Selasa, 20 Oktober 2009

Indischetafel Bandung

Tua, artistik, enak dan kenyang. Keempat kata itu sepertinya cukup mewakili sebuahh restoran baru di Bandung bernama Indischetafel. Restoran yang mengusung tema makanan Indonesia dan Belanda ini terletak di Jl sumatera, tepat di seberang Brussel spring. Ketika melihat lokasinya yang berada di sebuah rumah tua yang dari luar terlihat apik, saya mengira kisaran harganya cukup tinggi. Namun ternyata dugaan saya salah.

Kunjungan pertama saya dilakukan malam hari. Beranda depan dipenuhi anak remaja yang sedang nongkrong dan mengobrol. Melihat itu, saya bisa menduga sepertinya harganya tidak terlalu mahal karena remaja Bandung sepertinya lebih sensitif harga dibanding Jakarta. Memasuki bagian dalam gedung, saya semakin menyukai interiornya. Ruangan pertama adalah kasir merangkap rak-rak pajangan kue kering ala Belanda yang dijual untuk pengunjung. Di ruangan ini, kita bisa melihat mesin kasir yang kuno banget.

Dari situ kita melewati sebuah lorong pendek yang kiri-kanannya terdapat ruangan-ruangan yang dijadikan ruang makan. di ujung lorong yang tidak terlalu panjang itu, kita akan menemukan sebuah ruangan besar berlangit-langit cukup tingi, dengan kipas angin besar di menggantung di beberapa bagiannya, meja makan kayu, benda-benda antik yang ditata secara artistik, serta 2 set sofa di pojok ruangan tepat di bawah jendela berkaca patri yang berwarna-warni. Dari sisi interior buat saya kurangnya cuma 1, yaitu sangkar burung yang dijadikan tudung lampu. Never like it, hehehe.

Pada saat kunjungan pertama, saya dan dan 1 orang teman saya memesan Bruinebownen soup, soup ala indischetafel, Lontong cap gomeh dan lidah saus keju. Untuk kunjungan kedua dengan rombongan berjumlah 6 orang, makanan yang dipesan adalah nasi campur ala indischetafel, nasi daun hanjuang, dan nasi goreng daging asap.

Dari sisi harga, untuk makanan non steak harga yang dibanderol cukup murah. untuk appetizer seperti soup, harga yang dibanderol itu sekitar 15rb, sedangkan untuk makanan utama harganya berkisar 30-40 ribu dengan porsi yang sangat mengenyangkan. untuk ukuran Bandung, harga steaknya lumayan juga, sekitar 80rb. Untuk minuman, harganya berkisar antara 10-20rb

Seperti yang sering saya lakukan di banyak tempat makan lainnya, ketika memesan makanan saya akan melihat di menu apakah ada chef suggestion. Di tempat ini, saya memesan yang ada tanda bintangnya dan tidak mengecewakan. Dari sisi rasa, berdasarkan makanan yang pernah saya pesan, feelnya lebih nendang di makanan Indonesia. Bruinebownen soupnya lumayan kental dengan warna kecoklatan dan daging yang terasa. Rasanya jauh lebih memuaskan dibandingkan soup ala indischetafel berupa soup jagung yang rasanya biasa saja.

Lidah saus kejunya enak, dengan kucuran saus keju yang murah hati. Sayang potongan lidahnya irit. kalo untuk lontong cap gomehnya, rasanya enak, tapi tidak terlalu istimewa. Berikutnya adalah nasi ala indischetafel yang terdiri dari nasi putih berbentuk kerucut, suiran daging ayam, plecing kacang panjang, kering kentang dan kacang, serta potongan sayuran. Untuk saya, plecing kacang panjangnya puedeees buanget, tapi teman saya yang pesanannya sama menyantapnya dengan lahap. Rasa ayam suirnya manis pedas, dengan ayam yang empuk dan bumbu yang meresap ke dalam, bukan hanya di kulitnya saja. Kering kentang dan kacangnya gurih, renyah dan spicy.

Berikutnya adalah nasi hanjuang berupa nasi yang dibungkus dalam daun hanjuang, dengan 3 potong tahu, perkedel, ayam panggang (paha utuh), peyek dan potongan sayuran. Bagian terbaik dari set menu ini adalah ayamnya yang besar, empuk dan rasanya yang meresap, agak manis, spicy tapi tidak pedas. Tahunya sendiri lembut dan enak. Untuk nasi goreng daging asap, rasanya biasa saja.

Secara keseluruhan, tempat ini cukup memuaskan. Saat yang paling tepat untuk mengunjunginya adalah di antara jam makan agar tempat ini kosong dan kita bisa menguasai setiap pojokan ruangan untuk berfoto-foto sesuka hati. tapi resikonya, beberapa menu sudah habis, seperti saya yang tidak kebagian ayam jepit bambu.

Jumat, 19 Juni 2009

radja ketjil

Ketagihaaaaannnnnn begitulah kesimpulan yang saya dapatkan setelah mengunjungi rumah makan radja ketjil di jl taman pendidikan II no 1 atau lebih dikenal sebagai daerah Tarogong. Atas rekomendasi seorang teman, sepulang kantor saya dan 2 orang teman kantor saya memutuskan untuk pergi ke tempat ini. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kantor, saya jalan kaki saja.


Tempatnya mudah ditemui karena terletak di ujung jalan tarogong begitu belok dari fatmawati. Bagunannya bagunan kuno gitu. Kalau lihat interiornya, ya ampun, jadul banget deh. saya sampe senyum-senyum sendiri saking jadulnya terutama melihat lukisan seorang gadis cina dnegan baju chiongsam. Mungkin karena kesan jadul ingin dikuatkan, maka lampunya temaram ala 25watt, jadi kayak jaman dulu banget, meskipun saya kurang suka lampu temaram-temaram gitu.


Sambil menyodorkan menu, pelayan juga mengantarkan cemilan untuk kita makan berupa acar timun dan wortel. Karena rasa asam yang merangsang perut kita, pas saatnya makan kita emang jadi lebih lahap. Acar yang disajikan langsung ludes habis dalam sekejap. wlaupun pergi ke radja ketjil waktu itu cuma bertiga, tapi tiga orang yang perutnya lebar, jadi menu yang dipesen banyak juga. Ada Sup putri Tambasia (20rb), tahu hujin tje lie rina (25.500), buncis sapi sezhuan (17rb), udang naga hijau (27rb), ayam nanking (21rb) dan kerupuk colek (8rb).


Saya kira sup putri tambasia itu porsinya adalah porsi perorangan, tapi begitu datang, tenyata porsinya besar. Jadi kami bertiga harus berbagi sup tersebut. Supnya terdiri dari kepiting, jagung dan taburan cabe kering di atasnya. Perpaduan rasanya lumayan enak, terutama sebagai pengantar makan. karena porsinya ebsar dan sayang apabila tidak dihabiskan, maka kami harus mengambilnya sedikit-sedikit, dimakan sebelum dan sesudah main course denga diselingi istirahat. merusak prinsip appetizer sepertinya, tapi biarlah.


Tahu huji tje lie rina yang disajikan juga enak banget. Menu ini terdiri dari 4 potong besar angsio tahu ayam cincang sayur pocay. Rasanya agak manis, dengan bumbu kental berwarna coklat. Tahunya lembut tapi padat dan berisi sehingga ketika masuk ke mulut itu rasanya smooth banget.


Buncis sapi sezhuan ini adalah favorit saya. Kebanyakan buncis sapi sezhuan yang pernah saya coba sebelumnya, mempunyai rasa cenderung manis dan daging yang sedikit. Di radja ketjil, rasa dari menu ini cenderung asin dengan perpaduan yang pas. Buncisnya kering dan renyah, disertai daging cincang yang banyak, juga rasa sambal yang tidak terlalu pedas dengan sepertinya sedikit terasi. maknyus banget deh. Ketika teman-teman lain sudah berhenti makan dan buncis masih tersisa, ya udah saya gado aja tanpa nasi karena emang enak banget. Saya makannya sampe merem melek gitu


Udang naga hijau ini sangat disukai teman saya. Bentuknya adalah udang sezhuan disajikan dengan brokoli dengan saus merah. Rasanya sih enak, tapi akrena saya udah jatuh cinta baget sama si buncis, jadi terasa biasa aja.


ayam nankingnya ini di antara menu di atas rasanya paling gak istimewa. menurut saya agak terlalu kering dan ksat. saos yang disajikan pun biasa saja. lumaya enak sih, toh abis juga (dasar pada rakus aja).


Percaya atau enggak, di radja ketjil kerupuk coleknya pun enak. iya sih harganya 8rb hanya untuk 6 potong keripik udah dengan 2 jenis saos. tapi gak nyesel deh, apalagi kalo dimakan sambil menunggu pesanan jadi. saos yang pertama berwarna coklat cenderung hitam dengan rasa manis sedikit pedas. sepertinya berbahan dasar kecap dan mungkin sedikit petis. Liday saya habisnya belum expert buat bedain bahan-bahan makanan, jadi agak meraba-raba. Saos yang kedua adalah sambel biasa, yang rasanya pas banget. gak terlalu pedas, tapi spicy dan sangat berasa.


Tanpa terasa satu persatu menu kami santap dan pada akhirnya kami kaget karena semua piring tandas tuntas tak bersisa.... bersih banget deh saking makanannya enak. Total kerusakan untuk kepuasan perut kami malam itu adalah 187rb termasuk minum dan pajak. Buat saya, itu adalah harga yang sama sekali tidak mehal mengingat porsi dan kualitas rasa. REccomended banget deh tempat ini....

trainz

Naik kereta api tut tut tuuuuuttttt di pim 1. Lho kok pim 1 si? jadi di suatu weekend yang penuh rencana, saya dan seorang teman mengunjungi pondok indah mall 1. Dia mengajak ke suatu cafe yang bernama trainz, yang pada saat itu baru soft opening. Kok namanya trainz yah? Pertanyaan saya terjawab ketika tiba di cafe tersebut. Ternyata, cafe tersebut itu dulunya ada di permata hijau, dan memang asalnya adalah toko penjual miniatur kereta api.


Begitu masuk ke dalam cafe tersebut, saya cukup kagum sama diorama kereta apinya. Panjangnya mungkin ada lebih dari 5 meter. Di diorama tersebut, beberapa jenis kereta api mainan (yang ternyata biarpun mainan tapi harganya muahaaallll) hilir mudik melewati aneka macam miniatur toko, stasiun, bahkan ada perbukitan, jembatan, air terjun, dan kereta gantung. Di salah satu spot, boneka pekerja bahkan bisa berjalan, dan ada gedung yang sedang terbakar. Si pengelola by request bisa memunculkan asap dari kebakaran gedung tersebut dengan menyuntikkan semacam cairan. Saya malah lebih konsen foto-foto di tempat itu dibanding makan. banyak orang tua yang membawa anaknya ke tempat ini untuk melihat diorama kereta tersebut, dan karena tidak ada yang membatasi diorama dengan pengunjung, anak2 balita dengan sukacitanya memegang si kereta kadang sampai terjungkir dan membuat si pengelola mempunyai petugas khusus. Oh iya, di trainz juga tetep ada counter yang menjual miniatur kereta.


Cukup dengan dioramanya, sekarang saya akan membahas makanannya. Hmmmmmmm sayangnya secara keseluruhan makanan di trainz ini std alias standar banget. Nama menunya si lucu-lucu karena berhubungan dengan kereta api. sayang jenis dan rasanya tidak istimewa. Ada milkshake, french fries, calamari, dan sejenisnya. Kebanyakan orang datang ke trainz untuk foto-foto. Bahkan katanya pernah ada seorang bapak yang dari pagi sampe sore nongkrongin kereta apinya, dan istrinya nemenin sambil ngemil di meja. Pada saat saya kesana sih, ada beberapa orang yang memang sengaja datang ke pim untuk memfoto dioramanya. Sudah agak lama juga saya gak kesana lagi, mudah2an kalo udah grand opening menunya bisa diperbaiki jadi gak cuma jual suasana keretanya, tapi juga rasa makanannya. tapi kalau ada dari teman-teman yang suka banget sama kereta, trainz is the right place to go.

lebak jero

Stasiun Lebak Jerok

Beberapa bulan yang lalu, kakak saya yang sedang hunting foto kereta api mengajak saya untuk ikut. Tadinya ada dua pilihan spot, yang pertama adalah stasiun lebak jero nagreg, dan yang kedua adalah jembatan kereta di dekat tol cipularang. Akhirnya diputuskan bahwa kami akan pergi ke lebak jero saja, karena aksesnya lebih mudah. Kami pergi dari Bandung sekitar pukul 6.30 pagi dan pagi itu cuaca bandung sedang agak berkabut. Wah saya senang sekali, bandung di pagi hari yang berkabut menurut saya sangat indah. Kabut terus menyelimuti perjalan kami sampai menjelang to cileunyi, dan kami bisa melihat matahari pagi yang canti. sayangnya, matahari pagi tersebut tidak bisa kami foto karena tidak bisa berhenti sembarangan di jalan tol.Rombongan terdiri dari saya, kakak saya, istrinya dan seorang keponakan. Kami pergi lengkap dengan aneka macam snack.


Tidak sampai 1 jam, kami sudah tiba di daerah nagreg dan sempat bertanya-tanya juga sih dimana letak stasiun lebak jeronya. Ternyata kalo dari arah bandung, ada di sebelah kanan jalan dengan plang yang kecil. katanya sih sekarang sudah diperbesar. Pertama kami memasuki daerah perkampungan, dan bertanya dimana stasiunnya. Seorang penduduk menyarankan untuk menggunakan mobil naik ke atas karena jauh. Semakin lama, jalan semakin sempit, semakin tidak ada rumah dan hanya ada deretan kebun jagung saja. Yah nyasar deh.... untung ada petani lewat, dan kami muter. Turun lagi ke bawah, dan akhirnya berenti di depan sebuah warung. Setelah bertanya lagi, kami ditunjukkan jalan menuju ke stasiun lebak jero. Pantesan gak ketemu, orang jalan menuju ke stasiun itu bentuknya cuma gang kecil. Saya sampe bingung kenapa stasiun ini beken.


Baiklah, kami ikuti gang kecil itu, dan ternyata jalannya mendaki dan harus melewati anak tangga. Duh, stasiun apaan sih ni.... Ternyata, di anak tangga terakhir terbebas dari gang sempit, kami langsung melihat pemandangan yang sangat indah. Stasiun lebak jero terletak di kaki gunung, menghadap lembah di sekitarnya. DAri jauh, kami masih bisa melihat sisa-sisa kabut di pagi hari. Begitu sampai, kami langsung laporan ke kepala stasiun yang sangat ramah dan membantu. Beliau menyebutkan bahwa antara jam 8-10, ada 3 kereta api yang lewat dari arah bandung menuju jawa. Beliau bahkan memberitahu bahwa hari sebelumnya ada serombongan pecinta kereta api yang sengaja menginap di rumah penduduk untuk mendapatkan moment kereta yang melintas di pagi hari. Waduh, niat bener...


Saya dan kakak saya berpencar, mencari spot yang berbeda. Saya ke jembatan kereta, sedangkan kakak saya ke arah sebaliknya. Sepertinya daerah di sekitar stasiun lebak jero ini adalah daerah penghasil jagung karena dimana-mana saya melihat kebun jagung, orang mengangkut jagung, pokoknya jagung banget deh. KEtika melewati jembatan kereta, saya kagum sama penduduk setempat yang sambil bawa keranjang jagung bermuatan penuh, bisa dengan lancar dan cuek aja ngelewatin jembatan rel kereta. Padahal di bawah rel kereta kan bolong-bolong dan lembah. Akhirnya saya mendapatkan spot yang saya inginkan dekat jembatan kereta dengan meminta izin dulu sama si yang punya tanah yang kebetulan lagi ada disitu. Tunggu punya tunggu, akhirnya datanglah kereta pertama yang dinantikan. wuzzzzzzz. berdiri dekat kereta yang melintas walauun di pinggir bikin deg-degan juga.


Setelah kereta pertama lewat, saya kembali ke stasiun keretanya untuk menunggu kereta berikutnya datang. Biar beda spot lah.... tidak lama, kereta yang dinantikan pun tiba. Si kepala stasiun malah berbaik hati memberi tahu spot yang lebih bagus lagi. Katanya, kami harus pergi ke lapangan bola dan tenyata lapangan bolanya ada di bukit kecil gitu. yah... mendaki lagi deh. Sebetulnya pemandangan di sekitar lapangan bola sangat menyenangkan. anak-anak bermain, ibu-ibu tua membawa kerangjang, ayam dan anjing yang melintas, gunung, lembah, semua ada deh. Tidak berapa lami kami tiba di lapangan bola yang dimaksud. kami harus melewati kebun jagung, semak-semak, tanah merah yang masih basah (nah ini baru niat ngefotonya). Setelah keceng sana keceng sini, saya gak gitu suka anglenya. udah dipinjemin lensa tele punya kakak saya juga tetep gak suka (atau emang gak bisa make, jurus pure amatir mode on, hehehe). Jadilah kakak saya nongkrong di kebun jagung di atasnya lapangan bola. duh beneran perjuangan itu naeknya, soalnya licin. Saya turun agak ke bawah, hampir dekat dengan rel kereta.


Kereta yang ditunggu agak lama baru datang. Saya sempet bosen dan ngantuk juga. Gatel, dikerubutin nyamuk, dan harus duduk beralas tanah. Kakak ipar dan keponakan saya sih nunggu di stasiun. Beberapa anak kecil yang lewat menatap dengan bingung. Akhirnya kereta lewat juga, hore!!!! Setelah pamitan dengan kepala stasiun, kami menuruni bukit tersebut dan pergi ke warung terdekat untuk beli minum. eh, tenryata banyak jajanan lucu nih, termasuk kacang sukro murah meriah 100 rupiah yang rasanya cikur banget. pas kami kembali ke tempat mobil diparkir, Waduh.... tenryata petualangan belum selesai. Karena lagi musim panen jagung, di sepanjang jalan itu orang-orang menjemur butiran jagung mereka. jadi jalannya dialasin karpet jagung gitu. Jadi gimana lewatnya dong? Untungnya, seeprtinya sih si jagung-jagung itu akan diolah untuk pakan ternak dan memang harus dihancurkan. Jadi penduduknya gak keberatan kalo bentangan karpet jagung mereka dilindes ban mobil. ya cuma harus berpunten-punten ria aja sepanjang jalan. hari yang menyenangkan ^_^

kampung naga

catper Kampung Naga

Dengan menggunakan bus carteran, saya dan keluarga besar beberapa waktu lalu pergi mengunjungi garut dan kampung naga. Titik tolak keberangkatan kami adalah garut, karena pada saat itu adalah pemilu dan ada sebagian yang menggunakan hak pilihnya disana. Perjalanan dari Leles-Garut menuju kampung naga melewati jalan yang berkelok-kelok tapi dengan pemandangan yang sangat indah. Waktu tempuh antara Leles-Kmpung Naga dengan bus sewaan itu sekitar 1 jam. Di sepanjang perjalanan, terutama di sebelah kiri jalan dari arah kota Garut, kita bisa melihat pemandnagan lembah, sawah dan sungai yang menawan, sangat menyegarkan pandangan.


Kampung naga ternyata terletak di sebelah kiri jalan, dan ada semacam gapura besar menandai pintu masuknya. Hal pertama yang kami lihat adalah lapangan parkir kendaraan. Awalnya saya bertanya dimana letak kampungnya. Berjalanlah kami ke dalam, dan ternyata tidak jauh dari parkir bus ada semacam pos penjagaan dengan plang yang menuliskan syarat-syarat mengenai bagaimana cara memasuki kampung naga. Disitu sih tertulis kalau ingin mengunjungi kampung naga harus ada surat izin tertulis dari si tetua kampung, dll, apalagi kalau ingin melakukan penelitian. Tapi ternyata ada cara lain. Satiap hari, ada penduduk kampung naga yang mendapatkan giliran untuk berjaga di pos dan menemani tamu apabila ada yang ingin berkunjung ke kampung naga. Akhirnya kami pun menggunakan jasa bapak tersebut. Biaya yang dikeluarkan sama sekali tidak mahal. 100rb itu sudah termasuk parkir dan guide yang mendapingi sekitar 40 orang. jumlahnya sebenernya sukarela sih, kecuali biaya parkir. asal kita nanti belanja saja di tempat souvenir.


Setelah lepas deretan warung, hal yang pertama kami lihat adalah tangga. Beberapa dari saudara saya yang sudah sepuh memutuskan untuk membatalkan perjalanan mereka dan menunggu saja di tempat awal. Tangga tersebut curam berkelok menuju ke bawah. Semua orang yang memutuskan untuk turun langsung berpikiran "wah, baliknya gimana nih?". Tapi saya pribadi sangat menikmati perjalanan ke bawah tersebut. Total, ada sekitar 360 anak tangga yang harus dilalui untuk mencapai lembah kampung naga, karena kampung tersebut terletak jauh di bawah permukaan jalan. Bahkan katanya nama kamppung naga sendiri diambil dari bentuk anak tangganya yang berkelok seperti naga. katanya lho ya.... Pemandangan dari anak-anak tangga tersebut cukup menakjubkan. Sawah-sawah yang berbentuk terasering menghiasi perbukitan yang menghadap sungai besar. Bahkan, ada air terjun mini di dekat bukit tersebut. Dari kejauhan, atap-atap rumah kampung naga yang terbuat dari ijuk sudah mulai terlihat.


Kita pun melintasi gang-gang rumah penduduk kampung tersebut, dan semua rumah menghadap ke arah yang sama serta terbuat dari bilik sederhana. Ada beberapa peraturan yang ahrus diikuti oleh warga kampung. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan listrik, tapi boleh mendapatkan listrik dengan accu, atau penerangan dengan menggunakan minyak tanah. Awalnya saya membayangkan kalau kampung naga itu adalah kampung yang sangat kuno dan seolah membawa kita ke jaman yang berbeda. Tapi ternyata gak sekuno itu juga, soalnya mereka boleh punya tv asal pake accu dan bukan listrik. Jadi, deretan antena tv menghiasi atap perumahan mereka. hmmmm sebenernya amsih cocok disebut kampung adat gak yah kalau begitu? Saya termasuk yang kurang puas dengan ketidakunoan kampung tersebut. Ibu saya bilang, bahwa keadaan kampung naga tersebut mirip dengan kondisi garut di tahun 1960an. bibi saya yang jauh lebih muda dari ibu saya bilang bahwa dia masih mengalami kehidupan seperti di kampung naga tersebut. Saya sempat bertanya apakah anak-anak kampung naga diizinkan bersekolah. Ternyata mereka diizinkan bersekolah, walau letak sekolah tidak ada di kampung tersebut jadi harus keluar kampung dan melewati 360 anak tangga itu setiap harinya.


Bentuk dan bahan material rumah satu dan lainnya sama. Di bukit perumahan yang paling tinggi, ada satu rumah yang disebut rumah ageung (dalam bahasa indonesia artinya rumah besar). Rumah ini tidak boleh dimasuki sembarangan orang. Hanya tetua adat saja yang boleh memasuki rumah tersebut dan mengetahui apa isinya. Kalau dilihat dari luar, rumah ini tidak memiliki jendela, dikelilingi oleh pagar dan tanaman yang menghalangi pandangan ke arah dalam. Kami pun tidak boleh mengambil foto dari tepat di depan rumah tersebut, harus dari jarak yang agak jauh. Tapi kamera sekarang kan ada zoomnya, jadi ya gak terlalu berpengaruh juga. Salah satu sepupu saya yang masih anak kuliahan malah bilang "teh, kok orang di kampung ini gak penasaran yah? kalo nisa yang tinggal disini nisa mau ngendap malem-malem biar tau apa isinya." huahahhahaha.


Guide yang menjadi petunjuk jalan mengajak kami berkeliling kampung dan melihat bentuk dapur tradisional, isi dalam rumah, dll. Salah satu hal yang masih mereka pegang teguh adalah larangan-larangan adat seperti menebang pohon. Mereka masih menggunakan cara tradisional dalam mengelola ternak mereka. Bahkan guidenya bilang, karena masih menggunakan tradisi itulah ayam-ayam mereka walaupun wabah flu burung melanda tapi tetap sehat walafiat. Salah satu hal yang menurut saya lucu di kampung tersebut adalah, saya melihat salah satu penduduknya sedang mencukur habis bulu dombanya dengan menggunakan gunting. wah kayak di new zealand aja. Ada beberapa toko souvenir yang dimiliki penduduk kampung tersebut dan menjual alat maupun aksesoris tradisional. Toko souvenir mana yang dikunjungi adalah tergantung dari siapa guide hari itu, karena biasanya toko tersebut adalah milik guidenya. jadi semua toko akan mendapat giliran masing-masing tanpa harus rebutan. Agak menyesal juga saya kurang banyak ngobrol sama guidenya karena lebih banyak foto-foto.


Di arah keluar kampung, ada sebuah sungai dengan banyak bebatuan yang di atasnya. Banyak dari keponakan saya terutama yang cowok, langsung bersemangat menceburkan diri dan bermain di sungai tersebut. Maklum di Bandung sungai sudah sangat tercemar sehingga jarang-jarang mereka bisa mendapatkan kesempatan langka berenang di sungai. Ketika kami sudah akan pulang, ada rombongan turis bule yang baru datang. Dari logat mereka, sepertinya berasal kalau tidak dari belanda ya dari jerman. Salah satu dari mereka bahkan mencoba untuk pipis di bilik toilet tradisinal yang disebut pacilingan oleh orang Sunda berbentuk bilik setengah badan. Jadi kalau berdiri, pinggang keatas akan terlihat dari lur. Atas izin bule tersebut, saya ambil fotonya :-D


Tibalah saatnya pulang. Ketika melewati sawah-sawah saya masih bisa riang gembira. Menaiki anak tangga awal pun masih bisa sambil nyanyi-nyanyi. semakin tinggi anak tangga, saya semakin ngos-ngosan. Bahkan di beberapa bagian setiap 5 anak tangga saya berhenti, begitu pula kakak laki-laki saya. Bahkan tante saya sempat menawarkan bantuan, jadi agak memalukan memang situasinya. Untung saja di tengah perjalanan tangga itu ada warung, jadi kami berhenti sebentar buat minum dan beristirahat sejenak. Baiklah, masih lebih dari 100 anak tangga lagi yang harus dilewati untuk mencapai tempat parkir. Selangkah demi selangkah dlewati, dan akhirnya tanda-tanda peradaban muncul juga. Di atas keluarga besar saya sudah menunggu. kakak saya sampai sebelum saya dan saya sampai terakhir! Begitu saya sampai para sesepuh, ibu, uwa, bibi, emang semua menyoraki dan tepuk tangan. Duh... muka...ditaro dimana nih? Ternyata, dari satu bis, juara pertama meniti tangga adalah uwak saya yang berusia 73th, disusul ibu saya yang 67th tanpa beristirahat di satu anak tangga pun. ruarrrr biasaaa! Lebih luar biasa lagi anak-anak kampung naga yang setiap hari harus melewati anak tangga menyiksa itu untuk bersekolah. Sepertinya porsi olahraga saya harus ditingkakan nih, atau kembali makan daun-daunan lalab seperti sesepuh keluarga saya itu. biar kayak kambing, back to nature sepertinya bikin sehat.....


Setelah beristirahat sejenak dan mengisi kembali cairan tubuh, bus pun kembali bertolak ke garut. Rendaman air panas pegunungan di cipanas telah menanti. Duh, enaknya habis cape turuni lembah mendaki bukit terus merendam badan di air panas berbelerang. my "ah..." moment.

Boka buka French Resto

Bokabuka

Di malam dengan perut lapar dan rasa bosan atas makanan di sekita D-Best Fatmawati yang itu-itu aja, tercetus ide untuk makanan di sebuah restoran Pakistan di Puri Mutiara. Naiklah saya dan seorang teman ke angkot S-11 yang mangkal di depan kantor. Seperti biasa, selama di perjalanan saya selalu melihat kiri dan kanan siapa tahu ada tempat makan menarik yang belum pernah didatangi. Ternyata, di jalan Cipete Raya, terlihat sebuah plang bertuliskan Bokabuka yang saya kira restoran Jepang. Ternyata teman saya bilang itu adalah restoran Perancis. Berhentilah kami segera di jalan Cipete Raya, dan niat menyantap hidangan Pakistan menguap sudah. Saya dan teman saya sempat berdebat mengenai letak restoran karena tenryata ada dua tempat. Kalau kita lebih teliti, yang satu menyediakan makanan Eropa dan yang satu lagi khusus menyediakan makanan Perancis yang baru dibuka pada bulan Desember 2008, walaupun menurut teman saya Perancis kan ada di Eropa, jadi kenapa harus dipisah.Ketika kami datang, tempatnya sedang sepi sehingga hingga malam pun hanya kami berdua yang ada di tempat tersebut.


Masuklah kami ke Bokabuka yang menyediakan restoran Perancis. Ruangan didekor dengan minimalis, dengan desain lampu temaram namun bernuansa hangat. Kami memilih untuk duduk di meja dekat bar yang menghadap taman dan merupakan smoking room. Pelayan segera datang membawa sebuah papan tulis besar yang bertuliskan menu dari teras depan. dikarenakan nama makanannya ditulis dalam bahasa Perancis, kami perlu menanyakan secara detail apa arti dari menu tersebut. Untuk penguasaan menu, pelayannya patut mendapatkan penghargaan karena bisa memberikan penjelasan yang detail.


Akhirnya kami memilih 4 menu: 1 Escargot Mushroom (55rb), 1. Dinde Estragon (87rb), 1 Dorade provencalle (85rb), 1 Dame Bruxelles (40rb), Air Mineral (12rb) dan Ice tea (17rb). fTotal kerusakan setelah ditambah gelas kedua untuk ice tea dan botol kedua untuk air mnirela adalah 325rb. Sambil menunggu makanan datang, kami disajikan free welcome drink dalam sloki kecil. Ternyata itu adalah campuran air jahe, lemon serta gula dengan dberi es batu. Saya sih suka banget, sedangkan teman saya hanya meminum setengah dan memberikan sisanya untuk saya. Kami juga diberikan 4 potong garlic bread beserta mentega.


Makanan yang pertama kali datang adalah appetizernya berupa escargot mushroom yang 1 porsinya terdiri dari 6 mushroom dan escargot. Menu ini terdiri dari escargot yang dimasak bersama jamur dengan bumbu perpaduan antara cream, susu, keju dan minyak zaitun. Setiap potong escargotnya, diletakkan di atas jamur. Pertama saya coba escargotnya dulu. Perpaduan smeua bumbu meresap ke dalam sehingga membuat si escargot sangat berasa. Kemudian saya coba jamurnya, wah gak kalah enak tuh. entah kenapa jamur dan cream yang dalam bayangan saya akan terasa aneh apabila digabungkan menjadi sangat enak. Akhirnya, saya memakan si jamur bersamaan dengan escargot dan perpaduannya terasa mengasyikan.


Berikutnya adalah pesanan saya, dinde estragon berupa daging kalkun dimasak menggunakan tanaman bernama tarragon (cari2 di kamus online gak nemu bahasa indonesianya apa) dengan sedikit white wine sebagai pengharum, baked potato yang masih terbungkus alumunium foil dan sayuran dengan bumbu yang berbentuk krim, keju. Rasanya enak, tapi tidak istimewa


Pilihan teman saya adalah dorade provencale. Bentuknya berupa ikan kakap dimasak dengan jamur yang disetup, disajikan dengan tomat dilumuri minyak zaitun, serta baked potato yang ditaburi daun mint. Jamur yang digunakan adalah jamur champignon yang dimasak hingga berwarna hitam. Bentuknya sih gak menarik untuk dilihat, tapi rasanya enak banget. Buat saya bagian terbaiknya justru berupa tomat yang dilumuri minyak zaitun dan gak tau dicampur apa lagi karena rasanya enakkkkkkkkk banget. The best menu of the night sih si tomat ini, hehehe


Terakhir adalah dessertnya. dame Bruxelles itu berupa wafle berukuran agak besar yang dipanggang kering sehingga sangat renyah, ditaburi gula halus putih, disiram dengan melted chocolate dan 1 scope besar es krim vanila di atasnya. Saya tidak salah pilih, karena saya sengaja meminta saran sama pelayannya, mana dari semua menu dessert yang paling banyak melted chocolatenya. suapan demi suapan masuk ke dalam mulut saya. ah, tenryata seporsi waffle untuk berdua tetap terlalu besar.


Secara umum, menu di bokabuka buat saya enak, dengan 1 menu seperti dorade provencale yang sedikit di atas rata-rata kategori enak, tapi belum seluar biasa Java Bleu. Toh toh harga per menunya pun memang sekitar 10-20ribu lebih murah dibanding Java Bleu.


Bokabuka: Jl Cipete Raya no 1 Jakarta Selatan
Tel: (021) 766 4308

Penyesalan cinta

Ini bukan judul lagu, bukan juga judul sinetron. Saya hanya ingin membagi pengalaman bagaimana rasa cinta saya yang besar atas makanan membuat saya berpikir dalam.


Dua bulan yang lalu, atas rekomendasi seorang teman, saya dan tentunya seperti biasa ditemani oleh seorang partner, menikmati brunch di Rosso hotel Shangrilla. Teman yang merekomendasikan tempat ini sudah mewanti-wanti saya agar memesan tempat terlebih dahulu, karena brunch di Rosso selalu penuh dan hanya tersedia pada hari minggu saja. Akhirnya 3 hari sebelum hari h saya memesan tempat di restoran ini untuk 2 orang. Harga per paxnya adalah 260rb untuk yang tidak memakai wine, dan kalau tidak salah 280 rb untuk yang memakai wine. Saya memesan yang tidak memakai wine, dan setelah dihitung dengan tax dan service charge, harga per paxnya itu 320rb. Waktu yang tersedia untuk menimati Sunday brunchnya itu adalah dari pukul 11.30-14.30. Makanya saya agak bingung kenapa dinamakan brunch, dan bukan lunch saja.


Buat saya, uang 320rb per orang sekali makan adalah jumlah yang besar. Oleh karena itu, saya bertekad untuk tidak menyiakan kesempatan tersebut. Pada hari h, saya bangun lebih pagi untuk sarapan dan itu pun hanya berupa sup, agar ketika waktu makan siang tiba saya sudah sangat lapar. Teman saya yang bangun agak terlambat bahkan memutuskan untuk tidak makan pagi. Kesepakatan kami adalah untuk datang di tempat jam 11.15 agar ketika jam 11.30 tiba, kami sudah bisa langsung makan. Makan memang perlu strategi, begitulah pikir saya.


Saat yang ditunggu tiba. Di Rosso yang dekorasinya didominasi warna merah, dengan pelayan yang ramah (ya iyalah ramah, secara mahal bayarnya. Kalo gak ramah si kebangetan), saya mendapatkan kursi tepat di depan meja seafood. Huhuy!lobster, oyster, kepiting, tiger prwan, semua memanggil-manggil saya untuk segera melahap mereka. DAri awal kami duduk, pelayan sudah menanyakan apa yang ingi kami pesan untuk main course. Untuk appetizer, sebagai orang yang masih price sensitive dalam makanan, tentu saja yang saya ambil paling banyak adalah lobster. Di hari lain mana bisa makan lobster sepuasnya. Lobsternya fresh, udangnya juga. Tapi pilihan oysternya kurang ok. Ada 2 jenis oyster, dan salah satunya adalah kerang hijau biasa. Betul kata salah seorang teman saya, kalau mau oyster enak, jangan pilih yang all you can eat.


Setelah makan seafood dengan semangat 45, saatnya masuk ke appetizer yang lain. Aaaaaaaa panic mode on! help! Ternyata buffet appetizernya terdiri dari begitu banyak macam salad, cold cut, daging asap, keju, serta aneka jenis saus yang menggoda selera. Tenang fit...tarik nafas.... konsentrasi. Saya mengambil beberapa jenis salad dengan jumlah sedikit saja dan menambahkan saos merah yang rasanya manis (sepertinya dari cranberry) dan satu saus berwarna kuning yang rasanya agak asam. Di tengah euforia menyantap makanan tersebut, seorang pelayan datang untuk menanyakan apakah kami mengininkan soup. Setelah beberapa lama, dan beberapa kali balikan ke meja appetizer, akhirnya soup yang kami pesan datang. Hanya tersedia satu jenis soup hari itu, dan itu adalah minestrone soup. Tampilannya sangat sederhana dan bentuknya pada dasarnya hanya sup sayur biasa. Tapi di balik tampilan sederhananya, rasanya cukup enak. Teman saya setelah itu masih sempat mencicipi aneka macam pasta seperti Stuffed Ravioli with Tiger Prawn Sauce, yang dimasak dan diantarkan sendiri oleh chefnya kemeja kami, yang menurut saya rasanya enak tapi tidak terlalu istimewa. Untuk pasta, tersedia 10 jenis sauce lainnya. Saya sih merasa cukup dengan bola daging saja. tebal, tasty, spicy. Di sela-sela itu, aneka macam juice mengobati rasa haus kami


Main course yang kami pesan datang. Veal Wrapped in Cabbage Stuffed with Mushrooms and Spinach yang dipesan teman saya rasanya lumayan, tapi biasa saja, begitu pula Pan Seared Sea Bass with Marinated Veggies yang saya pesan. Tapi saya lebih suka pesanan saya yang rasanya lebih spicy. Yah namanya juga orang indonesia, kalau gak nendang gak sip. Kami makan perlahan, menikmati setiap suapannya. Saatnya..... dessert. Berjalan lah saya ke tempat hidangan penutup disajikan. Kalau tadi diawali dengan panik, kemudian euforia, mungkin saat ini lebih tepat disebut kerasukan. Aneka macam mousse, coklat, biskuit, puding, buah, es krim dan tart disajikan dengan sangat menggoda. Ah........ pusing-pusing.... pilih mana ya?saya mengambil satu mousse coklat yang bernama panacotta, puding mangga, beberapa potong praline. Teman saya mengambil es krim, tiramisu dan panacotta. Gak ada lagi dari kami yang sanggup mengambil aneka macam tart. Juara dari pilihan kami adalah: panacotta! Rasanya luar biasa bikin melayang. sloki yang kecil tersebut terdiri dari lapisan demi lapisan dark chocolate dan white chocolate yang lembut. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit, aduh pokoknya enak deh. Saya punya prinsip yang agak aneh. Kalau saya menemukan makanan yang rasanya enak banget, saya tidak akan mengambil porsi kedua agar memori saya akan makanan enak tersebut tetap kuat. dalam 3 tahun terakhir ini, si penacotta adalah makanan kedua yang masuk dalam kategori tersebut. Kepuasan hari itu ditutup oleh secangkir teh untuk saya, dan secangkir kopi untuk teman saya. Kami mengakhiri pertempuran tepat pukul 14.30, dengan perut yang rasanya mau meletus. ya.. tanda-tanda asupan yang berlebihan.


Di taksi, pikiran saya mulai melayang. Bukan karena menyesal, tapi lebih karena khawatir. Satu persatu bayangan leluhur, saudara ataupun ayah saya masuk ke kepala dengan penyakit mereka masing-masing. Kolesterol, asam urat, diabetes, darah tinggi, dan penyakit berat yang disebabkan faktor-faktor tersebut. Saya diberkahi Tuhan dengan badan mungil yang berat badannya tidak akan bertambah walau makan sebanyak apapun. dalam usia 26 tahun, tiba-tiba saya bergidik membayangkan apakah saya akan menghabiskan hari tua dengan tumpukan aneka macam penyakit dan mengakhiri hidup saya perlahan tapi pasti dengan fungsi organ tubuh yang perlahan semakin menurun hanya karena: makanan! kok kayaknya pesta pora saya di hotel bintang lima itu jadi terasa berlebihan. Ada semacam tarik menarik di hati nurani saya. antara perasaan merasa berhak untuk menikmati hidup, dan perasaan bersalah. Sampai akhirnya saya sempat membuat visi gak penting untuk lucu-lucuan. Saya harus melakukan apapun agar ketika tua bisa hidup nyaman, kaya raya, makan enak tapi tetap sehat. Setidaknya pola hidup sehat menjadi bentuk tanggung jawab saya terhadap sanga maha kuasa yang menganugerahi saya tubuh ini. Pokoknya saya gak mau ketika udah tua cuma bisa makan sayur rebus dengan gula dan garam diet. Kata kuncinya adalah: kontrol


Keesokan harinya saya bangun lebih pagi, memaksakan diri jalan pagi di fatmawati dan sekitarnya selama setengah jam, disambung yoga selama setengah jam dan meditasi 15 menit. Waktu berjalan kakinya ditambah di akhir pekan. Baru beberapa hari kemudian saya menemukan fakta bahwa haram hukumnya menginjak jl fatmawati jam 6.15 dan sesudahnya untuk olahraga. Alih-alih badan sehat, hanya tumpukan polusi yang akan mengisi paru-paru saya. Saya pun hanya memakan oat/havermout untuk sarapan, dan menggantikan snack sore saya yang biasanya super beracun berbentuk gorengan yang digoreng menggunakan minyak jelantah berwarna hitam, bakso dengan penyedap, ataupun crepes dan donut yang penuh lemak dengan apel. Berusaha keluar dari kebiasaan memakan makanan yang semakin beracun semakin enak. Ternyata jalan pagi saya menyenangkan karena saya banyak melihat hal menarik yang tidak saya temui di siang hari. Tukang sayur, ibu-ibu bercengkrama, bapak-bapak berjalan pagi, pengemis yang kalau siang mangkalnya dekat kosan saya tapi kalau pagi di gang sebelah. Klorofil, dan susu cap beruang pun menjadi bagian dopping sehari-hari.


Tekad saya bertahan selama beberapa minggu. Teman-teman kantor sampai rajin menggoda saya, menaruh gorengan di atas meja, atau bahkan menawari traktiran racun. saya bergeming, bertahan dan tetap melaksanakan hidup sehat saya. tibalah saat tugas keluar kota, tumpukan pekerjaan yang tidak selesai-selesai, pola tidur yang berubah menjadi lebih larut. Tetap terjaga setelah shalat shubuh sepertinya menjadi sesuatu yang menyiksa. Godaan bantal, guling dan selimut tebal dalam ruang ber-ac menjadi tak tertahankan. Rusak sudah semua tekad dan visi hidup yang tadinya gak penting dan cuma lucu-lucuan menjadi kata-kata tanpa makna. Sekali berhenti olahraga, susah banget deh mulainya lagi. sepertinya saya harus memulai lagi dengan mengikuti kegiatan olahraga berbayar. Seengaknya kalau gak dateng jadi ngerasa rugi uang. Hati nurani memang sangat sulit untuk dituruti, apalagi godaan siap sedia menghadang, hiks...hiks... T_T.

Senin, 11 Mei 2009

trip review: pantai sumur tiga sabang



Belum afdol rasanya kalau pergi ke Aceh tanpa mengunjungi Sabang. Jadi hari sabtu saya bersama seorang teman pergi menuju sabang. Kapal menuju sabang, berangkat dari pelabuhan Ulee lheue yang baru. Bangunannya sekarang sangat bagus, sayang jalannya masih diperbaiki, jadi perjalanan ke pelabuhna dengan menggunakan becak motor mirip dengan off road singkat. Ada dua kapal menuju Sabang, yang pertama adalah feri cepat yang berangkat dari ulee lheu Banda Aceh ke pelabuhan Balohan sabang 1 hari 2 kali setiap pukul 9.30 dan 16.00. Harga tiketnya adalah 60rb untuk kelas ekonomi, 70rb untuk kelas bisnis dan 85rb untuk kelas vip. saya mengambil kelas ekonomi. Kapal cepatnya sendiri lumayan nyaman karena bersih dan ber ac. Apabila cuaca cerah, jarak banda aceh-sabang bisa ditempuh dalam waktu 40 menit. Pilihan kedua adalah feri lambat. Bagi yang ingin membawa kendaraan sendiri, feri lambat adalah pilihan yang tepat. Saya lupa menanyakan harga tiketnya, tapi jam berangkatnya lebih siang dan waktu tempuhnya adalah 2 jam.

Perjalanan saya diberkahi cuaca cerah, sehingga tidak terasa goncangan apapun di dalam kapal, dan kami terbangun ketika kapal sudah tiba di Balohan. Tujuan kami adalah pantai sumur tiga. Sebelumnya, saya sudah pernah mengunjungi iboih maupun gapang dan snorkling disana. Di Iboih, penginapannya kebnayakan backpacker style sekali, dengan range harga kamar sekitar 70 rb, kamar mandi luar, bahkan saya pernah mengalami ada babi hutan di kolong bungallow, terletak tepat di pinggir pantai dan kita bisa melihat ikan-ikan hilir mudik di laut dari balkon kamar kita. Kalo ke iboih, saya biasa menginap di Julian's. Jadi ketika teman saya mengajak ke pantai sumur tiga saya sih setuju saja. DAri pelabuhan, kita bisa menggunakan kendaraan L300 ke semua tujuan di sabang dengan ongkos yang berbeda tergantung jarak. TErnyata jarak dari Balohan ke sumur tiga tidak terlalu jauh, dan ongkosnya hanya 25rb saja, tidak seperti ke iboih atau gapang yang bisa sampai 70rb. Tapi, apabila kita menuju ke arah antai sumur tiga, kita tidak akan melihat monyet sabang yang suka nongkrong di pinggir jalan maupun sisa pemandangan sabang yang lain. Tapi bagi yang menginap di pantai sumur tia, jangan khawatir. Minta saja no hp supir L300 yang kita tumpangi, dan mereka siap mengantarkan kita keliling pulau dengan ongkos yang tergantung jarak tentunya.

Di pantai sumur tiga, kami memesan tempat di casanemo dengan harga bungalow rp 275rb/malam dan Harga kamar standarnya 225rb/mlm. Sebetulnya ada tempat yang kata teman saya lebih terkenal, namanya santai sumur tiga atau lebih dikenal dengan freddie, tapi freddie penuh. Bungalow di casanemo disusun berundak-undak di sebuah bukit. Begitu sampai ke front desk yang merangkap restoran, kita bisa langsung melihat pantai pasir putih dan laut lepas. Pemandangan yang sangat damai....

Kamar kami terletak di bungallow paling atas, yang pemandangan ke arah pantainya tertutupi beberapa pohon. Di setiap bungallow, ada balkon yang digantungi hammock. Kamarnya dilengkapi oleh kipas angin besar di langit-langit, dan kamar mandinya dilengkapi bath tub serta air panas dengan jendela ke arah pantai. Karena waktu itu belum jam makan siang, kami memutuskan untuk istirahat dulu. Jendela kamar kami buka lebar-lebar sehingga angin laut masuk ke kamar. Tanpa terasa, saya ketiduran di hammock yang menggantung di balkon menghadap laut lepas sambil mendengar deburan ombak.

Bangun tidur dengan perut lapar, kami turun untuk makan siang di restorannya casanemo. Chefnya seorang bule bernama Carlos, tapi saya lupa menanyakan kewarganegaraannya apa. Siang itu kami memesan penne dengan boloignaise sauce. Rasanya... hm..... kurang sesuai selera karena terlalu asam dan sedikit keasinan kalau untuk saya. Selesai makan siang kami turun ke pantai untuk berjalan-jalan. Apabila kita menyusuri pantai ke arah kiri casanemo, kita bisa sampai di cottage sebelahnya yang bernama freddie(santai sumur tiga). Sebetulnya kedua cottage tersebut dimiliki oleh orang yang berbeda, tapi karena pemilik casanemo harus pergi ke luar negeri, pengelolaannya diserahkan ke freddie. Kabar-kabari sih freddie dulu adalah seorang advisor lembaga internasional di Banda Aceh, yang karena suka sekali dengan sabnag akhirnya memilih untuk membuka tempat peristirahatan di sabang.

Sore itu kami memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri pantai, dan mengunjungi freddie. Sore itu gelombang pasang, jadi perjalanan dari casanemo ke freddie diiringi ombak-ombak yang pada beberapa tempat merendam kaki kami berdua. Berbeda dengan restorannya casanemo yang tidak menjual snack. freddie menjual dari mulai snack, sikat, gigi, dll. Bentuk resto freddie menurut saya sangat menyenangkan. interiornya didominasi oleh kayu, dengan dapur terbuka tepat di sebelah restorannya sehingga kita bisa melihat proses memasak disana. Sambil menikmati pemandangan ke arah pantai dan laut, kami memesan tempat untuk makan malam, dengan harga 65rb/pax. Setelah dari sana, kami kembali ke pantai dan ke cottage betul-betul hanya untuk bermalas-malasan. Sesekali, kami dapat melihat kapal-kapal besar melintas di kejauhan. Sayangnya sejak sore listrik di cottage kami mati, dan hal tersebut memang sudah biasa terjadi di Aceh, ditambah lagi casanemo tidak mempunyai genset.

Karena sudah terlanjur memesan tempat di freddie, akhirnya kami tetap memutuskan untuk pergi makan malam disana. Tanpa listrik, lilin, maupun senter kami menyusuri pantai yang gelap berbekal cahaya dari langit saja karena waktu masih belum terlalu malam, sekitar jam 7. Akhirnya kami tiba juga di freddie, dan untungnya freddie mempunyai genset jadi kami tidak makan dalam kegelapan, dan tenryata banyak juga orang-orang yang menginap di casanemo memilih untuk makan malam di freddie. Karena smeua meja baik di dalam, luar dan balkon sudah penuh, maka kami duduk satu meja dengan pasangan bapak-ibu berkebangsaan philipina yang sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Indonesia. Kebanyakan dari tamu yang tinggal di pantai sumur tiga baik di casanemo maupun freddie, adalah orang asing, jadi tamu malam itu pun sebagian besar orang asing. Semakin malam semakin banyak tamu, karena ditambah pengunjung yang baru saja menyelesaikan sesi diving mereka di iboih.

Makanan dimulai dengan sup krim sebagai pembuka, dengan rasa yang cukup enak walaupun untuk saya kurang kental sedikit. Setelah sup habis, kami bisa mengambil sendiri makanan yang tersedia secara prasmanan yang terdiri dari aneka macam pasta, saschlick, sayuran, dll dengan rasa yang enak. Makan malam ditutup dengan pencuci mulut yang rasanya mirip mousse strawberry. Harga 65rb tersebut, belum termasuk minuman. Freddie sebagai si empunya tempat, rajin sekali berkunjung dari satu meja ke meja untuk bertanya apakah semua baik-baik saja, dan apakah kami menyukai masakan dia.

Di tengah-tengah nikmatnya makan malam, hujan turun deras sekali. Saya dan teman saya langsung bingung gimana caranya kami berdua bisa kembali ke casanemo akrena tidak ada payung, jas hujan, dan tentunya gelap. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu sampai jam 9.30 malam, dan hujan belum berhenti juga. KArena tidak mungkin kami menginap di restoran freddie, berbekal jas hujan pinjaman dan lampu senter, kami menyusuri pantai yang gelap gulita sambil hujan-hujanan. Sebetulnya kami bisa juga sih menyusuri jalan raya, tapi pilihan tersebut kurang enak karena harus naik lagi ke atas, dan jalannya berkelok jadi perjalanannya lebih jauh. Untungnya ketika kami tiba, listrik sudah menyala. Sangat disayangkan waktu itu hujan, karena langit sabang jika cuaca cerah itu bertabur bintang yang sangat indah.

Keesokan pagi hujan turun rintik-rintik, tetapi tidak lama. Sebelum berenang, kami pergi ke resto casanemo untuk makan pagi, dan kami memesan 2 breakfast sandwich. Tunggu-ditunggu, makanan kami belum datang juga, padahal 2 tamu yang datang sesudah kami sudah terlayani. Ah tenryata si chef lupa melihat pesanan kami. Agak merusak mood di pagi hari memang, karena menggabungkan 2 hal yang kurang saya suka: menunggu dan kelaparan. Untunglah ketika sandwhich seharga 20rb itu tiba, rasa dan porsinya lumayan.

Berbeda dengan iboih yang arusnya relatif tenang, pantai sumur tiga ini arusnya lumayan kencang. Jadi, saya tidak terlalu banyak melihat pengunjung bersnorkling ria. Untuk orang yang baru pertama kali ke sabang, iboih memang tempat yang wajib dikunjungi. Sedangkan pantai sumur tiga buat saya lebih tepat dijadikan tempat leyeh-leyeh bermalasan menikmati pantai tropis pasir putih seperti di film-film. Selesai berenang, kami memesan tiket kapal cepat dan l300 utnuk pulang. Ternyata kalau memesan dari hotel, ongkos l300nya lebih murah, hanya 20rb saja. Apabila kamar kita tidak ada yang memesan, pengunjung boleh check out jam 3 sore, ketika jemputan ke pelabuhan datang. Karena malas berjalan lagi, akhirnya kami makan siang di casanemo saja. Saya memesan soup sayuran dan ayam goreng, sedangkan teman saya gado-gado. Karena hari sebelumnya menu makan siang kami yang western style gak sukses, kami kira menu indonesianya lebih enak. Ternyata kami salah. gado-gadonya agak asam, dan rasa sup sayurannya agak aneh karena kebanyakan bumbu. Ditambah lagi, ada kucing siap sedia mengintai meja kami dan akhirnya sukses meloncat ke meja dan mengambil makanan saya, huhuhuhu ilfil deh. Jadi, casanemo memang tempat yang enak sekali buat tinggal, tapi sepertinya bukan buat makan.

Jam 3 sore, mobil yang menjemput kami ke pelabuhan tiba. Tagihan hotel, sudah termasuk tiket kapal, l300, kamar dan makanan. Jadi ketika tiba di pelabuhan, kami tidak usah mengantri lagi. Duh, rasanya saya belum puas liburan dan harus back to reality, back to real life. Jadi berpikir untuk menggantung hammock di balkon kantor di Jakarta ^_^

Senin, 16 Maret 2009

trip review aceh part 4: menjajal pantai barat

Walaupun sebelumnya saya pernah tinggal di Aceh, tapi saya belum mendapatkan kesmepatan pergi jauh dari aceh besar. Untuk kunjungan kali ini, ternyata saya memang harus menelusuri daerah lain di Aceh, termasuk Meulaboh. Perjalanan Banda Aceh-Meulaboh membutuhkan waktu tempuh sekitar 8-10 jam. Setelah mendiskusikan dengan driver dan guide kami, kami memilih mobil kijang kapsul dengan harga sewa 350rb/hari belum termasuk biaya lain-lain. Kami berangkat dari Banda Aceh jam 2 siang. Dikarenakan jalur ke pantai lhoknga itu mulus, saya kira untuk seterusnya jalan mulus, ternyata saya salah. Tidak jauh dari pantai lhoknga, jalan mulus mulai menghilang karena sedang dalam perbaikan. Badan serasa dibenturkan kesana-kesini dengan pemandangan campur aduk antara pantai, bukit, sungai, jalan rusak dan daerah bekas bencana. Jalan raya Banda Aceh-Meulaboh itu dibangun engan menggunakan dana USAID. Jadi, kita bisa menemukan plang nama mereka dimana-mana. Tapi, kalo iseng kayak saya yang juga merhatiin jembatannya- kebanyakan jembatan dibangun oleh Jepang.

Karena misi utama kami adalah untuk mendata stasiun radio baik komersial maupun komunitas, pemberhentian pertama kami adalah Lamno, sekitar 2 jam dari Banda Aceh karena kami melihat ada stasiun radio pinggir jalan. Daerah di sekitar Lamno itu didominasi daerah persawahan. Meski sempat mengobrol dengan penduduk sekitar, sayang sekali saya tidak sempat bertemu para mata biru yang katanya berasal dari Lamno, meski saya sempat melihat anak kecil yang wajahnya agak bule. Sebagai bonus, sayang sekali saya harus ketinggalan kacamata di salah satu mesjid di Lamno yang baru saya sadari berjam-jam kemudian -_-!

Untuk mencapai Meulaboh, kota berikutnya yang harus dilewati setelah Lamno adalah Calang. DAri Lamno ke Calang, kita harus menyeberangi beberapa jembatan, dan salah satunya masih putus. KArena itu, masyarakat harus menyeberang menggunakan rakit untuk menyebereangkan kendaraan mereka dengan biaya per kendaraan 20rb. Rakitnya sendiri didorong dengan menggunakan mesin dengan kapasitas 6 mobil, beberapa motor dan pelajan kaki dengan waktu tempuh penyeberangan sekitar 15 menit. Pemandangan di sekitar tempat penyeberangan cukup indah, apalagi di sore hari menjelang matahari tenggelam. Setelah sukses menyeberang dengan rakit, petualangan sesungguhnya baru dimulai. Jalan semakin jelek, sehingga buat saya itu seperti gabungan cross country dengan off road.

Ada beberapa jalur dengan petunjuk yang tidak jelas. Supirnya bisa bilang jalur x lebih cepat tapi sore itu terendam air pasang, jalur y muter, jalur z putus. saya sih pasrah aja kemana mobil disetir. di beberapa bagian karena tidak adanya petunjuk jalan atau ada tapi tidak terlihat karena malam, kami mengambil jalur yang salah. Kami mengikuti jeluar yang lebih mulus, tapi di ujung jalan putus. Jalur yang berfungsi gak ada bedanya sama lapangan tanah. Giliran ada papan penunjuk jalantulisannya "hati-hati daerah peledakan dan jam peledakan". Kami menelusuri jalan yang di pinggir2nya terdapat rumah-rumah bantuan yang dibangun oleh organisasi internasional. Rumah boleh bantuan, tapi antena parabola ada dimana-mana. Sebagai tambahan, dan buklan iklan, sinyal telkomsel cukup stabil di jalur barat kecuali di daerah tanpa pemukiman. Lelah badan terbanting-banting, radio yang belum tentu tertangkap, dan cd yang sudah diputar berulang kali memang membuat bosan. Tapi, begitu jendela mobil dibuka dan kepala diangkat ke atas, terlihatlah langit yang bertaburan bintang dan terlihat sangat indah.

kami sempat berhenti untuk makan malam sekitar jam 9 di suatu daerah sebelum memasuki kota calang yang juga dilakukan banyak orang. Katanya, dulu daerah itu terkenal karena sop ubur-uburnya. Sayangnya, si pembuat sop ubur-ubur meninggal karena tsunami tanpa mewariskan resepnya. KArena kami melewati kota calang sudah malam, jadi diputuskan tidak berhenti di kota tersebut dan langsung meneruskan perjalanan ke Meulaboh. Kami tiba di Meulaboh sekitar jam 12 malam seperti diperkirakan sebelumnya dan berputar-putar mencari penginapan. Ada beberapa penginapan kelas melati yang lumayan. range harganya antara 150rb tanpa ac, hingga 350 rb. Kami memilih hotel tiara dengan kamar seharga sekitar 250rb/malam. Kamarnya cukup besar, kamar mandinya itu menggunakan bak mandi, ada tv kabel, ac tetapi abu rokok bekas tamu sebelumnya masih bertaburan. Tidak disarankan untuk menginap di kamar tanpa ac karena Meulaboh sangat teramat panas sekali.

Keesokan paginya, kami mengunjungi beberapa tempat di Meulaboh dan memang panasnya luar biasa. AKrena keterbatasan waktu, kami tidak sempat jalan-jalan ke pantai tetapi sempat mengunjungi mesjid raya Meulaboh yang pembangunannya belum sepenuhnya selesai, tetapi keindahannya mulai terlihat apalagi melihat kubahnya yang berwarna emas. Sekilas saya memperhatikan kalau di Aceh itu banyak mesjid yang dibuat terbuka dikelilingi pilar-pilar tapi tidak pakai jendela sehingga angin bisa masuk. Demi mengejar ac, siang itu kami memilih makan di cipes, restoran cabang jakarta.

trip review aceh part 3: aceh besar dan pantai di sekitarnya

Di hari Sabtu, untuk urusan pekerjaan saya dan rekan saya mengelilingi Aceh Besar. Rute pertama kami adalah ke Arah Jantho, ibu kota Kabupaten Aceh Besar yang berjarak 1 jam perjalanan dari Banda Aceh. Perjalanan menuju Jantho cukup menyenangkan, karena kami bisa melihat sawah dan perbukitan di kiri-kanan jalan. Tapi saya agak bingung juga, untuk ukuran sebuah kota, dan pusat pemerintahan, Jantho teramat sangat sepi bahkan di hari Sabtu itu nyaris seperti tanpa ada penduduk. Mungkin penduduknya berlibur ke Banda Aceh? atau karena letaknya dekat mereka yang bekerja di Jantho justru tinggal di Banda Aceh? hm... letak jantho agak di dataran tinggi sehingga berbukit dan berlembah dengan sapi-sapi berkeliaran dengan bebas di pinggir jalan.

Ketika kami melewati sebuah plang bertuliskan RM Adem Ayem di Jantho, driver yang kami sewa bilang bahwa itu adalah rumah makan terkenal dimana orang dari Banda Aceh sengaja datang kesana. Akhirnya kami memutskan untuk makan siang disana. Sebetulnya saya dan teman saya agak bingung juga. Untuk tempat yang terkenal, RM Adem Ayem seperti tidak terurus. saung-saungnya kotor dengan kucing hilir mudik siap menyantap semua tulang sisa, dan tempatnya biasa banget meski ada mobil mewah terparkir disitu. kami lebih tercengang lagi ketika mau memesan makanan. Menu makanan tenryata ditulis tangan di atas notes. Kata driver kami, Adem Ayem terkenal dengan ikan air tawarnya. Tapi ketika kami mau memesan, yang tersisa hanya ikan mas, dan kami tidak ada yang suka. Akhirnya kami memesan 3 ayam bakar dengan nasi, dengan rasa yang biasa banget, tempat yang kumuh dan total harga adalah 80rb. Percobaan yang gagal....

Dari Jantho yang berada di sisi timur Banda Aceh, kami menuju ke arah pantai Lhoknga di sisi baratnya. Untuk mencapai kesana, kami harus kembali melintasi kembali kota Banda Aceh. Dulu, saya selalu seram ketika akan pergi ke pantai Lhoknga karena jembatannya masih jembatan sementara. sementara, kendaraan yang melintas itu adalah kendaraan-kendaraan besar yang berat sehingga saya takut suatu saat jembatan rubuh. Ternyata sekarang jembatan sudah diperbaiki menjadi sangat bagus. DAerah Lhoknga adalah salah satu daerah yang paling parah kena tsunami. Bahkan, PT Semen Andalas (PT SAI) yang terletak tepat di pinggir pantai dulu sempat rusak total. saat ini, pabrik semen sudah mulai beroperasi kembali. dulu banyak orang yang berenang di pantai Lhoknga. Tapi, karena belakangan ini banyak orang yang terseret arus, masyarakat dilarang berenang disana sehingga pantai lhoknga menjadi agak sepi.

Dulu pantai favorit saya adalah Lampuuk, tidak jauh dari lhoknga. Untuk mengenang masa lalu, kami meminta driver mengantarkan kami kesana. Betapa kagetnya saya karena pantai lampuuk berubah total. Dulu, pantai itu sangat sepi dan enak sekali buat melamun. saingan kami dalam berleha-leha di pantai adalah sapi-sapi yang membuang kotoran dimana saja. TErnyata sekarang di sepanjang pantai itu ada warung-warung penjual ikan bakar, wahana banana boat dan kerumunan manusia yang tetap bersaing juga sama kotoran sapi. Saya kecewa sekali, karena meskipun secara pemberdayaan ekonomi memang baik, tapi pantainya jadi kotor. Rusak sudah pantai kenangan saya disana.

Tapi akrena pantai lampuuk itu panjang, ujung pantai lampuuk itu masih sepi. Di dekat situ dulu ada hutan kecil yang bisa ditempuh dnegan berjalan kaki dan tembus di pantai balik bukit yang lebih secluded. KArena keterbatasan waktu, sayang sekali saya gak bisa berkunjung ke tempat itu. Selain itu, di jalan antara lhoknga banda aceh, di sepanjang sisi kanan jalan dari arah lhoknga, sekarang banyak terdapat deretan penjual oleh-oleh. Di kios tersebut, kita bisa membeli aneka macam cemilan khas Aceh. Saya waktu itu membeli kacang hijau goreng yang renyah, manisan pala dan lumpia goreng isi abon dengan harga terjangkau.

trip review aceh part 2: Chek yuke dan kopi aceh

Sepertinya tidak afdol kalau membahas Aceh tanpa membahas kopinya. Warung kopi di Aceh adalah salah satu tempat interaksi utama masyarakat, terutama kaum prianya. Ada beberapa tempat ngopi yang terkenal di Aceh seperti Ulee Kareeng. Tapi, tempat favorit saya adalah Chek Yuke karena dulu letaknya di seberang mesjid raya sehingga mudah dijangkau. Teman saya bilang, chek yuke sekarang pindah tempat dan jauh lebih besar.

Akhirnya saya mengunjungi Chek Yuke juga. 3 kali malah dalam 2 minggu untuk bertemu orang yang berbeda-beda. tempat chek yuke yang lama itu hanya ruko yang agak sempit. Tetapi di tempat yang baru yang letaknya di seberang sungai, saya agak kaget juga. Tempatnya besar, terdiri dari 3 ruko 3 lantai yang digabungkan. Meski hanya lantai pertama yang digunakan, tetapi luasnya dapat menampung ratusan orang. Kabarnya sih omzetnya miliaran per bulan.
Teman-teman saya yang juga dulu pernah kerja di Aceh, mewanti-wanti untuk memesan kopi special di Chek yuke. Kopi ini disebut special karena mengandung tambahan vitamin G (guess what?). Gak ada yang tau berapa komposisi persisnya. Ada yang bilang 70% kopi, 30% vitaminnya. Tapi ada yang bilang juga kalau 10% vitamin dalam kopi saja cukup bikin orang kliyeng2. harga per kilo kopi bubuk special bervitamin G ini sekitar 80rb, tetapi bukan ready stock. Kita harus pesan 2-3 hari sebelumnya karena mereka perlu mengolah dulu kopi tersebut. Selain di Chek Yuke, sepertinya banyak juga warung kopi lain yang meneydiakan kopi special.
Saya sendiri bukan peminum kopi, apalagi kopi aceh yang kenceng banget. Setengah cangkir kopi Aceh bisa membuat perut saya mulas atau mual. Kopi bervitamin G selalu saya beli untuk oleh-oleh saja. Berdasarkan orang-orang yang pernah meminumnya, efek yang dirasakan berbeda-beda. Ibu saya pusing kliyeng-kliyeng dengan sukses setelah minum kopi itu, sehingga saya diminta untuk tidak pernah lagi mengoleh-olehi beliau dengan kopi special. Ada juga yang ngantuk terus, atau bahkan tidak bisa tidur selama 2 hari. Tapi tetep saja kopi Aceh bikin ketagihan. Total saya dan teman saya memesan kopi bubuk special sebanyak 10kg saja!

Saya memperhatikan, tenryata warung kopi di aceh seperti chek yuke tidak hanya menjadi tempat nongkrong santai, tapi juga serius. banyak aktifis lsm, staff international ngos, atau bahkan parpol yang nongkrong di warung kopi. Kata rekan saya yang orang Aceh, ada warung kopi di daerah tertentu yang dijadikan tempat deal bisnis pedagang sapi. Budaya Starbucks versi Aceh sepertinya....Yang juga menarik adalah, saat ini sudah mulai terlihat perempuan Aceh yang nongkrong di warung kopi. Setidaknya, dari sekitar 100 pengunjung Chek yuke malam itu, ada sekitar 6-7 perempuan. 2 tahun yang lalu, perempuan yang biasa nongrong di chek yuke gak jauh dari anggota geng tempat saya kerja, yang bukan orang Aceh.

Beruntung di salah satu kunjungan kami di Chek Yuke, rekan kami mengenal Chek Yuke dengan baik. Dia kenal Chek Yuke sejak Chek Yuke berumur belasan tahun dan masih menjadi penjaga warung kopi milik orang lain. Chek dari dulu di kenal sebagai orang yang ramah dan sangat memperhatikan pelanggan. Malam itu chek Yuke duduk di meja kami dan bercerita. Ternyata nama chek yuke itu ada sejarahnya. Dulu warung tempat dia bekerja di Ulee KAreeng itu adalah tempat nongkrong penyiar2 radio Banda Aceh. Biar gaul, singkatan Ulee Kareeng (UK) dibaca jadi Yu Ke. Chek bercerita dengan bangganya waktu dia diundang untuk membuka stand di JCC Jakarta ketika ada acara celebration of humanitarian day, perkembangan bisnisnya dia dan bahwa sekarang cicilan ruko saja mencapai 80juta/bulan. Saya tambah shock, ketika warkop mau tutup dan chek mau pulang, ternyata mobilnya mercedez 2 pintu! Wow!

trip review part 1: Menjajal kuliner banda aceh

Ketika 2 tahun lalu saya meninggalkan Aceh setelah kontrak kerja selesai, saya berharap akan dapat mengunjungi bumi Serambi Mekah lagi. Ternyata, harapan saya terkabul, karena saya mendapatkan kesempatan untuk kembali menjejakkan kaki di Aceh.

Hari pertama saya tiba di Aceh, saya sudah dapat melihat perubahan fisik yang signifikan. Setidaknya, bandara Sultan Iskandar Muda atau yang lebih familiar disebut Blang Bintang telah direnovasi menjadi bandara internasional (ada rute air asia banda aceh-kuala lumpur) dan 6 hari setelah saya tiba diresmikan oleh presiden. Jalan dari Bandara menuju pusat kota pun menjadi sangat mulus beraspal.

Saya tinggal di hotel 61, sebuah hotel berbintang dua di daerah simpang lima, daerah pusat kota Banda Aceh. Secara lokasi, hotel ini memang sempurna karena tepat terletak di pusat kota dengan akses angkutan umum, becak, dan tempat-tempat makan yang bisa ditempuh berjalan kaki, toko souvernir, bank, warnet, atm,dll. Fasilitas wifi pun tersedia di setiap kamar. Sayangnya hotel 3 lantai tersebut tidak ada lift. Sebenarnya, banyak juga hotel lain sekelas di Banda Aceh yang juga tanpa lift. Makan pagi di antar ke kamar dengan menu roti, 2 potong sosis goreng yang kadang berkurang jadi 1, dan telur goreng, kecuali hari rabu yang menunya diganti menjadi nasi goreng dengan telur. Pada saat saya tinggal disana, telepon pabx kamar belum berfungsi yang seringkali menyulitkan saya untuk memanggil bell boy atau room service karena harus turun ke lantai 1, dan air panas di kamar mandi yang datang dan pergi. Salah satu penghiburan tinggal di hotel ini adalah letaknya yang tepat di atas restoran A&W. Lumayanlah kalau bosen sama roti, bisa makan burger (in ironic way)

Malam pertama, rekan kerja saya belum datang jadi saya harus makan malam sendirian. Sebetulnya di Aceh tidak umum perempuan makan sendirian, apalagi di malam hari. Tapi karena perut sudah tidak tahan, akhirnya saya memutuskan untuk makan malam di restoran Gunung salju yang letaknya di seberang hotel. Gunung salju ini terkenal karena menyediakan menu bistik dan es krim buatan sendiri. Deritan sertifikat terpampang di dinding restoran. Ketika satu piring bistik tiba di meja saya, ternyata wujudnya tidak berubah. potongan daging, dengan daun selada, kentang dan saus coklat kental yang rasanya agak manis. Kalau tertarik, bisa juga mencoba mie bistiknya. Untuk ice cream home madenya lumayan juga, ada yang dicampur jus belimbing segala jadi rasanya semriwing asam manis.

Baru besok malamnya saya bisa mencicipi mie kepiting rajali yang sudah saya idamkan sejak dari Jakarta. Mie Rajali terletak sejajar dengan bistik gunung salju, di daerah peunayong-simpang lima. Satu porsi mie Aceh, datang dengan potongan kepiting yang besar-besar. hmmmm spicy dan mantap banget deh. Ada satu tempat masakan kesukaan saya yang paling tepat dinikmati siang hari. Namanya restoran Ujong Batee, yang terletak di daerah Jambotape seberang kantor polisi. REstoran ini menyediakan aneka masakan, tetapi yang paling top itu gulai kepitingnya. Satu porsi besar gulai kepiting itu harganya 60rb. Tetapi karena teman saya bukan penggemar berat kepiting, jadi saya tidak makan gulainya karena takut tidak habis. Adalagi menu kesukaan saya di tempat ini yaitu sayur bunga kates (pepaya) dan juga urab bunga kates. pahit, spicy, sedikit pedas. yummy.... di restoran ini, paling tepat mengakhiri makan siang dengan segelas rujak aceh yang menurut saya lebih cocok dipanggil es buah. Malam harinya, saya dan teman saya menjamu tamu di Banda seafood cabang Ulhee leu. LEtaknya di pinggir laut, dekat pelabuhan Ulhee leu. Sayangnya karena kesana malam hari, kami tidak bisa melihat perbukitan dan kapal-kapal yang hilir mudik di sekitar situ. DAri namanya sudah jelas kalau restoran ini menyediakan seafood. Kita bisa memilih seafood segar dari box es yang tersedia untuk diolah dengan berbagai bumbu masakan. Sepertinya Banda Seafood Ulhe leu sedang naik daun, karena rombongan kami pada saat itu berbarengan dengan rombongan gubernur Aceh yang sedang menjamu seorang menteri.

Di dekat simpang lima, ada tempat bernama rex berbentuk lapangan yang menampung penjaja makanan kaki lima di malam hari. Jumlah pedagangnya banyak, tapi kalau diperhatikan jenis makanan yang dijual itu sangat terbatas. Nasi goreng, mie aceh, kerang rebus, martabak aceh, sate matang dan sate jawa serta juice. Di daerah seberang hotel 61 sendiri kalau malam banyak juga penjual makanan seperti roti cane kari yang belum sempat saya coba, kebab baba rafi yang mulai menjamur di Banda Aceh, dan roti bakar bandung. Sebagai orang sunda yang dalam selera makan beda tipis sama kambing, makanan Aceh yang selalu berbumbu terkadang bikin bosan. Tempat pelarian saya dulu adalah sebuah warung chinese food di dekat Rex bernama purnama yang menjual aneka macam tumis sayuran. Ketika kemarin saya kesana, saya pesan puyonghai yang bentuk dan rasanya biasa banget. Percobaan berikutnya adalah warung nasi uduk di sebelah purnama yang punya tumis sayur bunga kates yang enak banget. sayang waktu kesana sayurnya sudah habis dan rasa nasi uduk dengan dendengnya gak istimewa.

Restoran yang akan terakhir saya bahas adalah Kok Phin Kitchen, yang diambil dari nama kokinya, kok phin. Dulu, Kok Phin kerja untuk restoran bernama imperial kitchen di daerah Setui yang sekitar tahun 2006 itu tempat berkumpulnya expatriat Banda Aceh. Gosipnya, karena ada ketidaksesuaian dengan pemilik restoran yang lama, si koki membuka tempat sendiri tidak jauh dari tempat yang lama yang masih tetap berdiri. akhirnya saya sempat juga mengunjungi restoran yang baru berbentuk ruko 4 lantai. Kok Phin seperti biasa selalu menyambut tamu-tamunya dengan celana pendek. Agar mendapatkan view, kami duduk di lantai dua yang sepi, karena lantai 3 yanga da ruangan karaoke juga sudah dipesan. Sepertinya ada penurunan target market dari Kok Pin dibandingkan dengan Imperial Kitchen. Dulu, sambil menunggu makanan siap, kita disuguhi kacang dan juga disediakan handuk basah. Sekarang tidak lagi. Rasnaya harga makanan pun sedikit lebih murah. saya memesan menu favorit saya hasil olahan Kok Phin yaitu kepiting asam manis dan udang goreng mayonaise, ditambah capcay. Rasanya masih seperti yang saya ingat, dan masih tetap enak. Sayangnya, pelayan di restoran ini tidak mempunyai pengetahuan produk yang baik seperti 1 kepiting kurang lebih berapa ratus gram, bumbunya apa saja, dll tapi hal seperti ini memang terjadi di hampir semua tempat makan di Banda Aceh. Pelayan hampir selalu bertanya kepada kokinya apabila ada customer yang rajin bertanya.

Kamis, 08 Januari 2009

Pulau Pramuka trip

"Libur tlah tiba, hore... hatiku gembira" begitulah kata Tasya dan juga saya ketika menikmati liburan akhir tahun 2008. Libur panjang akhir tahun tersebut saya gunakan untuk pergi bersama teman-teman saya ke pulau Pramuka di kepulauan Seribu. Rombongan yang saya ikuti, berkumpul dahulu di Halte Citraland Jakarta Barat untuk naik angkot B-01 ke Pasar Muara Angke. Dari pasar muara angke, kita bisa menaiki boat ke pulau Pramuka yang setiap harinya berangkat jam 7 pagi dan kalo tidak salah jam 1 siang dengan tiket seharga 30 ribu. Boat yang kita naiki itu, mirip-mirip kereta jabotabek tapi mengapung di atas air. Dek kapal yang satu ruangan bersama dengan nahkoda sudah disesaki orang, sehingga sisa penumpang naik di atap kapal. Dek bawah dialasi tikar, sehingga kita harus melepas sepatu, jadi sebaiknya membawa kresek untuk menyimpan sepatu di dalam tas.. saking padatnya penumpang, selonjor adalah barang mewah.


Tujuan pertama kapal adalah pulau untung jawa yang memakan waktu perjalanan sekitar 1 jam dengan laut yang tenang. Dari pulau Untung Jawa, boat yang sama menempuh lagi perjalanan selama 1.5 jam ke pulau Pramuka dengan laut yang lebih bergelombang. Ada beberapa penumpang yang dengan sukses mabuk laut, terutama di bawah akrena pengap, sedangkan di atap kapal, penumpang mendapatkan udara dan semilir angin laut, tapi panasnya itu looooooo, ampun!!! entah apa dasarnya, seorang ibu yang asli pulau Kelapa bilang, untuk menghindari mabuk laut, kita harus menjilat air laut. Setelah Pulau Pramuka, boat melanjutkan perjalanan ke p. Kelapa.



Karena koordinator perjalanan kami mewanti-wanti untuk membawa banyak uang cash karena tidak ada ATM dan membawa banyak cemilan, saya membayangkan bahwa pulau Pramuka itu sangat terbelakang. Bahkan Aqua pun saya bawa dari Jakarta. Ternyata, begitu kapal merapat di dermaga, kami disambut oleh deretan warung penjual makanan (pelajaran moral: makanya google dulu!). pulau Pramuka ternyata adalah pusat pemerintahan kepulauan seribu. di pulau seluas 12 hektar yang listriknya hanya menyala dari jam 4 sore sampai jam 7 pagi itu, kita bisa menemukan bangunan sd-smu, kantor bupati, dan rumah sakit umum dengan bangunan baru tapi tampaknya terlihat sepi dan tanpa aktivitas.


Pulau Pramuka sendiri bisa dikelilingi dengan berjalan kaki sekitar 20 menit saja. Tampilan pulau Pramuka secara keseluruhan mengingatkan saya akan kompleks BTN dengan rumah yang tertata tpai tidak terlalu besar serta gang yang kecil. Tidak ada mobil di pulau Pramuka, hanya ada sepeda, motor dan gerobak yang dimodifikasi dengan menggunakan mesin.





Rombongan kami menginap di salah satu rumah yang dikelola oleh yayasan terumbu karang indonesia (Terangi) yang bergerak di bidang pendampingan masyarakat pesisir maupun perlindungan terumbu karang. Kami tiba di pulau Pramka jam 9.30 pagi. Setelah beristirahat sejenak, kami mengunjungi pantai yang bisa ditempuh dengan 5 menit berjalan kaki. Pantai pasirnya tidak terlalu panjang, tetapi dari situ kita bisa melihat laut dengan gradasi warna yang indah dari mulai biru gelap, biru terang, hingga hijau muda. Ternyata, ada beberapa kamar atau rumah kecil tepatnya yang terletak di pinggir pantai dan disewakan. Harga sewa kamarnya itu sekitar 300 ribu dengan fasilitas ac, kamar mandi dan dapur. Ada juga penginapan lain dengan kisaran harga 300rb-500rb tergantung jumlah kamarnya. Kalau ada yang tertarik, saya sempat ngobrol dengan pemilik penginapan: Ibrahim (021) 33837071 atau Mega Home stay: 021, 23725638, 0815 9675 584 (Pak syaiful).



Untuk masalah makanan, ada banyak warung makan yang dikelola penduduk setempat dari mulai masakan padang, bakso, dll dengan harga murah meriah tapi ya rasanya biasa saja. Setiap pagi, akan ada ibu2 berkeliling dengan gerobak menjual makanan seperti nasi uduk, ketoprak, dll dengan harga 5000. di sore hari pertama kami berenang di dermaga dekat kapal-kapal sandar. Lokasinya biasa saja dan tidak ada yang istimewa. DAri situ kami menyewa perahu ke sebuah tempat bermain yang dikelola taman wisata dan berada di tengah laut. Semacam kolam renang di tengah laut dengan air dan juga binatang laut, serta papan loncat.


Keesokan harinya kami pergi untuk snorkling dan diving. DAri dermaga, kami menggunakan perahu sewaan yang biasa disebut ojek dengan ongkos sekitar 3000 rupiah per orang. Oh iya, di dermaga, ada warung kecil yang menjual pastel dan lemper ikan yang rasanya lumayan enak dengan harga 500 per buahnya. Peralatan diving dan snorkling bisa kita dapatkan di dekat dermaga sekaligus pusat informasi wisata dan tempat penjualan souvenir. Dari sana, tujuan pertama kami adalah pulau semak daun, seuah pulau kecil yang dapat ditempuh dengan waktu 20-30 menit dengan perahu. Kabarnya pulau ini sudah menjadi pulau probadi. Kami menggunakan tempat ini sebagai tempat latihan snorkling terutama buat yang tidak bisa berenang dan belum biasa pakai snorkle seperti saya. Perahu tidak bisa sepenuhnya merapat ke pulau semak daun karena katanya sih banyak karangnya sehingga dibuat dermaga kayu agak ke tengah. Di pantai di sekita pulau semak daun ini banyak sekali ubur-ubur. Beberapa teman saya disengat dengan suksesnya dari mulai tangan, dahi, bahkan ada yang kena bibir.




DAri pulau semak daun, kemi menuju ke tengah laut untuk snorkling dan diving. buat orang yang tidak bisa berenang seperti saya, ini agak menakutkan. TErakhir kali saya snorkling itu 2 tahun yang lalu di sabang, Aceh dimana ikan berwarna-warni bisa kita lihat tidak jauh dari pantai, lautnya masih dangkal dan tanpa sampah. Di laut yang kami tuju, ada bagian yang dangkal di tengah laut. Jadi ya bisa pemanasan dulu sebelum snorkling lebih jauh.

Saya tentunya orang yang paling dulu menyerah terutama karena menelan terlalu banyak air laut. Diam di kapal yang terombang-ambing di tengah laut ternyata bukan pilihan nyaman karena akhirnya saya mabuk laut dan muntah. SAtu [ersatu teman saya mencoba diving. Saya beberapa kali ditawari untuk mencoba tapi menolak mentah-mentah karena takut. Akhirnya saya terbujuk karena salah satu instrukturnya bilang "coba aja dulu ngerasain napas lewat tabung, gak usah diving". akhirnya dengan segala kerepotan dan kepanikan yang terjadi, saya nyoba diving juga dengan didampingi meski cuma sebentar dan dangkal.


Wah... kehidupan bawah air indah juga yah karena saya bisa melihat aneka ikan hilir mudik. Saya jadi mengerti kenapa banyak orang ketagihan diving. Untuk beberapa teman saya yang lebih berani, mereka bisa melihat terumbu karang buatan dan karang otak (katanya sih berbentuk sepert otak). Kalau saya sih, tetep... mending belajar berenang aja dulu.... Yang disayangkan adalah meski sudah jauh ke tengah laut, beberapa sampah masih terlihat seperti botol plastik minuman. Katanya sampah-sampah itu adalah buangan dari Jakarta.




Dari laut kami kembali ke pulau Pramuka untuk mandi dan makan siang. Sorenya, kami ke pulau Panggang yang ditempuh sekitar 20 menit dengan perahu untuk membeli ikan. Kalau berdasarkan zonasinya, pulau panggang diperuntukkan sebagai daerah pemukiman. Suasana di pulau panggang mengingatkan saya dengan perkampuangan kumuh di pedalaman Jakarta. Padat, sempit, dengan gang2 kecil yang berbelok-belok. Kabarnya sih tidak ada toilet di pulau panggang dan penduduknya masih buang hajat di laut. tapi karena saya bertekad untuk gak kebelet disini, saya belum membuktikan sendiri. Selain membeli ikan pada bapak yang kapalnya kami pakai pada siang ahri, kami juga pergi ke sebuah rumah yang menjual dodol dan manisam rumput laut. Rasanya lumayan enak... Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama di pulau panggang karena perahu terakhir menuju pulau pramuka itu berangkat jam 5.30 sore.




Sekembalinya ke pulau Pramuka, kami menuju ke tempat penangkaran penyu yang terletak di sisi lain pulau. Ada beberapa penyu yang ditangkar disana, dan salah satunya ada yang cacat sejak lahir. Di sebelah tempat penampungan penyu, ada tempat biota-biota laut dan juga pengolahan rumput laut. Ternyata, di sekitar situ juga ada fasilitas outbond seperti flying fox, dll. Sayangnya saya lupa menanyakan siapa yang mengelola. Ketika kami menuju ke tempat penangkaran kupu-kupu, tempatnya sudah tutup. Tapi dari jauh saya melihat ada beberapa bagian jaring yang sobek jadi katanya banyak kupu-kupu yang kabur.




Setelah itu, kami melihat matahari tenggelam di dermaga yang cukup indah, namun sayang agak berawan. Keesokan harinya kami harus kembali ke Jakarta dengan boat yang berangkat pukul 7 pagi. TErnyata, kalau pergi dari dermaga pulau pramuka, harga tiketnya menjadi 32rb karena ada tambahan asuransi 2rb. Buat saya, pengalaman ke pulau pramuka sangat menyenangkan terutama karena murah meriah. Saya tinggal selama 3 hari 2 malam disana, dan hanya menghabiskan sekitar 200-250 ribu saja termasuk kapal dari jakarta pp, sewa perahu selama disana, peralatan snorkling dan makan tapi tidak termasuk akomodasi karena gratis. Mungkin biayanya jadi murah karena rombongan total ada 12 orang.


Foto lengkap bisa diliat di: http://www.facebook.com/photos/?ref=sb#/album.php?aid=68071&id=563471571