Selasa, 23 Desember 2008

Review Pimento Spice Pot

Terombang-ambing di atara seorang teman yang mengatakan makanannya tidak enak dan seorang teman lain yang sangat menyarankan tempat itu, akhirnya Sabtu malam saya memutuskan untuk pergi ke Pimento, sebuah resto yang baru soft launching di jl Kemang Raya. Ketika pertama datang ke tempat itu, saya bingung dimana letak tempat makannya karena lantai satu adalah toko sepatu Wimo, dan lantai dua adalah toko baju. Neon Sign Pimento pun hanya kecil saja dan tidak ada tanda-tanda jelas dimana letak restonya. Akhirnya teman saya menunjukkan bahwa pimento terletak di lantai tiga, di tempat yang banyak pohonnya.
Ketika memasuki lantai 3 tempat Pimento berada, saya langsung menyukai suasana dan ambiencenya. Dekorasi ruangan didominasi warna putih dikontraskan dengan warna hijau tanaman hidup yang mengelilingi ruangan. Kalau siang, ada kursi di beranda luar yang bisa digunakan untuk duduk-duduk. Pencahayaan ruangan dirancang agar menciptakan suasana temaram. Tidak seperti banyak tempat lain yang juga menciptakan suasana temaram tapi menggunakan lampu yang menyorot ke arah meja sehingga menu terbaca dengan jelas, suasana Pimento memang hanya temaram saja ditambah lilin di atas meja.


atas saran pelayan ketika saya bertanya chef reccomendationnya apa, saya memesan sirloin steak dengan black pepper sauce dengan tingkat kematangan medium rare serta french fries. Dagingnya sebetulnya bisa pilih antara sirloin, tenderloin atau t-bone dengan harga yang berbeda-beda, dan juga beberapa pilihan sauce maupun olahan kentang dan nasi. teman saya memesan sate sayap ayam dengan mashed potatoes. Teman saya menyarankan agar saya memesan hot fruit tea yang menggunakan buah asli dan saya mengikuti sarannya. Pesanan yang pertama datang adalah hot fruit tea. Tehhnya disimpan dalam poci kaca yang di bawahnya diletakkan lilin untuk menjaga teh tetap hangat. Di tengah poci diletakkan potongan buah strawberry, mangga dan apel. Sayangnya, saya kecewa dengan gelas pertama saya karena rasa buahnya antara ada dan tiada mengingatkan saya kepada produk Aqua Splash beberapa tahun lalu. Tetapi, gelas kedua dimana teh telah dipanaskan lebih lama, rasa buahnya terasa dan menyatu dengan paduan yang pas dengan tehnya. Jadi kalau rekan-rekan berkesempatan kesini dan memesan hot fruit tea, lebih baik ditunggu sedikit lama agar rasa buahnya keluar.


Akhirnya pesanan kami datang. Ternyata steak yang saya pesan itu diletakkan di atas hot stone yang masih mengepul dan sedikit minyak panas, jadi harus agak hati-hati mamegangnya. Untuk steak seharga 58.000 porsinya lumayan, terlebih lagi disertai dengan salad, sayur matang dan french fries. Disediakan juga BBQ sauce dalam wadah kecil. Bagian pinggirnya sedikit alot, tetapi bagian lainnya sih empuk. Rasa dasar steaknya buat lidah Indonesia saya memang kurang nendang dan blackpeppernya kurang terasa. Untungnya di meja disediakan black pepper, white pepper, bubuk cabai dan garam. Jadi saya membubuhkan sedikit garam, sedikit black pepper dan saus tomat untuk membuat steaknya lebih berasa.


Saya justru lebih suka sate sayap ayam yang dipesan oleh teman saya. sebetulnya saya agak heran juga, sayap kok disate. Tapi ternyata rasanya enak. Dikasih bumbu dengan sedikit kecap dan potongan cabai menghasilkan rasa sedikit pedas dan manis yang enak. Apalagi ketika mashed potatoesnya dicampurkan dengan bumbu tersebut menghasilkan paduan rasa gurih, manis dan sedikit pedas yang asik.


Kapasitas ruangan Pimento lumayan besar, tetapi ketika kami kesana, di tengah kemacetan Kemang, hanya 2 meja Pimento saja yang terisi. Ketika pulang, toko sepatu dan toko baju sudah tutup dan dari luar tidak terlihat ada tanda-tanda kalau di lantai 3 restonya masih buka. Mungkin kalau petunjuknya lebih jelas, akan lebih banyak pengunjung yang datang. Secara keseluruhan sih Pimento tempatnya nyaman, luas dan rasa makanannya lumayan.

Senin, 24 November 2008

Jayapura Trip 3 -Tugu McArthur dan malam minggu di jayapura-

Setelah puas berbincang dengan ibu Rosa, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah seorang rekan kami. Dari hotel kami menuju ke Tugu McArthur yang terletak di puncak bukit. Jalan masuk ke arah tugu McArthur yang terletak di kawasan militer tidak terlalu jauh dari Sentani. Saya betul-betul menikmati perjalanan tersebut karena deretan pepohonan hijau mengiringi perjalanan kami. Jalan yang menanjak dan berkelok semakin membuat perjalanan berkesan, ditambah jendela mobil yang dibuka membuat kami bisa menikmati semilir angin yang berhembus. Sebelum kami memasuki tugu McArthur, kami harus berhenti di pos pemeriksaan terlebih dahulu dan menyerahkan kartu identitas masing-masing yang bisa diambil ketika pulang. Dari pos pemeriksaan, tugu McArthur tidak jauh lagi. Kami memasuki daerah perumahan tentara, dengan rumah-rumah kecil berderet rapi di atas bukit dengan halaman yang ditanami bunga. Entah kenapa saya jadi membayangkan halaman rumah Miss Marple salah satu tokoh karangan Agatha Christie.

Akhirnya tibalah kami di puncak bukit tempat tugu tersebut berada. Subhanallah, indah sekali. Di sekeliling bukit tersebut ada beberapa tempat duduk dimana kita bisa meliaht ke arah danau Sentani dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Suasananya sangat tenang dan menyenangkan. Bukit-bukit kecil di sekeliling danau juga terlihat dengan jelas. Ke arah kanan sedikit, kami dapat melihat pemandangan ke arah kota. Di dekat tugu tersebut, ada pos penjagaan yang di dalamnya terdapat foto-foto bersejarah ketika Jenderal McArthur dan pasukannya pertama kali mendarat di Jayapura. Setelah puas berfoto ria di kawasan tugu, kami sepakat untuk makan siang di restoran tepi danau bernama Youghwa restaurant.


Sepertinya Yougwha restaurant ini cukup terkenal karena pengunjungnya ramai. Bahkan kabarnya, SBY pun makan siang disini ketika mengunjungi jayapura. Restorannya terletak tepat di tepi danau Sentani dengan pemandangan ke arah pulau-pulau kecil dan bukit di sekitarnya. REstoran ini menjual aneka makanan laut maupun ikan air tawar. Kami memesan ikan rica-rica, capcay dan udang. Rasanya tidak mengecewakan. Selesai makan siang, kami menuju ke kota Jayapura untuk kembali berburu souvenir. Kami bertanya kepada supir apakah ada tempat yang menjual kain khas Papua, ternyata ada. Kali ini saya sangat menikmati perjalanan menuju Jayapura. Tebing-tebing tinggi mengelilingi kota Jayapura di sebelah kiri apabila kita memasukinya dari arah bandara. Di sebelah kanan, kita bisa melihat kota, laut dan pelabuhan. Sangat mengesankan. Supir membawa kami ke daerah bernama Dok V untuk menuju ke suatu koperasi yang menjual kain motif papua. Sayangnya tempat tersebut tutup.

Ketika kami mengisi bensin, Theresia sempat bertanya kepada penjaga pom tersebut apakah ada toko yang menjual batik Papua dan kami beruntung karena toko tersebut berada tidak jauh dari pom bensin meski agak masuk ke dalam. Nama toko tersebut adalah Aneka Batik yang terletak di Jl Samudra Maya No 36 Dok V Bawah Papua. Sebetulnya saya sendiri tidak begitu yakin apabila masyarakat Papua mempunyai budaya menggunakan kain, apalagi batik. Tetapi namanya saja jaman globalisasi, apapun bisa dijual oleh siapapun. Toko tersebut menjual aneka kain termasuk sutra dan sutra tulis dengan motif yang memang tidak pernah saya temukan di Jawa. Berhubung harga sutra tulisnya 200rb per meter, saya memilih membeli bahan biasa saja seharga 170rb/ 3 meter dengan motif yang sangat bagus.


Selesai berbelanja, kami ingin sekali mengunjungi pantai. Ternyata pantai terdekat itu berada di wilayah Hamadi, dekat dengan lokasi toko souvenir. kami sempat berfoto di pelabuhan yang terletak di tengah kota dimana kapal-kapal yang sandar bercampur dengan orang-orang yang berenang dan bermain air. Hari menjelang sore dan cuaca mendung. Kami sangat berharap agar hujan tidak turun dan kami bisa menikmati suasanan pantai. Supir kami minta untuk bergegas, agar matahari tidak keburu tenggelam ketika kami tiba di pantai Hamadi. DAri jalan besar, pantai Hamadi agak masuk ke dalam tetapi tidak berapa jauh. Setiap mobil yang masuk ke arah pantai dikenai biaya 5.000, tetapi mobil kami kena 10.000 mungkin karena si bos yang bule terlihat dari luar. Buat saya, pantai Hamadi mempunyai pemandangan yang unik. Di satu sisi kita dapat melihat pantai, di seberang pantai terlihat deretan rawa-rawa yang dilatarbelakangi oleh barisan bukit. Cuaca yang mendung memberikan sensasi tersendiri.

Hujan mulai turun, dan kami kembali ke mobil untuk kemudian kembali ke daerah toko souvenir. Setelah puas berbelanja, kami kelaparan dan ingin menikmati makan malam dengan suasana yang berbeda. Kami minta supir untuk kembali mengantarkan kami ke resoran di atas bukit, namun supir kami bilang bahwa restoran tersebut tutup sampai Desmeber karena pemiliknya sedang pulang kampung ke makassar. Wah, sepertinya bisnis restoran di Jayapura menjanjikan sampai si pemilik restoran cukup kaya hingga bisa berlibur berbulan-bulan tanpa harus membuka usahanya.


Sayangnya, supir yang asli NTT itu tidak terlalu mengenal jalan di Jayapura. bos saya minta agar kami dibawa makan di tepi laut. Dia membawa kami ke deretan ruko dekat laut. Jelas bos saya protes. Akhirnya dia ngotot agar si supir membelokkan mobil ke daerah belakang ruko di dekat Siwss Bell hotel, menuju ke arah laut. Beruntunglah kami, karena tenryata di ujung jalan buntu tersebut ada tempat makan bernama Blue Cafe. Tempatnya dikelilingi lampu aneka warna, dan balkon-balkon kecil di tepi laut tempat kita bisa duduk-duduk. Pemandangan yang bisa didapatkan dari restoran tersebut adalah city lights dari arah bukit-bukit di sekitar Jayapura. Mungkin tidak salah apabila Jayapura disebut sebagai Hongkongnya Indonesia. REstoran tersebut menyajikan makanan laut yang ikan, udang dan cuminya dapat kita pilih dan kemudian mereka bakar. Gabungan antara seafood panas yang mengepul di atas meja, angin laut dan city lights menimbulkan suasana yang luar biasa. Karena malam itu malam minggu, restoran tersebut juga disertai oleh pertunjukkan live music.

Ada satu benda yang tidak berhasil saya temukan, yaitu coca cola Papua New Guinea pesanan teman saya yang gemar mencoba coca cola dari berbagai negara. Si supir bilang, barang tersebut tidak diijinkan lagi masuk ke Jayapura dan hanya bisa didapatkan di daerah perbatasan. DAerah perbatasan dari Jayapura memakan waktu sekitar 2 jam dengan mobil. Sayang sekali itu adalah malam terakhir kami di Jayapura. Apabila tidak, tentu dengan senang hati saya pergi ke daerah perbatasan untuk berkunjung ke PNG. Walau tidak bawa paspor, kabarnya bisa masuk dengan menggunakan Surat perjalanan laksana paspor yang bisa dibikin di tempat.


Setelah kenyang, kami kembali ke hotel. Perjalanan pulang justru membuat saya terkaget-kaget. Ada beberapa jalan yang tidak saya perhatikan ketika pergi, dan ketika malam justru menarik perhatian saya. Di Papua ada mall baru yang cukup besar. Kalau gak salah namanya jayapura ITC atau sesuatu seperti itulah. Di sana, kita bisa menemukan Centro Departmen Store! luar biasa... tidak jauh dari Centro, kita juga bisa menemukan Krisbow Store, toko yang tentu saja khusus menjual alat-alat produk Krisbow.

Kekagetan saya semakin bertambah ketika di daerah Abepura kami terjebak.... macet. Karena saat itu malam minggu, sepertinya semua orang berniat menghabiskan waktu di luar rumah dan memenuhi toko-toko yang berderet di sepanjang jalan di Abepura, termasuk di depan KFC. Siapa sangka di sebuah kota yang terletak di ujung timur Indonesia dan membutuhkan waktu 9 jam dengan pesawat saya masih akan menemukan suasana macet. Malam itu tanggal 8 November, 2 hari sebelum hari pahlawan. Ketika melewati Taman Makam Pahlawan di daerah Abepura, ada pamandangan yang cukup mengesankan karena setiap makam dihiasi oleh lilin-lilin yang terang benderang dan menimbulkan suasana syahdu.


Ada satu hal yang membuat atasan saya penasaran. Di meja resepsionis, ada sepasang patung bebentuk orang Papua yang bentuknya cukup bagus dan diletakkan dalam kotak kaca. Sayangya, kami tidak dapat menemukan patung sejenis di setiap toko yang kami datangi. Akhirnya kami bertanya kepada resepsionis dimana patung tersebut bisa didapatkan. Resepsionisnya bilang, "Kayunya memang dibawa dari sini, tetapi patungnya diukir di Yogya". Kembali saya dan Theresia gubrak dengan sukses.


Esok paginya kami harus berangkat ke bandara untuk menuju ke makassar. Bandara Sentani minggu pagi itu sangat penuh karena ternyata berbarengan dengan keberangkatan rombongan haji dari Papua. Lebih repot lagi, bandara tersebut tidak menyediakan troli sehingga barang bawaan kami yang cukup banyak itu harus dibawa oleh 2 porter ditambah anggota rombongan sebanyak 5 orang. akhirnya pesawat Lion Air tujuan Makassar lepas landas meninggalkan tanah Papua. Semoga lain waktu, saya bisa mengunjungi kota yang berbeda di Papua. Sepertinya Sorong dan Raja Ampatnya tempat yang menarik untuk snorkling...

jayapura trip 2 -berburu souvenir-

Setelah dari rumah sakit, kami memutuskan untuk pergi makan siang. Tadinya kami mau makan di sebuah restoran di atas bukit dimana kita bisa melihat pemandangan ke arah kota jayapura, tenyata restoran tersebut sedang tutup. Akhirnya kami makan di sebuah restoran yang menyediakan masakan Cina yang terletak di kompleks pertokoan dekat Swiss Bell Hotel. Rasa makanannya lumayan, dan cukup mengenyangkan meskipun tidak istimewa. Harga yang dibanderol pun tidak mahal. Setelah selesai makan siang, atasan saya memutuskan untuk berkunjung terlebih dahulu ke kantor Unicef Jayapura terkait dengan urusan kantor.


Dalam perjalanan, saya melihat bahwa Jayapura adalah kota yang sangat hidup dan ramai dengan penduduk yang sangat beragam, gabungan antara penduduk asli dan kaum pendatang. Dua tahun yang lalu saya pernah tinggal di Banda Aceh, dan sebagai perbandingan jayapura jauh lebih ramai, jauh lebih hidup. Di sepanjang jalan saya bisa melihat orang berjualan pecel lele, ayam goreng, rumah makan padang, martabak, dan aneka macam hidangan lainnya yang buka hingga larut malam. Jadi tidak usah khawatir akan keberadaan makanan di Jayapura, termasuk makanan halal sekalipun.


Dari kantor Unicef kami bergerak ke pusat kerajinan di daerah Hamadi yang berjarak sekitar 30 menit dari kota Jayapura. Di hamadi, toko Souvenir berjejer menawarkan aneka macam barang khas Papua seperti ukiran Asmat, Biak, koteka, tas dari kulit kayu, dll. Semua pemilik toko di Hamadi adalah pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan yang menampung produk yang dibuat oleh penduduk asli papua terutama yang tinggal di daerah Sentani. Penduduk asli Papua hanya sesekali terlihat melintas di daerah Hamadi. Atasan saya dan Theresia sibuk memilih begitu banyak barang untuk dipajang di kantor kami di jakarta. Saya hanya sempat melihat beberapa toko saja dan memutuskan untuk beristirahat di mobil karena kepala saya masih sakit.
Hari telah larut dan kami memutuskan untuk makan malam di daerah Sentani saja. Sayangnya, restoran yang akan kami datangi terlewati dan kami harus mencari restoran lain. Supir menyarankan kami untuk makan di sebuah restoran bernama Micky restoran, tempat dimana ia sering membawa para tamu untuk makan. REstorannya tidak terlalu besar, namun menu makanannya cukup lengkap dari mulai western hingga masakan Cina dengan kisaran harga 20.000-40.000 untuk menu yang bisa dishare.


Saya juga mendapatkan pengetahuan baru mengenai masalah minuman. Di Papua, mereka menyediakan jus berwarna ungu dengan rasa asam yang diberi nama terong wamena. Di Aceh namanya terong Belanda, di Ujung Pandang namanya Terong Ujung Bandang. Ibu saya yang orang Sunda bilang Terong kori. Bendanya si sama saja. Di restoran tersebut kami melihat beberapa ekspaktriat (bule). Berdasarkan hasil perbincangan saya dengan supir, kalangan ekspatriat memang banyak tinggal di sekitar Sentani dan mereka biasnaya bekerja di perusahaan penerbangan karena letak Sentani yang dekat dengan bandara. Setiba di hotel, saya melihat ada setitik noda darah di bagian pinggul celana saya. Saya bingung asalnya dari mana. Setelah saya perhatikan, ternyata dari tempat bekas saya disuntik. saya baru sadar rupanya ketika tadi sore si dokter menyuntik saya, dia tidak menggunakan alkohol sebelum dan sesudah menyuntik, juga tidak memberikan plester untuk menutupi bekas suntikan. Ada-ada saja! Sampai saat ini pun saya tetap belum tahu apa yang bikin saya sakit waktu itu.


Hari ketiga dan keempat tidak banyak kami habiskan untuk berjalan-jalan sehubungan training jurnalistik bagi media Papua yang kami selenggarakan bekerja sama dengan Unicef sehubungan dengan hari cuci tangan pakai sabun sedunia. Ada fakta cukup menarik yang kami dapat dari pihak Unicef sehubungan dengan kondisi sanitasi di Papua. Untuk banyak daerah, membangun fasilitas MCK sangat sulit karena harga bahan bangunan yang mahal. sebagai contoh, satu sak semen di Jayapura harganya sekitar 80rb, di Wamena menjadi 400rb, sedangkan di Puncak Jaya bisa mencapai 1.6 juta belum termasuk ongkos menerbangkannya dengan pesawat. Sungguh mencengangkan. Malam ketiga saya dan theresia memesan room service yang porsinya tenryata sangat besar. Baru malam keempat rombongan kami mempunyai waktu luang untuk makan malam di luar, sebuah restoran di daerah Sentani yang saya lupa namanya, juga dengan pengunjung kalangan ekspatriat dan menu yang setipe dengan restoran Micky. Rasa dan harganya juga mirip-mirip. Cukup memuaskanlah....


Keesokan harinya, atau hari Sabtu adalah hari luang terakhir kami di Jayapura. Kami memulai kegiatan dengan berburu souvenir di sekitar Sentani karena hari-hari sebelumnya kami melihat plang "Souvenir center". Si bos bilang, daripada beli di hamadi, lebih baik dia membeli dari souvenir yang memang hasilnya untuk orang papua sendiri. Tujuan pertama adalah letlet hut berupa sebuah rumah kecil dengan halaman yang luas di pinggir jalan raya hawaii sentani. Seorang gadis Papua menjaga ruangan tersebut. Jumlah barang yang dijajakan memang tidak sebanyak di Hamadi, tapi ada beberapa yang unik. Saya melihat patung-patung kecil terbuat dari batok kelapa berupa satu group malaikat yang sedang bermain alat musik atau yang satu lagi berupa paduan suara. Sayang harganya untuk benda-benda sekecil itu mencapai hampir 250rb tidak termasuk resiko patah ketika dimasukkan dalam koper. Letlet hut sendiri berada di bawah sebuah yayasan yang kalau tidak salah dikelola oleh para misionaris. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli beberapa souvenir termasuk kartu-kartu dengan gambar yang sangat unik.


Tujuan berikutnya adalah Rumah Agape. Tempatnya lebih kecil lagi, juga dijaga oleh seorang gadis Papua. Mereka mempunyai beberapa koleksi patung yang unik.
Kebetulan, pemilik Rumah Agape datang. beliau bernama ibu Rosa, seorang wanita asal Meksiko yang datang ke Papua 40 tahun yang lalu bersama suaminya yang misionaris. Ketika suaminya meninggal, Ibu Rosa memutuskan untuk tetap tinggal di Sentani dan akhirnya menjadi WNI. Beliau bercerita bahwa Rumah Agape menampung kerajinan-kerajinan yang dibuat penduduk asli Papua. Harga yang dibanderol untuk setiap barang adalah harga yang diajukan si pemilik barang tanpa ibu Rosa mengambil keuntungan. Jadi, tidak ada tawar-menawar di toko ini.


Rumah Agape juga menjual kopi Wamena yang harganya 7.000/100 gram. biasanya, para ekspatriat yang tinggal di sentani memesan kopi yang digiling sesuai keinginan kepada ibu Rosa. Beliau banyak bercerita tentang kondisi Papua saat ini, termasuk kegiatannya mengadakan kelas membaca dan menulis bagi penduduk sekitar yang buta huruf. DAri cerita beliau, saya bisa menangkap kekhawatirannya sehubungan dengan penyebaran AIDS di Papua. Beliau bilang, karena tingkat penyebaran AIDS sangat tinggi, para laki-laki mencari perempuan yang usianya semakin muda terutama perawan karena dianggap lebih bersih dan aman. Ibu rosa menggunakan istilah "There is almost no virgin anymore". Betul atau tidaknya tentu perlu dibuktikan dengan statistik.

foto lengkap bisa dilihat di: http://www.facebook.com/profile.php?id=563471571&ref=profile#/album.php?aid=61218&id=563471571

jayapura trip 1 -danau, abepura dan rumah sakit-















Salah satu tempat impian yang ingin saya kunjungi di indonesia adalah Papua. alahamdulillah, awal November ini saya mendapatkan kesmepatan untuk mengunjungi Jayapura dikarenakan tugas kantor, dan saya menantikan hari-hari tersebut dengan sangat senang.


Saya dan rekan saya Theresia, berangkat dari Jakarta pada tanggal 4 November dengan menggunakan expres air penerbangan pukul 5.30 pagi dari Bandara Sokearno Hatta Jakarta. Usia pesawat yang digunakan sepertinya sudah tidak terlalu muda lagi. Kami duduk di deretan bangku paling depan yang mungkin dulunya didesain sebagai kelas bisnis. Mengingat bawaan kami yang cukup banyak tempat tersebut sangat membantu karena kami bisa menaruh beberapa tas laptop dan infokus di depan kami. Sayangnya, tarikan dan goncngan pesawat ketika lepas landas maupun mendarat justru sangat terasa. Keanehan dari penerbangan ini dimulai ketika saat makan pagi dibagikan. Awalnya saya tidak menyadari, karena kursi yang kami duduki memang memiliki meja seperti kursi pesawat pada umumnya. Tetapi ketika pramugari memasuki deratan kedua dan seterusnya, mereka mengajukan pertanyaan "Pak, Bu, mau pakai meja?". Saya sempat tertegun sebentar mendengar pertanyaan tersebut. TErnyata, kecuali bangku deretan paling depan, bangku lain tidak memiliki meja. Sehingga setiap kali makanan dibagikan, pramugari akan mengeluarkan stok meja "portable" dari lemari penyimpanan untuk dibagikan dan kemudian disangkutkan ke kursi pesawat! Makanannya sendiri berupa sandwich isi sayur dan daging asap dengan roti yang sedikit keras. Lumayan daripada tidak sarapan.


Tujuan pertama kota transit adalah Makassar, dan perjalanan Jakarta Makassar memakan waktu sekitar 2.5 jam. Saya tidak pernah menyukai perjalanan udara ke Makassar karena biasanya penuh dengan guncangan dan guncangan tersebut memang terjadi meski tidak terlalu parah. Waktu transit yang dibutuhkan di bandara Makassar adalah 2 jam dan kami menggunakan waktu tersebut untuk pijat refleksi di salah satu counter yang tersedia. Lumayan untuk mengurangi lelah. Sekitar pukul 11.30 pesawat lepas landas menuju Sorong. Kembali kami mendapatkan kursi paling depan walau di pesawat yang berbeda, meski kali ini dengan ruang kaki yang lebih sempit dan tentunya tanpa meja. Menu makan siangnya adalah nasi goreng yang rasanya lumayan meski terlalu berminyak. Perjalanan Makassar-Sorong memakan waktu 2.5 jam, dan berlangsung sangat mulus. Kami diberkahi cuaca cerah, dan langit biru, nyaris tanpa goncangan.


Beberapa saat sebelum mendarat di Sorong, deretan pulau-pulau kecil mulai terlihat dengan aktifitas nelayan di sekitarnya. Saking laut tersebut sangat jernih, bahkan dari pesawat pun saya dapat melihat bagian dari laut yang dangkal. Bandara Sorong sangat kecil. Ketika pesawat mendarat, saya dapat melihat beberapa anak kecil yang sedang bermain di sisi landasan melambaikan tangan mereka sambil tersenyum, sayang kecepatan mendarat pesawat tidak mengijinkan kamera saya untuk mengambil gambar mereka.


Salah satu hal yang didapatkan dari duduk di bangku depan adalah saya bisa mendengarkan apa yang pramugari perbincangkan. Sementara pramugari tersebut sibuk pada saat transit, teman saya Theresia tidur layaknya orang pingsan. Berdasarkan hasil curi dengar saya, kamar mandi pesawat belum bisa digunakan sampai persediaan air diisi kembali karena ada penumpang yang lupa mematikan kran air hingga stok air habis. Berikutnya adalah ketika pramugari menghitung persediaan makanan dan ternyata jumlahnya kurang. Salah satu pramugari langsung bilang, "Cepet ke Bu Haji!". Saya penasaran dengan kata-kata tersebut, sampai akhirnya mendapatkan bukti ketika makanan kembali dibagikan di pesawat dan berupa beberapa potong lontong serta dua tusuk sate.


Perjalanan Jakarta Sorong termasuk transit yang memakan waktu sekitar 7 jam cukup melelahkan. Kami berharap waktu yang dibutuhkan dari Sorong ke Jayapura tidak akan terlalu lama. Tetapi begitu pramugari berkata bahwa perjalanan Sorong-Jayapura akan memakan waktu 1.5 jam, kami serentak berkata "Oh, tidak..!!!" Perjalanan dari Sorong ke Jayapura tidak terlalu mulus karena sempat menghadapi hujan-petir dan guncangan, untungnya tidak berlangsung lama. Saya duduk di sebelah seorang ibu kelahiran Semarang yang sudah lama tinggal di Papua. Beliau bercerita bahwa ongkos transportasi di Papua cukup mahal. Sebagai contoh, harga tiket pesawat dari Sorong ke Jayapura adalah sekitar 1.8 juta, sebagai perbandingan setelah saya cek tiket Jakarta-Jayapura yang saya miliki harganya sekitar 2.3 juta sekali jalan.


Sebelum mendarat di Bandara Sentani, kami bisa melihat deretan hutan dan bukit di sekitar Jayapura yang masih sangat hijau dan indah. Bandara Sentani sendiri cukup besar dan ramai dikelilingi perbukitan di sekitarnya. Ketika kami tiba, cuaca agak mendung dan angin bertiup semilir serta matahari mulai tenggelam. Kami kemudia menunggu bagasi untuk beberapa saat, dan sayangnya, koper Theresia nyasar di Sorong dan baru bisa diambil hari berikutnya.





Mobil penjemput dari Hotel Sentani Indah telah menunggu kami ketika kami tiba. Perjalanan dari hotel ke bandara memakan waktu sekitar 15 menit saja. Ternyata, berhubung pengetahuan geografi yang minim saya salah sangka. Bandara Sentani itu berada di kabupaten Jayapura, di semacam kota satelit bernama Sentani dan Jayapura masih 1 jam perjalanan lagi dari Bandara.
Kalau berdasarkan kelas sih, Hotel Sentani Indah itu termasuk bintang 3. Tapi kalau melihat bangunannya, seperti tidak terawat dan kekurangan pengunjung. Sepertinya dulu hotel itu dirancang sebagai resort, dan sepertinya dulu adalah hotel yang indah. Tetapi ketika kami datang, beberapa bagian bagunan tidak terawat, dan ada beberapa kamar yang sudah tidak difungsikan karena saya bisa melihat dari kuncinya yang jebol. Perjalanan dari lobi yang berbau amis ke kamar saya yang berada di ujung melewati lorong panjang yang mirip seperti lorong rumah sakit. Setibanya di kamar, kami berdua sudah kehabisan energi untuk makan malam dan memutuskan untuk langsung tidur.


Keesokan harinya, kami merasa tenggorokan kami sakit, terlebih lagi saya yang memang sudah agak demam sejak saat berangkat. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke kota terdekat (Sentani) untuk membeli obat, vitamin dan minuman karena kulkas kamar tidak ada isinya. Pagi itu, petugas cleaning service datang untuk membersihkan kamar tepat ketika kami akan pergi, dan saya sempat berbincang sebentar dengan bapak tersebut. Beliau adalah orang Jawa, pensiunan dari President hotel di Jakarta. BErdasarkan ceritanya, bau amis yang ada di sekitar hotel itu berasal dari serangga yang hidup di danau Sentani. Serangga tersebut seperti laron di Jawa, yang mencari lampu di malam hari, dan kemudian mati esok paginya dan menimbulkan bau seperti bau ikan. Jadi bapak itu bilang, bukan hotel kami yang tidak bersih, tetapi masalah tersebut tidak terhindarkan. Jadilah si bapak menggunakan karbol dengan jumlah yang agak eksesif setiap kali bebersih untuk menutupi bau si makhluk danau itu. Selain itu, pada pagi tersebut rombongan kedua kantor kami yang menggunakan penerbangan malam Garuda tiba.


Berdasarkan resepsionis hotel, kami bisa menggunakan taksi dari hotel ke kota Sentani. Ternyata, taksi tersebut adalah angkot. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hanya sekitar 15 menit, saya memperhatikan bahwa kota seukuran Sentani pun cukup ramai. Ada tempat fotokopi, aneka bank, mini market, apotik 24 jam, warung makan Sunda bernama kedai MakNyuss hingga video Ezzy rental dvd dan Paparons Pizza. Setelah membeli obat berupa antibiotik, penghilang demam dan vitamin, kami meminta saran penjaga apotik cara termudah untuk menuju tepi danau Sentani. Kembali kami disarankan naik taksi tapi dengan jurusan yang berbeda. Ternyata, taksi itu ada 2 ukuran. Taksi 103A yang kami gunakan dari hotel ke Sentani itu berupa mobil carry yang ukurannya kecil, ongkosnya hanya 3.000 saja. Sedangkan dari Sentani ke tepi danau, kami harus menggunakan taksi 104A berupa kendaraan L300 yang lebih besar dengan ongkos 5.000 karena tujuaannya adalah Entrop, kota satelit sebelum Jayapura.


Akhirnya taksi yang kami tunggu pun tiba. Sebetulnya badan saya sudah semakin tidak enak dan pagi itu cuaca panas luar biasa. Orang Sunda bilang sih mentrang-mentring. Tapi demi perjalanan yang sudah lama diimpikan, saya memaksakan diri. Tepi danau ternyata tidak terlalu jauh, tetapi kami memutuskan untuk turun di tujuan terjauh angkot karena penasaran. Jadi walaupun sepanjang perjalanan kami menyusuri tepi danau Sentani yang Indah, kami tidak berhenti dan memutuskan untuk berhenti ketika pulang ke hotel saja. Sekita 30 menit kemudian, taksi melewati sebuah kota satelit bernama Abepura yang apabila dilihat sekilas sepertinya kota pendidikkan atau lokasi kantor pemerintahan, karena banyak dinas-dinas pemerintah yang berlokasi disitu, dan orang-orang bergaya mahasiswa. SEcara tidak sengaja, di kanan jalan saya melihat Museum Papua dan Taman Budaya Papua yang lokasinya berdampingan. Kami langsung memutuskan untuk berhenti disitu.


Tempat pertama yang kami kunjungi adalah taman budaya papua yang terdiri dari anjungan-anjungan kabupaten di Papua, seperti angjungan-anjunagn di Taman Mini. Sayangnya, kondisi bangunan tersebut tidak terlalu terawat. Tidak ada pengunjung maupun aktifitas berarti disitu. Untungnya, seorang pria papua memanggil kami untuk mengunjungi salah satu anjungan dan kami sempat berbincang-bincang dengan pria tersebut. TErnyata, taman budaya itu hanya digunakan setahun sekali setiap kali ada festival budaya Papua yang diselenggarakan sekitar bulan Agustus, dimana perwakilan dari seluruh kabupaten mengirim utusannya untuk eksebisi. Selama itu, masyarakat seperti beberapa keluarga yang sekilas saya lihat, meninggali anjungan-anjungan tersebut. Setelah mengambil beberapa foto, kami beranjak pergi untuk mengunjungi museum.


Keadaan jauh lebih sepi lagi. Ketika kami masuk, hanya ada 1 motor terparkir di depan seorang satpam yang sedang berbincang dengan dua orang gadis. Ketika kami bertanya apakah museum sudah buka, satpam tersebut harus bertanya dulu sementara kami menunggu di depan sebuah bangunan. Tidak lama kemudian 1 orang ibu dan pria asli Papua datang. Ternyata mereka pegawai museum, dan kamilah pengunjung pertama yang tiba jam 10 pagi meski di plang museum tertera tulisan kalau museum buka pukul 8 pagi. Museum Papua sendiri terdiri dari 3 bangunan 2 lantai yang satu sama lain terhubung dengan sebuah koridor. Kami memasuki bangunan pertama yang berisi koleksi pakaian perang. Saya sempat mengambil beberapa foto, namun si Ibu penjaga museum berkata bahwa biasanya dia tidak mengijinkan dokumentasi sehingga sesi foto-foto kami hentikan. Setelah puas melihat-lihat lantai pertama, kami naik ke lantai kedua tanpa disertai penjaga museum.


Koleksi lantai kedua jauh lebih menarik karena berisikan beraneka mecam benda yang digunakan oleh masyarakat Papua dan juga tengkorak fosil yang ditemukan di suatu daerah. Jiwa bandel kami berdua kumat. Mumpung petugas museum tidak ada, kami ambil foto sepuasnya termasuk foto si tengkorak. Tidak berapa lama kemudian, kami mendengar derap kaki penjaga museum menaiki anak tangga ke lantai dua. Langsung saja kamera saya masukkan tas. Penjaga yang bernama Pak Minggus tersebut akhirnya turut menemani kami berkeliling museum dan memberikan banyak penjelasan menarik. Ternyata, koleksi Museum Papua itu dibagi dua. Yang ditaruh dalam rak kaca dan yang tidak. Benda yang ditaruh dalam rak kaca, tenyata benda yang mengandung magis yang tidak boleh disentuh oleh pengunjung karena dapat menyebabkan si pengunjung sakit, sedangkan yang tidak dilindungi kaca berarti aman. Ketika saya bertanya bagaimana para petugas museum mengetahui perbedannya, Pak Minggus bilang bahwa para petugas museum sudah terbiasa sehingga mereka mampu melihat cahaya di sekitar suatu benda apabila benda tersebut mengandung magic.


Kemudia pak Minggus menunjukkan sebuah Patung dari Biak yang saya lupa istilahnya. Dalam suatu ekshebisi, seorang pengunjung langsung mengambil foto patung tersebut dengan kamera hp dari jarak dekat. Dalam waktu sekejap, ada sms masuk yang bertuliskan "Jangan ambil foto saya apabila kamu tidak mau terkena bencana", sehingga si pengunjung langsung menghapus foto tersebut. Percaya tidak percaya sih, kalau penghuni patung kuno biak bisa melek teknologi informasi. Sambil berkeliling, Pak Minggus juga bilang bahwa pengunjung yang mengambil foto tanpa ijin biasanya sakit. Saya dan Theresia langsung bertatapan penuh makna. Setelah puas berkeliling, akhirnya kami sampai di bangunan terakhir.

Ternyata ada satu lagi petugas, seorang bapak yang berasal dari Jawa dan telah tinggal di Papua berpuluh tahun lamanya, dan bermaksud menghabiskan hari tua di Lembang. Beliau bilang bahwa Mueseum sedang mempersiapkan pameran benda-benda Papua dan selain festival budaya Papua, ada juga FEstival Budaya Sentani yang diselenggarkaan sekitar bulan Oktober dimana masyarakat atau suku-suku yang hidup di sekitar danau Sentani menunjukkan budaya mereka. Wah, sayang sekali tidak saupun acara tersebut sesuai dengan kunjungan kami. Ongkos berkunjung ke museum sebetulnya 1000/orang. Tetapi karena tidak ada loket yang dibuka, akhirnya kami memberikan uang ala kadarnya kepada Pak Minggus.


Cuaca semakin panas, badan saya semakin tidak enak sehingga kami memutuskan untuk pulang ke hotel karena jam 1 siang sudah diajak untuk mengunjungi jayapura oleh atasan kami dengan menggunakan mobil sewaan. Dalam perjalanan dari Abepura-Sentani, kami memutuskan untuk menghapus beberapa foto yang kami ambil di museum, termasuk foto si tengkorak dan juga sepakat untuk berhenti di tepi danau untuk foto-foto. Ada beberapa pondokan di tepi danau tempat orang biasa duduk-duduk, dan kami pun berhenti disitu. Pemandandangan di sekitar danau sangat indah, sayangnya seperti umumnya tempat wisata di Indonesia yang lain, tidak didukung oleh kesadaran warga menjaga kebersihan. Kami menemukan banyak sampah di sekitar gubuk-gubuk tersebut, beserta jejak-jejak ludahan Pinang merah yang biasa dikunyah warga asli Papua. Karena namanya tepi danau, tentu saja banyak semak-semak yang mengelilinginya beserta serangga yang menyertainya. Saya juga sempat digigit serangga disitu. Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan dengan taksi ke hotel.


Karena sudah menunjukkan jam makan siang, kami memutuskan untuk makan siang di sebuah warung tepat di sebelah hotel yang menjual bakso dan ayam bakar. Yang jaga kalau dari logatnya sih terdengar seperti orang Jawa. Kami berdua memutuskan untuk memesan 2 mangkuk bakso. Setelah selesai makan, saya kembali memakan obat yang telah saya beli. Karena perut saya tidak enak, kami bergegas kembali ke hotel. Di kamar hotel, entah kenapa tiba-tiba perut saya mules luar biasa. Setelah buang air 2 kali, saya juga muntah-muntah. Krena perut saya melilit, saya bahkan tidak bisa duduk dan hanya bisa berbaring sambil meringkuk. Seperti sakit tersebut tidak cukup, badan saya gatal luar biasa dan kulit saya dari mulai muka, perut, tangan dan kaki merah-merah. Saya tidak bisa berhenti menggaruk, bahkan gatalnya menjalar hingga kepala. Karena takut gatal-gatal tersebut disebabkan oleh serangga, saya berganti pakaian tapi tetap tidak membantu. Saya juga menduga bahwa alergi saya disebabkan oleh obat yang saya minum, tetapi saya telah meminum obat demam dan antibiotik tersebut dari jaman kecil dan tidak pernah menimbulkan masalah, kecuali obatnya ganti formula karena saya memang alergi aspirin. Theresia yang khawatir akhirnya berkata apabila jam 1 siang keadaan saya tidak membaik, lebih baik saya pergi ke rumah sakit sekalian ikut rombongan si bos ke Jayapura. Namun apabila sore setelah pulang dari rumah sakit keadaan saya tidak membaik, lebih baik sore kami kembali ke museum siapa tahu sakit saya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat non medis, dengan kata lain disebabkan oleh mengambil foto si tengkorak tanpa izin.


Jam 1 siang rasa melilit di perut saya mereda, namun merah-merah di kulit saya masih ada sehingga saya memutuskan untuk bangun dan ikut rombongan ke Jayapura. Rekan-rekan saya yang lain telah menunggu dengan cukup khawatir, dan memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit terlebih dahulu. Perjalanan Sentani-Jayapura sebetulnya sangat indah dan menyenangkan, tetapi saya tidak terlalu menikmati karena badan yang masih agak meriang. Akhirnya kami tiba di RSU Jayapura dan menuju ke UGD yang kondisinya agak mengkhawatirkan dan kurang bersih. Seorang perawat mengukur tekanan darah saya dan memanggil dokter. Setelah melihat kondisi saya, dokter tersebut meminta si perawat untuk memberikan saya suntikan anti alergi. Tunggu punya tunggu si perawat tidak datang juga. Akhirnya rekan saya yang turut menunggui bertanya kepada si dokter kenapa saya menunggu begitu lama. Kemudia si dokter akhirnya datang dan bertanya apakah si perawat sudah menyuntik saya dan saya bilang belum. Dokter kemudia berkata "Ya ampun, perawatnya sudah pulang!". Saya hanya bisa melongo. Rupanya kebiasaan disana, kalau terjadi pergantian shift jaga perawat dan penggantinya belum datang, perawatnya main pulang saja. Akhirnya si dokter memberikan suntikan kepada saya. Saya kemudian menuju kasir. Theresia yang dari tadi menghilang tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa plastik hitam berisi 6 buah suntikan. Dia bilang si perawat meminta dia menebus resep, yang ternyata isinya suntikan. Saya cukup shock melihat jumlahnya karena membayangkan jangan-jangan saya harus menyuntik diri sendiri 6 kali lagi. Ternyata dokternya bilang tidak perlu, karena saya sudah menggunakan suntikan dari rumah sakit. Akhirnya suntikan itu nganggur.


Ketika akan membayar, saya bertanya berapa biaya yang harus dikeluarkan. Tiba-tiba dokternya bilang, "Wah, kasirnya sudah pulang!". Itulah saat-saat dimana saya biasa berkata: GUBRAK! Akhirnya si dokter yang merangkap perawat dan kasir itu bilang bahwa biaya yang diperlukan sekitar 60 ribu. JAdi rekan-rekan, saya sarankan apabila terpaksa masuk rumah sakit di Jayapura, mungkin jamnya bisa disesuaikan dengan jadwal jaga dan hindari datang di rumah sakit pada jam pergantian jaga (sekitar jam 3 sore).

foto lengkap bisa dilihat di: http://www.facebook.com/profile.php?id=563471571&ref=profile#/album.php?aid=61218&id=563471571

Sabtu, 06 September 2008

Review Java Bleu, resto Perancis yang luar biasa (saya udah bilang belum kalo ini luar biasa?)

Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak. Begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sebuah tempat yang dijuluki seorang teman yang adalah seorang jurnalis gaya hidup sebagai tempat menjual foie gras alias hati angsa terbaik di Jakarta, dan kata bos saya ada di lonely planet Indonesia. Tempat tersebut bernama Java Bleu, sebuah restoran makanan Perancis yang beralamat di Komp D-Best (Plaza Golden) Blok E-24 Fatmawati. Tempat tersebut ternyata hanya berjarak 10-15 langkah ayunan kaki (literally) dari kantor saya yang berada tepat di seberangnya. Saya yang pernah masuk kesana untuk menanyakan kelas salsa mereka tidak pernah menduga bahwa tempat tersebut adalah sebuah restoran, karena rupanya sama seklai tidak berbeda dengan deretan ruko di samping, seberang dan belakangnya. Tidak ada yang istimewa dari eksterior bangunan tersebut.











Berbahagialah saya, karena untuk menjawab rasa penasaran si big boss dan menjamu tamu kantor, kami diajak untuk makan malam disana. Karena sepertinya tempat yang tersedia kecil, kami memesan tempat lewat telepon, sekaligus menunya agar tidak terlalu menunggu lama ketika datang. Pegawai restoran juga cukup membantu menjelaskan melalui telepon mengenai enu yang kami pesan karena istilahnya menggunakan bahasa Perancis. Menu yang kami pesan adalah 4 porsi Beef Brochette (@ 85rb, jadi 340rb), 1 pork creole (76rb), 1 ox tounge (70rb), 2 Duck confit (@88rb jadi 176rb), 1 quiche forestiere mushroom small (30rb), 2 iced lemon tea (@12 rb jadi 24rb), 1 lemonade (14rb), 1 iced tea (8rb), 1 equil sparkling (18rb), 4aqua bottle (26rb), 1 botol shiraz Goundrey (285rb), 1 Chocolate Tart (35rb), 1 Profiteroles (39rb), 1 Pain perdu (39rb), 1 chocolate mousse (35rb), 1 tart of the day (35rb). Ditambah pajak 10% dan service charge 5 %, total kerusakan kas kantor saya (untung bukan kas saya) adalah Rp.1.449.000


Pembahasan pertama adalah mengenai interior. Gedung java bleu teridiri dari 4 lantai yaitu basement yang berfungsi sebagai dapur, lantai satu yang terdiri dari 5-6 meja, lantai 2 yang biasanya dipakai kelas salsa setiap hari rabu, dan lantai 3 yang sedang direnovasi untuk jadi butik penjualan batik. sepanjang dinding ruangan, dipenuhi oleh foto-foto dengan gaya klasik Perancis yang ternyata juga dijual. Ketika kami datang, semua meja terisi penuh sehingga terasa agak sesak.


Sekarang, mari kita memasuki bagian paling penting yaitu pembahasan makanan. Prinsip yang dianut oleh saya dan rekan-rekan kantor saya adalah jangan memesan menu yang sama agar kami bisa saling mencicipi, karena kami tidak mungkin merecoki piring si big boss dan tamunya. Makanan yang pertama dibahas disini adalah pesanan saya sendiri yaitu Duck Confit. Ketika makanan pertama kali datang, saya agak kecewa karena untuk sepotong paha bebek yang ukurannya super besar berwarna kuning keemasan dan berharga 88rb, tampilannya tidak semegah yang saya bayangkan. Bahkan, tidak ada saus sama sekali, hanya setumpuk kentang goreng berbentuk dadu dan basil serta bumbu salad. Tetapi ternyata saya salah besar! Ketika saya mengayunkan garpu dengan nyaris tanpa tenaga, daging bebek terpotong dengan sangat mudah. Kulitnya renyah dan garing serta dagingnya lembut sekali bahkan jauh lebih lembut dari daging ayam. Bumbunya meresap hingga ke dalam bahkan tidak setitik sambal atau saos pun dibutuhkan. Hal ini bahkan diakui teman saya yang termasuk kategori orang yang mengaduk semua saus jadi satu, dan dia tidak menggunakan saus sambal sama sekali karena memang bebeknya sudah enak. Kalo rekan JS-ers ada yang familiar denga serial kartun Jepang Born To Cook, suapan pertama bebek membuat saya terbang ke udara, hehehe. Saya kira kentang yang ada hanya tambahan saja tapi ternyata rasanya spicy, renyah dan gurih hingga saya pun tidak tega menodai si kentang dengan saus tomat seperti biasa saya lakukan.




Berikutnya adalah Ox Tongue. Sebagai penikmat lidah, memang menurut saya semua olahan lidah enak. Di Java Bleu, lidah disetai dengan saus kental berwarna kecoklatan yang rasanya cenderung manis gurih yang membuat mashed potatoes yang menyertainya terasa enak sekali. Bahkan teman saya bilang itu adalah mashed potatoes terenak yang pernah dia makan.


Berikutnya adalah beef brochette tenderloin berupa potongan daging yang ditusuk-tusuk. Rasanya buat saya plain meski dagingnya empuk. Saya kira rasa plain disebabkan karena lidah indonesia saya. Tapi ternyata bos saya yang british dan tamunya yang american menyatakan hal yang sama. Untungnya beef brochette ini disertai oleh semangkuk krim yang ternyata terdiri dari potongan kentang dan krim keju yang lembut dan gurih, dan bahkan enak dimakan tanpa dagingnya.



Giliran berikutnya jatuh kepada...quiche isi jamur. Sekilas bentuk quiche ini seperti cup cake dan makanan sejenisnya. Begitu menu pesanan teman saya ini datang, saya kaget karena porsi smallnya yang benar2 kecil dan buat saya seperti porsi bayi. Tapi begitu teman saya memasukkan suapan pertamanya, dia langsung bilang "kenapa gw gak pesen yang large sekalian??? ini enak banget!". Rasanya creamy dan lembut di dalam.


Berhubung saya tidak makan daging babi dan orang yang memesan pork creole tidak jadi datang, akhirnya si pork creole dibungkus. Meski besoknya saya mendapat laporan bahwa orang yang memakan pork creole bilang bahwa rasanya enak, tapi saya gak bisa liat ekspresinya, hehehe.

Sekarang dessertnya. Favorit kami semua adalah Profiteroles. Bentuknya seperti kulit soes dibelah, ditengahnya diisi oleh esktrim beku rasa vanilla dan kopi, dan disiram dengan coklat cair yang rasanya semu-semu pait. Rasanya? luar biasa!!!! Seandainya bukan karena harga diri, saya akan dengan senang hati membantu tukang cuci piring membersihkan piring yang satu itu. Kalo bebeknya bikin saya terbang ke udara, profiterolesnya bikin saya menjelajah angkasa!


Chocolate moussenya lembut, seperti agar-agar disertai dengan fla yang rasa susunya terasa sekali. 2 orang teman saya menyukai coklat mousse tersebut, tetapi buat saya coklat moussenya agak terlalu manis.







Pain perdu itu berupa potongan pisang panggang yang diberi eskrim dan saus. Lagi-lagi, ada perbedaan opini mengenai benda satu ini, karena teman saya suka sekali, sedang menurut saya sekali lagi agak terlalu manis.



Sedangkan untuk tart of the day, kami sepakat bahwa rasanya memang manis sekali.



Kejutan belum selesai. Ketika saya memesan ice tea, saya membayangkan yang datang hanya es teh biasa. ternyata, sekali lagi dugaan saya salah. Teh yang datang disajikan dalam gelas tinggi, disertai batang vanilla dan daun mint! Rasanya luar biasa enak. Saya pernah mencoba minuman mint yang rasanya aneh gak jelas, teh mint yang rasanya seperti pasta gigi, tapi yang untuk yang ini, sensasi mintnya melayang lebut di mulut saya...dengan atau tanpa gula, rasanya tetap luar biasa. Lemonade dan iced lemon teanya mempunyai tampilan rasa yang serupa, tetapi ditambah rasa asam dari lemon. Buat yang suka rasa yang asam, lemonade atau iced lemon teany sangat dianjurkan.

Begitulah pengalaman saya di Java Bleu, restoran Perancis bercita rasa luar biasa di tempat yang sangat sederhana. Malam itu adalah salah satu malam dimana perut dan indra perasa saya mendapatkan kepuasan luar biasa. Tidak heran tempat ini masuk lonely planet. Untung tempatnya sederhana, kalau mewah, saya tidak bisa membayangkan berapa harga makanan-makanan itu.

Rabu, 03 September 2008

Review Mulih Ka Desa

Petikan kecapi, tiupan suling sunda dan semilir angin pegunungan adalah 3 hal yang mengiringi kunjungan tamu di Mulih Ka Desa. Mulih Ka Desa adalah sebuah resort beserta rumah makan yang berlokasi di daerah Samarang, Garut searah dengan Kampung Sampireun. malahan, Mulih Ka Desa itu dimiliki oleh group yang sama dengan sampireun.

Tempatnya terdiri dari dereta saung-saung di atas kolam ikan dan sawah yang sengaja dibuat. Selain itu, Mulih Ka DEsa juga memiliki resort yang bisa disewa. Ketika kakak saya bertanya, harga sewa per bungallow sekitar 500rb semalam dan bisa diinapi oleh berapa orang pun meskipun jatah sarapan pagi hanya untuk 2 orang. Di bagian belakang rumah makan, ada deretan meja dan kursi bagi pengunjung yang tidak ingin makan di saung, serta taman. Taman tersebut dapat digunakan oleh anak-anak karena ada perosotan, engrang dan beberapa permainan tradisional sunda lainnya. Yang cukup unik, ada juga 2 ekor kerbau diikat di dekat saung dan bisa dinaiki oleh pengunjung.




Yang lucu, Mulih Ka Desa menggunakan perangkat makan dan minum berupa piring dan gelas kaleng yang sengaja ditetrek (wah saya tidak tahu terjemahan bahasa indonesianya apa). Kurang lebih artinya sengaja diketuk-ketuk biar agak bocel sedikit. Buat saya kok agak lucu aja, harus bayar untuk makan dengan piring kaleng. Di dalam saung pun ada kotak tisu terbuat dari anyaman yang agak kotor. Ibu saya bilang, seandainya tidak ingat bahwa suasana pedesaan yang ditawarkan, mungkin dia akan lebih ngedumel. Tapi kalau dilihat dari suasana, Mulih Ka Desa mencapai tujuannya karena saya dan keluarga betul-betul terkantuk-kantuk menikmati semilir angin dan alunan musik.



Sambil menunggu pesanan makanan datang, kami disuguhi sepiring singkong goreng yang gurih, renyah, tapi sangat berminyak. Bagi yang sedang menghindari minyak, yah...buka puasa aja dulu.







Berikut makanan yang kami pesan: 1. liwet sedang 30.525



1 babat 9300,



1 gepuk 16.000,




1 peda goreng 5500,






ayam bakar 10750,







ikan cobek 25.000,


Tahu 4950






karedok 8600,






tumis genjer 8600,










2 es cingcau 8000,













2 es kelapa butir 20.000,








Total kerusakan 141.925








Rasa makanannya secara keseluruhan biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan, saya lebih suka babat goreng di Sambara atau nasi liwet di bumi Joglo Bandung. Cuma kalau dilihat dari porsi, makanan yang kami pesan untuk berempat cukup untuk 5-6 orang terlebih nasi liwetnya Harganya pun terhitung murah. Tapi, suasananya memang patut dicoba.

Rabu, 20 Agustus 2008

Review Oen Pao

Ceker Ayam

Nasi Roast Duck




Fireball



Menunya Oen Pao





Hakau



Mix Grilled Noodle


Lumpia




Siomay



Murah meriah dan kenyang. Itulah kesimpulan yang didapatkan ketika menikmati santapan di Oenpao Asian Food. Diawali oleh hasutan seorang teman yang bilang bahwa di Jl Kyai Maja no 19 di seberang RSP Pertamina ada tempat makan yang menjual bebek panggang enak, dan kabar-kabari yang mengatakan bahwa tempat tersebut mensuplai beberapa hotel berbintang di Jakarta, akhirnya saya memutuskan untuk melangkahkan kaki kesana. tempatnya sendiri tidak tepat disebut restoran karena hanya berupa deretan bangku-banku di depan sebuah klinik, tetapi terlalu bagus juga untuk disebut sebagai kaki lima.



Ketika pertama datang, kami hanyalah satu-satunya tamu disana. Saya sampai meragukan penilaian teman saya. Kalau tempat ini terkenal, kenapa sepi sekali. Ternyata tidak lama kemudian satu persatu tamu mulai datang dan akhirnya semua meja dan bangku penuh hingga kami harus berbagi meja dengan rombongan lain. Pada saat itu kami memilih 1 macam steamed dimsum berupa siomay udang seharga 11.000, hakau Rp. 12.000, Lumpia goreng 11.000, fireball 11.000, ceker ayam Rp. 11.000, nasi hainan roast duck Rp. 24.000, mix grilled noodle Rp. 27.000 dan 2 chinese tea Rp. 8.000. Total kerusakan adalah 115.000





rasa dimsumnya standar alias mirip-mirip sama banyak dimsum yang dijual di tempat lain. Yang agak berbeda mungkin fireballnya yang berupa udang dilapis dengan kulit pangsit yang dipotong atau diserut memanjang. Ceker ayamnya lembut, besar dan agak manis. Nasi hainan roast ducknya enak. bebeknya lembut, bumbunya terasa dann nasinya sendiri gurih. Taburan bawang di atasnya menambah renyah makanan tersebut. Porsi mix grilled noodlenya lumayan besar. selain bebek, mie tersebut juga ditambah ayam charsiu bumbu merah yang rasanya semu manis dan meresap ke dalam.



Selesai makan, kami berdua kekenyangan mengingat asupan makanan yang begitu banyak. Kunjungan tersebut sama sekali tidak mengecewakan bagi kami karena rasanya memuaskan selera lidah, porsinya memuaskan perut, dan harganya bersahabat dengan saku.

Lumpia basah










Ada yang pernah denger apa itu lumpia basah??? pernah liat, makan, menyentuh atau bahkan jualan? good help me then. Lumpia basah itu salah satu makanan favorit gw. jaman kuliah s1, kalo gak sempet sarapan di rumah atau terbirit-birit ngejar kelas gak manusiawi yang masuk jam 7 pagi di hari sabtu n kelasnya dikunci dari dalem kalo telat, lumpia basah adalah penyelamat ketika ganti pelajaran di ciumbuleuit yang dingin. Sayangnya pas gw pindah ke jakarta, kok pada gak tau wujud lumpia basah itu kayak gimana si? gak ada yang jual pula. sedihnya!!!!!!!


Cuma gw bingung, asal-usul lumpia basah ini darimana si? gw dah coba browsing di internet tapi kok gak ada deskripsi tentang lumpia basah yang menyerupai lumpia basah bandung ya? gw kirain lumpia basah ini asli bandung. cuma si mamah tercinta yang kesundaannya tidak diragukan lagi pas pertama kali nyobain malah nanya: neng, kok kayak gini si, gak kayak lumpia semarang. Ya jelas gak kayak lumpia semarang kok, orang isinya aja beda. Lumpia basah yang banyak dijual di depan sekolahan ini tu gak pake udang dan gak pake rebung. Jadi, demi misi penelitian makanan kesukaan, gw sengaja gitu nongkrongin si mang lumpia yang lewat depan rumah. eh, yang jual malah gak gitu ngerti juga sejarahnya. Ditambah lagi dia juga gak ngitung sehari bisa jual berapa porsi, huehehehehe.


coba liat deh urutan foto-foto di atas. Bisa diliat, kalo lumpia basah bandung itu bahannya tauge, bengkoang yang digoreng, dan kalo mau dicampur sama telor. Cara masaknya tuh pertama siapin kulit lumpianya, trus diolesin sama cairan warna coklat yang kata si emang si dibikin dari gula merah dicampur aci (tepung kanji). Terus si toge, bengkoang dan telor itu ditumis pake campuran bawang merah, putih, garem dan penyedap rasa. Abis gitu, ditumplekin deh ke atas kulit lumpia dan digulung. CAra makannya gimana???? si gulungan lumpia dan daun pisang itu dimasukin ke dalem plastik trus dimakan deh pake sumpit. Jadi, darimanakah lumpia basah bandung berasal? jangan-jangan cuma satu lagi keisengan orang bandung dalam bikin variasi makanan lagi, nambahin brownies kukus, serabi rupa-rupa dan makanan ajaib nan enak lainnya.
Btw, belom familiar sama cara naro foto blogspot nih, hiks

Kamis, 07 Agustus 2008

Review Churrasco

Di tengah keramaian Citos Rabu malam yang sudah seperti pasar, di lantai pertama dekat eskalator ada sebuah restoran yang namanya cukup menarik: Churrasco. Restoran tersebut menyediakan menu prasmanan all you can eat ala Brazil, dan di spanduk di depan pintu masuknya tertera harga Rp. 59.000 ++. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir di tempat itu.

Saat itu sebetulnya jam makan malam, karena kami datang sekitar pukul 7 malam. Tapi, restoran tersebut sangat sepi hingga akhirnya ada beberapa tamu datang setelah kami. Ruangan Churrasco sendiri didesign seperti banyak tempat makan lainnya, tidak ada yang istimewa dengan meja Buffet di tengah ruangan. Buffetnya sendiri menyediakan 6 macam cemilan seperti pisang goreng tepung, kulit ayam goreng tepung, lumpia isi ayam, mushroom popo vere (sejenis pangsit dengan isi jamur) dan ada roti kecil. Secara umum rasa cemilannya standar sekali malah kulit popo verenya plain dan kurang garing. Roti kecilnya lembut dan ketika digigit ada seperti lelehan keju dengan rasa sedikit asin namun enak. Ada juga sup krim jamur, salad dan buah. Sup krim jamurnya encer dan rasanya biasa saja.

Selain di meja prasmanan, ada grilled meet juga yang datang satu persatu ke meja pengunjung, terdiri dari daging kambing, sosis, bacon isi dada ayam, cumi, ikan gindara, daging top side, lidah dan ayam. Dari semua daging yang disajikan bacon isi daging ayam yang rasanya enak dan bumbu barbequenya terasa. Sisanya berasa plain atau terasa nyaris tanpa bumbu dan harus dicocolkan ke saos tomat, sambel atau barbeque yang ada di meja.

Selain itu masih ada nasi goreng brazil dan 4 lauk seperti lidah dan chicken wing. Lidahnya enak, empuk rasanya semu manis. Chicken wingnya ada rasa semu asam seperti ada campuran apel di dalamnya. Nasi gorengnya berwarna agak kekuningan dan rasanya lumayan. Masih ada juga pasta dengan 4 macam sayuran, tapi saya tidak sempat mencoba karena porsi makanan yang lain sudah sangat banyak padahal kami datang bertiga.

Secara umum, Churrasco rasanya biasa sekali dan tidak ada yang istimewa. Malah, saya agak bingung unsur brazilnya ada dimana karena rasanya nyaris sama dengan grilled meat yang ada di restoran Jepang all you can eat. Cuma, dengan harga 59.000++ ditambah es teh free flow seharga 14.000, porsi grilled meat yang disajikan ke meja sangat mengenyangkan. Total kerusakan perorang Rp. 88.330. Disarankan untuk tidak mengunjungi restoran ini ketika sedang mengejar jam tayang bioskop, agar bisa menikmati semua menunya ^-^

Rabu, 06 Agustus 2008

Review Blind: Ketika Makan Dalam Gelap dan Gulita

Setelah puas terbahak-bahak menonton kungfu panda di ciwalk Bandung pada sabtu sore, saya dan teman saya ingin mencari minuman segar. Setelah mengelilingi foodcourt ciwalk dan tidak ada yang menarik, kami akhirnya pergi ke luar.Siangnya saya memang sudah tertarik pada sebuah restoran bernama blind karena mereka sepertinya menawarkan sesuatu yang tidak biasa yang intinya menawarkan makan dalam kegelapan. Sayang sekali saya lupa tag line mereka apa. Setelah sedikit membujuk-bujuk teman saya, akhirnya dia mau juga mencoba tempat tersebut.

Ruangan restoran ini terdiri dari dua lantai. Awalnya saya bertanya-tanya dimana ruangan gelap berada, karena ruangan bawah itu terbuka ke arah salah satu jalandi dalam ciwalk, dan hanya ada beberapa meja saja. Ternyata, pemesanan dilakukandi kasir, dan kami membayar di muka. Karena siangnya sudah makan cukup berat,kami hanya memesan 1 gelas lemon juice seharga 12.000 dan 1 mix smoothiesse harga 17.500. Pelayan akhirnya memberi tahu, bahwa ruang gelap itu berada dilantai dua dan kami akan diantar oleh seorang pemandu tuna netra. Selain itu,kami dipersilakan untuk menyimpan barang-barang yang bisa mengeluarkan cahayaseperti handphone ke dalam loker, yang kuncinya bisa kami bawa. Kasir kemudian memanggil guide yang akan membantu kami.

Di balik tirai yang adadi lantai pertama, ternyata ada tangga ke lantai dua dan itu sangat gelap.Pemandu tuna netra kami akhirnya datang, dan menjelaskan konsep restoran tersebut. Intinya, restoran tersebut ingin agar pengunjungnya bisa merasakan sensasi bersantap dengan cara yang baru. Pemandu sempat bertanya apakah ada yang ingin ditanyakan tentang konsep mereka, dan kami menggeleng. Dia akhirnya meminta teman saya untuk memegang bahu dia, dan saya memegang bahu teman saya.Mungkin sempat ada yang melihat cara tuna netra berjalan beriringan dengan berpegang pada bahu mereka? Ya kurang lebih seperti itulah.

Sebetulnya saya sangat khawatir karena ruangan gelap total tanpa cahaya sama sekali, dan saya menaiki satu demi satu anak tangga dengan sangat berhati-hati. pemandu tersebut sangat membantu bahkan memberitahu bahwa kami telah sampai pada anak tangga terakhir dan mengantarkan kami ke meja.Pertama dia menunjukkan tempat duduk teman saya, dan tadinya saya mencoba meraba tempat duduk di depannya karena saya terbiasa makan berhadapan dengan orang. Cuma pemandu tersebut mempersilakan saya duduk di sebelah teman saya.Saya pun berpikir, ya sama juga toh, soalnya kan gelap. Saya gak bisa natap mukat eman saya juga.

Sebagai seorang penakut yang tidur dengan lampu menyala dan menggunakan 4 lilin di kamar tidur jika lampu padam, saya berusaha mengajak teman saya berbicara untuk memastikan dia ada di samping saya, memegang mukanya untuk memastikan wajahnya masih di sana, dan mencoba menghilangkan bayangan kalau di depan saya itu tiba-tiba bakal muncul makhluk mengerikan seperti di film horor. Saat itu adalah saat dimana saya merasa berpisah snagat lama dengan handphone saya yang setidaknya bisa mengeluarkan cahaya karena ruangan gelap gulita total. Saya mencoba memejamkan dan membuka mata beberapa kali, dan tidak ada bedanya sama sekali. Lagu yang diputar pun membuat saya agak terkantuk-kantuk.

Akhirnya minuman yang kami pesan datang juga. Rasa lemon juicenya standar, dan mixsmoothiesnya segar. Cuma, akhirnya saya merasa tertantang, dan menantang teman saya. Kami sudah berada di suatu tempat dimana makan akan sangat menyulitkan karena gelap total. Masa sih, kami tidak akan mencoba tantangan tersebut. Setelah berdiskusi dalam gelap, kami berpikir bahwa steak mungkin akan sulit dimakan dalam gelap karena membutuhkan pisau dan garpu, dan memikirkan resiko teriris segala macam. Akhirnya kami memanggil pelayan untuk memesan steak. Ternyata,apabila kita memesan steak di Blind, mereka telah memotong-motong steaknya, dan disajikan tidak di atas hot plate. Gelas yang digunakan pun plastik karena sebelumnya banyak minuman tumpah atau pecah (informasi yang didapatkan denganmenguping pembicaraan meja belakang dengan pelayan). Akhirnya kami bertanya kepada pelayan, kira-kira masakan apa yang paling sulit untuk dimakan dalam gelap dan mereka menyarankan sop buntut. Akhirnya kami pun memesan seporsi sop buntut bakar yang tidak pedas seharga 27.500.

Selama menunggu psanan datang, saya mencoba menerka bentuk ruangan seperti apa.Saya mencoba mengukur panjang dan lebar meja dengan lengan saya. Panjang meja itu sekitar 60 cm, dan lebar sekitar bentangan kedua tangan saya yang kuranglebih 100-120 cm. Kami duduk di sebuah sofa yang berhadapan. Saya mencoba mengetuk dinding di sebelah kanan, dan kemungkinan terbuat dari kayu atau triplek. Bagaimana bentuk, dekorasi dan suasana ruangan? Only God knows (eh,ditambah pelayan dan owner mungkin). Pendengaran saya mengatakan bahwa dibelakang meja kami ada beberapa orang tamu perempuan yang mencoba berbincang juga dengan pelayan. DAri hasil menguping, saya tahu bahwa di situ ada 9 meja,yang satu mejanya bisa menampung sekitar 4 orang. Ternyata, selain pemandu tuna netra, Blind pun mempunyai satu orang pelayan lagi yang menggunakan night vision infra merah. Mereka selalu siap sedia di dekat kita, karena kami bisa melihat titik merah di pojok ruangan. Apabila kitamembutuhkan kertas tissue, atau minta tambah saos sambal, kami hanya tinggal teriak aja "Mas, minta....." dan mereka akan segera datang, termasuk untuk menuangkan saos sambalnya.

Akhirnya sop buntut yang ditunggu datang juga. Pelayan menjelaskan kepada teman saya, dimana letak nasi, buntut, dan mangkok berisi kuah sop. Dia juga mengatakan bahwa di atas nasi ada empingnya, dan memberikan sendok serta garpu ke tangan teman saya. Teman saya langsung tertawa sendiri ketika pelayannya pergi, karena dia tidak dapat menemukan nasinya, dan sukses menjatuhkan sendok pada menit pertama. Setelah dia sukses menemukan nasi, dia mencoba mencari dimana buntutnya. Setelah buntutnya ketemu, tantangan berikutnya adalah menusukkan garpu pada buntut, dan mencoba memotongnya. teman saya membutuhkan waktu yang agak lama. Ya iyalah, orang motong buntut terang benderang aja alot,apalagi pas gelap.

Karena kami hanya memesan satu porsi, kesulitan berikutnya adalah bagaimana menggeser piring ke arah saya sehingga saya bisa mencicipi. Sepertinya sih nasi,buntut dan mangkok kuah diletakkan di atas nampan sehingga mudah menggesernya.Yang perlu teman saya lakukan adalah mencari tangan kiri saya untuk memberikan garpu, dan tangan kanan saya untuk memberikan sendok. Saya mengalami kesulitans erupa karena berapa kali suapan nasi saya kosong, dan buntut yang saya tusuk loncat. Akhirnya setelah meraba-raba, saya menemukan buntutnya dan memutuskanuntuk makan dengan tangan. Sebelumnya teman saya bilang kalo tulang buntut yangtelah dia makan dia simpan di pojok kiri nampan, yang mana saya gak bisa temukan karena gak keliatan apa-apa. Kami akhirnya tertawa terbahak-bahak karena untuk pertama kalinya kami merasa makan sop buntut dalam gelap itu kacau sekali,apalagi harus geser2 nampan dan serah-menyerah sendok garpu karena hanya pesan 1porsi. Perkiraan kami berdua menyatakan bahwa ada 2 potong buntut dalam 1 porsi. Seandainya lebih,berarti gagal kami temukan. Rasa sop buntutnya tasty, agak manis dan kuahnya gurih. Jadi kalau buntutnya habis, makan nasi dengan kuah yang ada potongan sayurannya pun masih lumayan enak.

Ketika saya mencoba memakan empingnya,ternyata ada sambal hijau lumayan pedas di atas itu. Setelah menyerah karena tidak menemukan buntut lainnya, kami memanggil pelayan untuk menuntun kami kejalan yang terang. Pemandu kami mengantarkan hingga ke ujung tangga atas, karena cahaya dari bawah cukup untuk menerangi langkah kami. Di bawah kasir bertanya mengenai pengalaman kami, dan juga apakah kami menemukan kejutan sambal hijau di atas emping. Ooooo tenryata sambal hijaunya itu kejutan.... Total kerusakan makan di Blind Cihampelas Walk Bandung termasuk service dan tax adalah 64.410.

Pengalaman makan di Blind buat saya adalah pengalaman makan yang sangat menarik dan sulit dilupakan. Cuma, kunjungan tersebut diakhiri dengan sebuah rasa syukur dan renungan: buat saya, makan dalam kegelapan adalah tantangan dan petualangan. Buat sebagian orang, mereka memang tidak punya pilihan.

Review Chinese Food Cafe Batavia







Tergoda akan legenda cafe Batavia, hari Rabu kemarin saya dan teman saya pergike daerah kota untuk membuktikan cerita orang-orang. Di tengah sengatan mataharidaerah Jakarta Kota yang minim pohon memasuki Cafe Batavia membawa sayaseolah-olah berada di dunia lain. Ruangan dengan design klasik tempo dulu yangdipenuhi foto-foto lama. Masalah ambience yang ada di cafe Batavia mungkin sudahsering dibahas oleh begitu banyak orang.

Hari itu kami datang setelah jam makan siang usai, sekitar jam 2an. Tamu-tamu disekeliling kami lebih banyak yang menikmati minuman atau makanan yang tidakterlalu berat. Kami pun memilih lantai 2 agar mendapatkan pandangan ke arah museum fatahillah. Dikarenakan banyak dari main course yang ada dalam menu westernnya mengandung alcohol dan kami berdua tidak mengkonsumsi alcohol,akhirnya kami memutuskan untuk memilih chinese menu saja. Seperti sajian menu chinese food lainnya, ada pilihan porsi small, medium danlarge.

Kami memanggil seorang pelayan yang masih muda untuk mengetahui ukuranporsinya. Ketika pelayan datang, amat disayangkan dia tidak dapatmenginformasikan kira-kira sebesar apa ukuran porsi small itu karena dia bilangmenu yang ada itu masih baru hingga dia harus pergi dan bertanya dulu.Sebetulnya kejadian ini agak mengecewakan saya dan teman saya, karena untuk level cafe ternama, seorang pelayan seharusnya cukup menguasai menu apalagi ituhanya ukuran porsi makanan. Tunggu-ditunggu si pelayan tidak datang juga hinggaakhirnya kami memanggil pelayan lain yang tenryata sepertinya lebih senior dancukup memberikan penjelasan.

Akhirnya kami memesan 1 porsi cumi goreng tepung dengan 5 bumbu karena namanya menimbulkan rasa penasaran (48.000), Ayam goreng saos BBQ (52.000), Brokoli SioPak Cai (48.000), 1 Ice Lemon Tea (16.500), 1 Es Cappucino (33.000) dan 2 porsi nasi putih (14.000). Makanan yang dipesan datangnya agak lama, tetapi setidaknya kami bisa menghabiskan waktu dengan mengobrol dan mengamati interior gedung untuk sedikit menenangkan perut yang keroncongan.

Akhirnya menu makanan yang kami pesan pun datang. Menu tersebut seperti disajian chinese food lainnya disertai sambal kecap, dan sambal asam manis. Porsi smallnya ternyata pas untuk dimakan 2 orang. Khusus untuk cumi goreng tepungnya,ada sambal terpisah. Ayam goreng saos BBQnya terdiri dari sekitar 7 potong kecil ayam dan rasanya agak manis. Enak, tapi tidak istimewa. Ketika menyantap cumi goreng tepung 5 bumbu, saya dan teman saya bertanya-tanya apa yang mereka maksud dengan 5 bumbu karena rasanya standard sekali. Bahkan bila 5 bumbu apapun itu ada di dalam saos untuk menyocol cuminya, rasanya pun biasa saja. Kami sampai bercanda jangan-jangan 5 bumbu yang mereka maksudkan itu adalah garam, gula,merica, dan bumbu standar lainnya. Yang terakhir adalah Brokoli Sio Pak Cai yangterdiri dari brokoli, pok cai, kacang ginko (kalo tidak salah) dan kulit tahu. Terus terang tampilannya sangat menarik, karena kalau tidak mengingat kembali menu yang kami pesan kami mengira kulit tahu yang berwarna agak coklat itu adalah daging asap.Rasanya lumayan, gurih, tapi dengan rasa yang bisa ditemukan di restoran chinesefood lainnya.

Setelah selesai bersantap, teman saya mempunyai kebiasaan untuk selalu pergi ke toilet sebuah restoran yang dia sebut sebagai uji kelayakan. Design interior toiletnya buat saya sangat menarik, dipenuhi banyak foto yang membuat kita seperti menjelajahi masa yang berbeda-beda. Beberapa foto memang sangat menarik dan teman saya mengistilahkannya -provokatif- Total biaya makan kami adalah 211.500, ditambah service 10% dan tax 10%, total kerusakan adalah 250.400.

Untuk rasa makanan yang biasa saja, kami merasa harga disana agak overprice. Tetapi yah kami anggap saja harga tersebut adalah harga yang harus kami bayar untuk menikmati suasananya yang tidak dapat ditemukan ditempat lain






review Anatolia






















Menghabiskan minggu malam dengan makanan eksotis adalah cara yang mengasyikan untuk mengakhiri weekend yang digunakan untuk bekerja. >Oleh karena itu saya dan seorang teman memutuskan untuk pergi ke Anatolia, restoran yang menyajikan masakan Turki di Jl Kemang Raya No 110. Dari luar, bangunan restoran tersebut seperti sedang direnovasi, sehingga kami ragu apakah restoran tersebut buka atau tidak. Tetapi begitu taksi yang kami naiki berhenti, seorang pelayan langsung membukakan pintu taksi dan pintu restoran.

Begitu masuk ke dalam ruangan, suasana temaram sangat terasa. Dekorasi ruangan didominasi cat biru untuk dinding dan warna merah untuk lampu. Ruangan terbagi dua, smoking dan non smoking yang biasa digunakan untuk menghisap sheesa. Ruangan merokok yang berada di belakang didominasi sofa dan > meja pendek, yang kurang nyaman apabila digunakan untuk makan. akhirnya kami memilih ruangan bagi yang tidak merokok yang menggunakan kursi dan meja makan. Di ruangan itu juga ada semacam meja bar tempat pelayan yang menggunakan baju turki berkumpul. Kami duduk tepat di depan dapur sehingga bisa sedikit mengintip dapur dan ovennya.

Kami memesan 1 Etli Hummus yang terdiri dari hummus, irisan daging domba, dan roti lavas yang dipanggang dalam oven kayu (Rp.62.500) , 1 Durme Chicken (bisa pilih apakah mau ayam atau domba) yang terdiri dari irisan daging ayam , dilumuri keju cheddar dan dimasukkan ke dalam gulungan dadar disajikan dengan saus asam manis kental berwarna merah (90.000), 1 Tas Kebab yang terdiri dari daging domba, wortel, kentang, minyak zaitun yang dimasak dalam kuah kari kental serta disajikan dengan pilihan roti atau nasi , dan kami memilih nasi yang dimasak dengan minyak zaitun dan kacang polong (68.000) . Untuk minumnya kami memesan 1 ice lemon tea (18.500), 1 mint tea (11.500) dan 2 botol aqua (28.000). Ditambah pajak 10% dan service charge 11%, total kerusakan adalah Rp. 336.985,00

Makanan yang pertama kali disajikan adalah hummus. Hummusnya enak sekali, agak-agak asam. Irisan daging dombanya lembut meski rotinya agak keras. Ketika Durme chicken datang, saya terkejut dengan ukuran piringnya yang sangat besar dan sausnya yang sangat melimpah meski porsi makanannya sendiri tidak terlalu besar. Seukuran lumpia basah lah. Kurang membuat saya kenyang. Saya bisa merasakan susu yang digunakan dalam adonan dadarnya, dan dadarnya sangat lembut. Tapi secara keseluruhan, rasanya seperti lasagna isi daging ayam. The best menu malam itu buat kami adalah Tas Kebab. Di dalam kuahnya kami bisa menemukan irisan cabe hijau dan cabe merah. Rasanya spicy, kuahnya kental dan dagingnya lembut sekali, pas disajikan dengan nasi yang digoreng dengan minyak zaitun.

Ketika saya memesan mint tea, saya membayangkan bahwa yang akan disajikan adalah teh dalam porsi secangkir teh ukuran normal. Ternyata saya salah, karena yang datang adalah 1 sloki teh mint. Literally, ukurannya memang sangat kecil sehingga saya tertawa sendiri. Rasanya agak pahit dan mintnya sangat terasa. Saking terasanya, saya seperti menelan air teh yang dicampur pasta gigi, dan segarnya memang seperti pasta gigi.

Yang sedikit aneh dari Anatolia adalah dekorasi menuju kamar mandi. Kamar mandi itu terletak di sebuah lorong. Lorong tersebut didominasi warna biru, dan hanya ada 1 lampu sorot di wastafel. Sisanya penerangan mengandalkan lilin-lilin kecil berwarna merah dan biru sepanjang lorong yang menimbulkan suasana aneh. Teman saya mengistilahkannya seperti masuk ke istana drakula, ditambah lagi cermin-cermin besar yang digunakan di wastafel. Saya menggunakan istilah -tidak friendly sama orang takut gelap

Secara umum Anatolia sangat memuaskan hasrat kuliner kami. Harga yang kami bayar, sebanding dengan sensasi rasa yang kami dapatkan. Sayang kami tidak datang pada sabtu malam karena tenryata setiap sabtu malam ada sajian tari perut.