan makanan datang, kami disuguhi sepiring singkong goreng yang gurih, renyah, tapi sangat berminyak. Bagi yang sedang menghindari minyak, yah...buka puasa aja dulu.







Berikut makanan yang kami pesan: 1. liwet sedang 30.525



1 babat 9300,



1 gepuk 16.000,




1 peda goreng 5500,






ayam bakar 10750,







ikan cobek 25.000,


Tahu 4950






karedok 8600,






tumis genjer 8600,










2 es cingcau 8000,













2 es kelapa butir 20.000,








Total kerusakan 141.925








Rasa makanannya secara keseluruhan biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan, saya lebih suka babat goreng di Sambara atau nasi liwet di bumi Joglo Bandung. Cuma kalau dilihat dari porsi, makanan yang kami pesan untuk berempat cukup untuk 5-6 orang terlebih nasi liwetnya Harganya pun terhitung murah. Tapi, suasananya memang patut dicoba.