Selasa, 20 Oktober 2009

Indischetafel Bandung

Tua, artistik, enak dan kenyang. Keempat kata itu sepertinya cukup mewakili sebuahh restoran baru di Bandung bernama Indischetafel. Restoran yang mengusung tema makanan Indonesia dan Belanda ini terletak di Jl sumatera, tepat di seberang Brussel spring. Ketika melihat lokasinya yang berada di sebuah rumah tua yang dari luar terlihat apik, saya mengira kisaran harganya cukup tinggi. Namun ternyata dugaan saya salah.

Kunjungan pertama saya dilakukan malam hari. Beranda depan dipenuhi anak remaja yang sedang nongkrong dan mengobrol. Melihat itu, saya bisa menduga sepertinya harganya tidak terlalu mahal karena remaja Bandung sepertinya lebih sensitif harga dibanding Jakarta. Memasuki bagian dalam gedung, saya semakin menyukai interiornya. Ruangan pertama adalah kasir merangkap rak-rak pajangan kue kering ala Belanda yang dijual untuk pengunjung. Di ruangan ini, kita bisa melihat mesin kasir yang kuno banget.

Dari situ kita melewati sebuah lorong pendek yang kiri-kanannya terdapat ruangan-ruangan yang dijadikan ruang makan. di ujung lorong yang tidak terlalu panjang itu, kita akan menemukan sebuah ruangan besar berlangit-langit cukup tingi, dengan kipas angin besar di menggantung di beberapa bagiannya, meja makan kayu, benda-benda antik yang ditata secara artistik, serta 2 set sofa di pojok ruangan tepat di bawah jendela berkaca patri yang berwarna-warni. Dari sisi interior buat saya kurangnya cuma 1, yaitu sangkar burung yang dijadikan tudung lampu. Never like it, hehehe.

Pada saat kunjungan pertama, saya dan dan 1 orang teman saya memesan Bruinebownen soup, soup ala indischetafel, Lontong cap gomeh dan lidah saus keju. Untuk kunjungan kedua dengan rombongan berjumlah 6 orang, makanan yang dipesan adalah nasi campur ala indischetafel, nasi daun hanjuang, dan nasi goreng daging asap.

Dari sisi harga, untuk makanan non steak harga yang dibanderol cukup murah. untuk appetizer seperti soup, harga yang dibanderol itu sekitar 15rb, sedangkan untuk makanan utama harganya berkisar 30-40 ribu dengan porsi yang sangat mengenyangkan. untuk ukuran Bandung, harga steaknya lumayan juga, sekitar 80rb. Untuk minuman, harganya berkisar antara 10-20rb

Seperti yang sering saya lakukan di banyak tempat makan lainnya, ketika memesan makanan saya akan melihat di menu apakah ada chef suggestion. Di tempat ini, saya memesan yang ada tanda bintangnya dan tidak mengecewakan. Dari sisi rasa, berdasarkan makanan yang pernah saya pesan, feelnya lebih nendang di makanan Indonesia. Bruinebownen soupnya lumayan kental dengan warna kecoklatan dan daging yang terasa. Rasanya jauh lebih memuaskan dibandingkan soup ala indischetafel berupa soup jagung yang rasanya biasa saja.

Lidah saus kejunya enak, dengan kucuran saus keju yang murah hati. Sayang potongan lidahnya irit. kalo untuk lontong cap gomehnya, rasanya enak, tapi tidak terlalu istimewa. Berikutnya adalah nasi ala indischetafel yang terdiri dari nasi putih berbentuk kerucut, suiran daging ayam, plecing kacang panjang, kering kentang dan kacang, serta potongan sayuran. Untuk saya, plecing kacang panjangnya puedeees buanget, tapi teman saya yang pesanannya sama menyantapnya dengan lahap. Rasa ayam suirnya manis pedas, dengan ayam yang empuk dan bumbu yang meresap ke dalam, bukan hanya di kulitnya saja. Kering kentang dan kacangnya gurih, renyah dan spicy.

Berikutnya adalah nasi hanjuang berupa nasi yang dibungkus dalam daun hanjuang, dengan 3 potong tahu, perkedel, ayam panggang (paha utuh), peyek dan potongan sayuran. Bagian terbaik dari set menu ini adalah ayamnya yang besar, empuk dan rasanya yang meresap, agak manis, spicy tapi tidak pedas. Tahunya sendiri lembut dan enak. Untuk nasi goreng daging asap, rasanya biasa saja.

Secara keseluruhan, tempat ini cukup memuaskan. Saat yang paling tepat untuk mengunjunginya adalah di antara jam makan agar tempat ini kosong dan kita bisa menguasai setiap pojokan ruangan untuk berfoto-foto sesuka hati. tapi resikonya, beberapa menu sudah habis, seperti saya yang tidak kebagian ayam jepit bambu.

Jumat, 19 Juni 2009

radja ketjil

Ketagihaaaaannnnnn begitulah kesimpulan yang saya dapatkan setelah mengunjungi rumah makan radja ketjil di jl taman pendidikan II no 1 atau lebih dikenal sebagai daerah Tarogong. Atas rekomendasi seorang teman, sepulang kantor saya dan 2 orang teman kantor saya memutuskan untuk pergi ke tempat ini. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kantor, saya jalan kaki saja.


Tempatnya mudah ditemui karena terletak di ujung jalan tarogong begitu belok dari fatmawati. Bagunannya bagunan kuno gitu. Kalau lihat interiornya, ya ampun, jadul banget deh. saya sampe senyum-senyum sendiri saking jadulnya terutama melihat lukisan seorang gadis cina dnegan baju chiongsam. Mungkin karena kesan jadul ingin dikuatkan, maka lampunya temaram ala 25watt, jadi kayak jaman dulu banget, meskipun saya kurang suka lampu temaram-temaram gitu.


Sambil menyodorkan menu, pelayan juga mengantarkan cemilan untuk kita makan berupa acar timun dan wortel. Karena rasa asam yang merangsang perut kita, pas saatnya makan kita emang jadi lebih lahap. Acar yang disajikan langsung ludes habis dalam sekejap. wlaupun pergi ke radja ketjil waktu itu cuma bertiga, tapi tiga orang yang perutnya lebar, jadi menu yang dipesen banyak juga. Ada Sup putri Tambasia (20rb), tahu hujin tje lie rina (25.500), buncis sapi sezhuan (17rb), udang naga hijau (27rb), ayam nanking (21rb) dan kerupuk colek (8rb).


Saya kira sup putri tambasia itu porsinya adalah porsi perorangan, tapi begitu datang, tenyata porsinya besar. Jadi kami bertiga harus berbagi sup tersebut. Supnya terdiri dari kepiting, jagung dan taburan cabe kering di atasnya. Perpaduan rasanya lumayan enak, terutama sebagai pengantar makan. karena porsinya ebsar dan sayang apabila tidak dihabiskan, maka kami harus mengambilnya sedikit-sedikit, dimakan sebelum dan sesudah main course denga diselingi istirahat. merusak prinsip appetizer sepertinya, tapi biarlah.


Tahu huji tje lie rina yang disajikan juga enak banget. Menu ini terdiri dari 4 potong besar angsio tahu ayam cincang sayur pocay. Rasanya agak manis, dengan bumbu kental berwarna coklat. Tahunya lembut tapi padat dan berisi sehingga ketika masuk ke mulut itu rasanya smooth banget.


Buncis sapi sezhuan ini adalah favorit saya. Kebanyakan buncis sapi sezhuan yang pernah saya coba sebelumnya, mempunyai rasa cenderung manis dan daging yang sedikit. Di radja ketjil, rasa dari menu ini cenderung asin dengan perpaduan yang pas. Buncisnya kering dan renyah, disertai daging cincang yang banyak, juga rasa sambal yang tidak terlalu pedas dengan sepertinya sedikit terasi. maknyus banget deh. Ketika teman-teman lain sudah berhenti makan dan buncis masih tersisa, ya udah saya gado aja tanpa nasi karena emang enak banget. Saya makannya sampe merem melek gitu


Udang naga hijau ini sangat disukai teman saya. Bentuknya adalah udang sezhuan disajikan dengan brokoli dengan saus merah. Rasanya sih enak, tapi akrena saya udah jatuh cinta baget sama si buncis, jadi terasa biasa aja.


ayam nankingnya ini di antara menu di atas rasanya paling gak istimewa. menurut saya agak terlalu kering dan ksat. saos yang disajikan pun biasa saja. lumaya enak sih, toh abis juga (dasar pada rakus aja).


Percaya atau enggak, di radja ketjil kerupuk coleknya pun enak. iya sih harganya 8rb hanya untuk 6 potong keripik udah dengan 2 jenis saos. tapi gak nyesel deh, apalagi kalo dimakan sambil menunggu pesanan jadi. saos yang pertama berwarna coklat cenderung hitam dengan rasa manis sedikit pedas. sepertinya berbahan dasar kecap dan mungkin sedikit petis. Liday saya habisnya belum expert buat bedain bahan-bahan makanan, jadi agak meraba-raba. Saos yang kedua adalah sambel biasa, yang rasanya pas banget. gak terlalu pedas, tapi spicy dan sangat berasa.


Tanpa terasa satu persatu menu kami santap dan pada akhirnya kami kaget karena semua piring tandas tuntas tak bersisa.... bersih banget deh saking makanannya enak. Total kerusakan untuk kepuasan perut kami malam itu adalah 187rb termasuk minum dan pajak. Buat saya, itu adalah harga yang sama sekali tidak mehal mengingat porsi dan kualitas rasa. REccomended banget deh tempat ini....

trainz

Naik kereta api tut tut tuuuuuttttt di pim 1. Lho kok pim 1 si? jadi di suatu weekend yang penuh rencana, saya dan seorang teman mengunjungi pondok indah mall 1. Dia mengajak ke suatu cafe yang bernama trainz, yang pada saat itu baru soft opening. Kok namanya trainz yah? Pertanyaan saya terjawab ketika tiba di cafe tersebut. Ternyata, cafe tersebut itu dulunya ada di permata hijau, dan memang asalnya adalah toko penjual miniatur kereta api.


Begitu masuk ke dalam cafe tersebut, saya cukup kagum sama diorama kereta apinya. Panjangnya mungkin ada lebih dari 5 meter. Di diorama tersebut, beberapa jenis kereta api mainan (yang ternyata biarpun mainan tapi harganya muahaaallll) hilir mudik melewati aneka macam miniatur toko, stasiun, bahkan ada perbukitan, jembatan, air terjun, dan kereta gantung. Di salah satu spot, boneka pekerja bahkan bisa berjalan, dan ada gedung yang sedang terbakar. Si pengelola by request bisa memunculkan asap dari kebakaran gedung tersebut dengan menyuntikkan semacam cairan. Saya malah lebih konsen foto-foto di tempat itu dibanding makan. banyak orang tua yang membawa anaknya ke tempat ini untuk melihat diorama kereta tersebut, dan karena tidak ada yang membatasi diorama dengan pengunjung, anak2 balita dengan sukacitanya memegang si kereta kadang sampai terjungkir dan membuat si pengelola mempunyai petugas khusus. Oh iya, di trainz juga tetep ada counter yang menjual miniatur kereta.


Cukup dengan dioramanya, sekarang saya akan membahas makanannya. Hmmmmmmm sayangnya secara keseluruhan makanan di trainz ini std alias standar banget. Nama menunya si lucu-lucu karena berhubungan dengan kereta api. sayang jenis dan rasanya tidak istimewa. Ada milkshake, french fries, calamari, dan sejenisnya. Kebanyakan orang datang ke trainz untuk foto-foto. Bahkan katanya pernah ada seorang bapak yang dari pagi sampe sore nongkrongin kereta apinya, dan istrinya nemenin sambil ngemil di meja. Pada saat saya kesana sih, ada beberapa orang yang memang sengaja datang ke pim untuk memfoto dioramanya. Sudah agak lama juga saya gak kesana lagi, mudah2an kalo udah grand opening menunya bisa diperbaiki jadi gak cuma jual suasana keretanya, tapi juga rasa makanannya. tapi kalau ada dari teman-teman yang suka banget sama kereta, trainz is the right place to go.

lebak jero

Stasiun Lebak Jerok

Beberapa bulan yang lalu, kakak saya yang sedang hunting foto kereta api mengajak saya untuk ikut. Tadinya ada dua pilihan spot, yang pertama adalah stasiun lebak jero nagreg, dan yang kedua adalah jembatan kereta di dekat tol cipularang. Akhirnya diputuskan bahwa kami akan pergi ke lebak jero saja, karena aksesnya lebih mudah. Kami pergi dari Bandung sekitar pukul 6.30 pagi dan pagi itu cuaca bandung sedang agak berkabut. Wah saya senang sekali, bandung di pagi hari yang berkabut menurut saya sangat indah. Kabut terus menyelimuti perjalan kami sampai menjelang to cileunyi, dan kami bisa melihat matahari pagi yang canti. sayangnya, matahari pagi tersebut tidak bisa kami foto karena tidak bisa berhenti sembarangan di jalan tol.Rombongan terdiri dari saya, kakak saya, istrinya dan seorang keponakan. Kami pergi lengkap dengan aneka macam snack.


Tidak sampai 1 jam, kami sudah tiba di daerah nagreg dan sempat bertanya-tanya juga sih dimana letak stasiun lebak jeronya. Ternyata kalo dari arah bandung, ada di sebelah kanan jalan dengan plang yang kecil. katanya sih sekarang sudah diperbesar. Pertama kami memasuki daerah perkampungan, dan bertanya dimana stasiunnya. Seorang penduduk menyarankan untuk menggunakan mobil naik ke atas karena jauh. Semakin lama, jalan semakin sempit, semakin tidak ada rumah dan hanya ada deretan kebun jagung saja. Yah nyasar deh.... untung ada petani lewat, dan kami muter. Turun lagi ke bawah, dan akhirnya berenti di depan sebuah warung. Setelah bertanya lagi, kami ditunjukkan jalan menuju ke stasiun lebak jero. Pantesan gak ketemu, orang jalan menuju ke stasiun itu bentuknya cuma gang kecil. Saya sampe bingung kenapa stasiun ini beken.


Baiklah, kami ikuti gang kecil itu, dan ternyata jalannya mendaki dan harus melewati anak tangga. Duh, stasiun apaan sih ni.... Ternyata, di anak tangga terakhir terbebas dari gang sempit, kami langsung melihat pemandangan yang sangat indah. Stasiun lebak jero terletak di kaki gunung, menghadap lembah di sekitarnya. DAri jauh, kami masih bisa melihat sisa-sisa kabut di pagi hari. Begitu sampai, kami langsung laporan ke kepala stasiun yang sangat ramah dan membantu. Beliau menyebutkan bahwa antara jam 8-10, ada 3 kereta api yang lewat dari arah bandung menuju jawa. Beliau bahkan memberitahu bahwa hari sebelumnya ada serombongan pecinta kereta api yang sengaja menginap di rumah penduduk untuk mendapatkan moment kereta yang melintas di pagi hari. Waduh, niat bener...


Saya dan kakak saya berpencar, mencari spot yang berbeda. Saya ke jembatan kereta, sedangkan kakak saya ke arah sebaliknya. Sepertinya daerah di sekitar stasiun lebak jero ini adalah daerah penghasil jagung karena dimana-mana saya melihat kebun jagung, orang mengangkut jagung, pokoknya jagung banget deh. KEtika melewati jembatan kereta, saya kagum sama penduduk setempat yang sambil bawa keranjang jagung bermuatan penuh, bisa dengan lancar dan cuek aja ngelewatin jembatan rel kereta. Padahal di bawah rel kereta kan bolong-bolong dan lembah. Akhirnya saya mendapatkan spot yang saya inginkan dekat jembatan kereta dengan meminta izin dulu sama si yang punya tanah yang kebetulan lagi ada disitu. Tunggu punya tunggu, akhirnya datanglah kereta pertama yang dinantikan. wuzzzzzzz. berdiri dekat kereta yang melintas walauun di pinggir bikin deg-degan juga.


Setelah kereta pertama lewat, saya kembali ke stasiun keretanya untuk menunggu kereta berikutnya datang. Biar beda spot lah.... tidak lama, kereta yang dinantikan pun tiba. Si kepala stasiun malah berbaik hati memberi tahu spot yang lebih bagus lagi. Katanya, kami harus pergi ke lapangan bola dan tenyata lapangan bolanya ada di bukit kecil gitu. yah... mendaki lagi deh. Sebetulnya pemandangan di sekitar lapangan bola sangat menyenangkan. anak-anak bermain, ibu-ibu tua membawa kerangjang, ayam dan anjing yang melintas, gunung, lembah, semua ada deh. Tidak berapa lami kami tiba di lapangan bola yang dimaksud. kami harus melewati kebun jagung, semak-semak, tanah merah yang masih basah (nah ini baru niat ngefotonya). Setelah keceng sana keceng sini, saya gak gitu suka anglenya. udah dipinjemin lensa tele punya kakak saya juga tetep gak suka (atau emang gak bisa make, jurus pure amatir mode on, hehehe). Jadilah kakak saya nongkrong di kebun jagung di atasnya lapangan bola. duh beneran perjuangan itu naeknya, soalnya licin. Saya turun agak ke bawah, hampir dekat dengan rel kereta.


Kereta yang ditunggu agak lama baru datang. Saya sempet bosen dan ngantuk juga. Gatel, dikerubutin nyamuk, dan harus duduk beralas tanah. Kakak ipar dan keponakan saya sih nunggu di stasiun. Beberapa anak kecil yang lewat menatap dengan bingung. Akhirnya kereta lewat juga, hore!!!! Setelah pamitan dengan kepala stasiun, kami menuruni bukit tersebut dan pergi ke warung terdekat untuk beli minum. eh, tenryata banyak jajanan lucu nih, termasuk kacang sukro murah meriah 100 rupiah yang rasanya cikur banget. pas kami kembali ke tempat mobil diparkir, Waduh.... tenryata petualangan belum selesai. Karena lagi musim panen jagung, di sepanjang jalan itu orang-orang menjemur butiran jagung mereka. jadi jalannya dialasin karpet jagung gitu. Jadi gimana lewatnya dong? Untungnya, seeprtinya sih si jagung-jagung itu akan diolah untuk pakan ternak dan memang harus dihancurkan. Jadi penduduknya gak keberatan kalo bentangan karpet jagung mereka dilindes ban mobil. ya cuma harus berpunten-punten ria aja sepanjang jalan. hari yang menyenangkan ^_^

kampung naga

catper Kampung Naga

Dengan menggunakan bus carteran, saya dan keluarga besar beberapa waktu lalu pergi mengunjungi garut dan kampung naga. Titik tolak keberangkatan kami adalah garut, karena pada saat itu adalah pemilu dan ada sebagian yang menggunakan hak pilihnya disana. Perjalanan dari Leles-Garut menuju kampung naga melewati jalan yang berkelok-kelok tapi dengan pemandangan yang sangat indah. Waktu tempuh antara Leles-Kmpung Naga dengan bus sewaan itu sekitar 1 jam. Di sepanjang perjalanan, terutama di sebelah kiri jalan dari arah kota Garut, kita bisa melihat pemandnagan lembah, sawah dan sungai yang menawan, sangat menyegarkan pandangan.


Kampung naga ternyata terletak di sebelah kiri jalan, dan ada semacam gapura besar menandai pintu masuknya. Hal pertama yang kami lihat adalah lapangan parkir kendaraan. Awalnya saya bertanya dimana letak kampungnya. Berjalanlah kami ke dalam, dan ternyata tidak jauh dari parkir bus ada semacam pos penjagaan dengan plang yang menuliskan syarat-syarat mengenai bagaimana cara memasuki kampung naga. Disitu sih tertulis kalau ingin mengunjungi kampung naga harus ada surat izin tertulis dari si tetua kampung, dll, apalagi kalau ingin melakukan penelitian. Tapi ternyata ada cara lain. Satiap hari, ada penduduk kampung naga yang mendapatkan giliran untuk berjaga di pos dan menemani tamu apabila ada yang ingin berkunjung ke kampung naga. Akhirnya kami pun menggunakan jasa bapak tersebut. Biaya yang dikeluarkan sama sekali tidak mahal. 100rb itu sudah termasuk parkir dan guide yang mendapingi sekitar 40 orang. jumlahnya sebenernya sukarela sih, kecuali biaya parkir. asal kita nanti belanja saja di tempat souvenir.


Setelah lepas deretan warung, hal yang pertama kami lihat adalah tangga. Beberapa dari saudara saya yang sudah sepuh memutuskan untuk membatalkan perjalanan mereka dan menunggu saja di tempat awal. Tangga tersebut curam berkelok menuju ke bawah. Semua orang yang memutuskan untuk turun langsung berpikiran "wah, baliknya gimana nih?". Tapi saya pribadi sangat menikmati perjalanan ke bawah tersebut. Total, ada sekitar 360 anak tangga yang harus dilalui untuk mencapai lembah kampung naga, karena kampung tersebut terletak jauh di bawah permukaan jalan. Bahkan katanya nama kamppung naga sendiri diambil dari bentuk anak tangganya yang berkelok seperti naga. katanya lho ya.... Pemandangan dari anak-anak tangga tersebut cukup menakjubkan. Sawah-sawah yang berbentuk terasering menghiasi perbukitan yang menghadap sungai besar. Bahkan, ada air terjun mini di dekat bukit tersebut. Dari kejauhan, atap-atap rumah kampung naga yang terbuat dari ijuk sudah mulai terlihat.


Kita pun melintasi gang-gang rumah penduduk kampung tersebut, dan semua rumah menghadap ke arah yang sama serta terbuat dari bilik sederhana. Ada beberapa peraturan yang ahrus diikuti oleh warga kampung. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan listrik, tapi boleh mendapatkan listrik dengan accu, atau penerangan dengan menggunakan minyak tanah. Awalnya saya membayangkan kalau kampung naga itu adalah kampung yang sangat kuno dan seolah membawa kita ke jaman yang berbeda. Tapi ternyata gak sekuno itu juga, soalnya mereka boleh punya tv asal pake accu dan bukan listrik. Jadi, deretan antena tv menghiasi atap perumahan mereka. hmmmm sebenernya amsih cocok disebut kampung adat gak yah kalau begitu? Saya termasuk yang kurang puas dengan ketidakunoan kampung tersebut. Ibu saya bilang, bahwa keadaan kampung naga tersebut mirip dengan kondisi garut di tahun 1960an. bibi saya yang jauh lebih muda dari ibu saya bilang bahwa dia masih mengalami kehidupan seperti di kampung naga tersebut. Saya sempat bertanya apakah anak-anak kampung naga diizinkan bersekolah. Ternyata mereka diizinkan bersekolah, walau letak sekolah tidak ada di kampung tersebut jadi harus keluar kampung dan melewati 360 anak tangga itu setiap harinya.


Bentuk dan bahan material rumah satu dan lainnya sama. Di bukit perumahan yang paling tinggi, ada satu rumah yang disebut rumah ageung (dalam bahasa indonesia artinya rumah besar). Rumah ini tidak boleh dimasuki sembarangan orang. Hanya tetua adat saja yang boleh memasuki rumah tersebut dan mengetahui apa isinya. Kalau dilihat dari luar, rumah ini tidak memiliki jendela, dikelilingi oleh pagar dan tanaman yang menghalangi pandangan ke arah dalam. Kami pun tidak boleh mengambil foto dari tepat di depan rumah tersebut, harus dari jarak yang agak jauh. Tapi kamera sekarang kan ada zoomnya, jadi ya gak terlalu berpengaruh juga. Salah satu sepupu saya yang masih anak kuliahan malah bilang "teh, kok orang di kampung ini gak penasaran yah? kalo nisa yang tinggal disini nisa mau ngendap malem-malem biar tau apa isinya." huahahhahaha.


Guide yang menjadi petunjuk jalan mengajak kami berkeliling kampung dan melihat bentuk dapur tradisional, isi dalam rumah, dll. Salah satu hal yang masih mereka pegang teguh adalah larangan-larangan adat seperti menebang pohon. Mereka masih menggunakan cara tradisional dalam mengelola ternak mereka. Bahkan guidenya bilang, karena masih menggunakan tradisi itulah ayam-ayam mereka walaupun wabah flu burung melanda tapi tetap sehat walafiat. Salah satu hal yang menurut saya lucu di kampung tersebut adalah, saya melihat salah satu penduduknya sedang mencukur habis bulu dombanya dengan menggunakan gunting. wah kayak di new zealand aja. Ada beberapa toko souvenir yang dimiliki penduduk kampung tersebut dan menjual alat maupun aksesoris tradisional. Toko souvenir mana yang dikunjungi adalah tergantung dari siapa guide hari itu, karena biasanya toko tersebut adalah milik guidenya. jadi semua toko akan mendapat giliran masing-masing tanpa harus rebutan. Agak menyesal juga saya kurang banyak ngobrol sama guidenya karena lebih banyak foto-foto.


Di arah keluar kampung, ada sebuah sungai dengan banyak bebatuan yang di atasnya. Banyak dari keponakan saya terutama yang cowok, langsung bersemangat menceburkan diri dan bermain di sungai tersebut. Maklum di Bandung sungai sudah sangat tercemar sehingga jarang-jarang mereka bisa mendapatkan kesempatan langka berenang di sungai. Ketika kami sudah akan pulang, ada rombongan turis bule yang baru datang. Dari logat mereka, sepertinya berasal kalau tidak dari belanda ya dari jerman. Salah satu dari mereka bahkan mencoba untuk pipis di bilik toilet tradisinal yang disebut pacilingan oleh orang Sunda berbentuk bilik setengah badan. Jadi kalau berdiri, pinggang keatas akan terlihat dari lur. Atas izin bule tersebut, saya ambil fotonya :-D


Tibalah saatnya pulang. Ketika melewati sawah-sawah saya masih bisa riang gembira. Menaiki anak tangga awal pun masih bisa sambil nyanyi-nyanyi. semakin tinggi anak tangga, saya semakin ngos-ngosan. Bahkan di beberapa bagian setiap 5 anak tangga saya berhenti, begitu pula kakak laki-laki saya. Bahkan tante saya sempat menawarkan bantuan, jadi agak memalukan memang situasinya. Untung saja di tengah perjalanan tangga itu ada warung, jadi kami berhenti sebentar buat minum dan beristirahat sejenak. Baiklah, masih lebih dari 100 anak tangga lagi yang harus dilewati untuk mencapai tempat parkir. Selangkah demi selangkah dlewati, dan akhirnya tanda-tanda peradaban muncul juga. Di atas keluarga besar saya sudah menunggu. kakak saya sampai sebelum saya dan saya sampai terakhir! Begitu saya sampai para sesepuh, ibu, uwa, bibi, emang semua menyoraki dan tepuk tangan. Duh... muka...ditaro dimana nih? Ternyata, dari satu bis, juara pertama meniti tangga adalah uwak saya yang berusia 73th, disusul ibu saya yang 67th tanpa beristirahat di satu anak tangga pun. ruarrrr biasaaa! Lebih luar biasa lagi anak-anak kampung naga yang setiap hari harus melewati anak tangga menyiksa itu untuk bersekolah. Sepertinya porsi olahraga saya harus ditingkakan nih, atau kembali makan daun-daunan lalab seperti sesepuh keluarga saya itu. biar kayak kambing, back to nature sepertinya bikin sehat.....


Setelah beristirahat sejenak dan mengisi kembali cairan tubuh, bus pun kembali bertolak ke garut. Rendaman air panas pegunungan di cipanas telah menanti. Duh, enaknya habis cape turuni lembah mendaki bukit terus merendam badan di air panas berbelerang. my "ah..." moment.

Boka buka French Resto

Bokabuka

Di malam dengan perut lapar dan rasa bosan atas makanan di sekita D-Best Fatmawati yang itu-itu aja, tercetus ide untuk makanan di sebuah restoran Pakistan di Puri Mutiara. Naiklah saya dan seorang teman ke angkot S-11 yang mangkal di depan kantor. Seperti biasa, selama di perjalanan saya selalu melihat kiri dan kanan siapa tahu ada tempat makan menarik yang belum pernah didatangi. Ternyata, di jalan Cipete Raya, terlihat sebuah plang bertuliskan Bokabuka yang saya kira restoran Jepang. Ternyata teman saya bilang itu adalah restoran Perancis. Berhentilah kami segera di jalan Cipete Raya, dan niat menyantap hidangan Pakistan menguap sudah. Saya dan teman saya sempat berdebat mengenai letak restoran karena tenryata ada dua tempat. Kalau kita lebih teliti, yang satu menyediakan makanan Eropa dan yang satu lagi khusus menyediakan makanan Perancis yang baru dibuka pada bulan Desember 2008, walaupun menurut teman saya Perancis kan ada di Eropa, jadi kenapa harus dipisah.Ketika kami datang, tempatnya sedang sepi sehingga hingga malam pun hanya kami berdua yang ada di tempat tersebut.


Masuklah kami ke Bokabuka yang menyediakan restoran Perancis. Ruangan didekor dengan minimalis, dengan desain lampu temaram namun bernuansa hangat. Kami memilih untuk duduk di meja dekat bar yang menghadap taman dan merupakan smoking room. Pelayan segera datang membawa sebuah papan tulis besar yang bertuliskan menu dari teras depan. dikarenakan nama makanannya ditulis dalam bahasa Perancis, kami perlu menanyakan secara detail apa arti dari menu tersebut. Untuk penguasaan menu, pelayannya patut mendapatkan penghargaan karena bisa memberikan penjelasan yang detail.


Akhirnya kami memilih 4 menu: 1 Escargot Mushroom (55rb), 1. Dinde Estragon (87rb), 1 Dorade provencalle (85rb), 1 Dame Bruxelles (40rb), Air Mineral (12rb) dan Ice tea (17rb). fTotal kerusakan setelah ditambah gelas kedua untuk ice tea dan botol kedua untuk air mnirela adalah 325rb. Sambil menunggu makanan datang, kami disajikan free welcome drink dalam sloki kecil. Ternyata itu adalah campuran air jahe, lemon serta gula dengan dberi es batu. Saya sih suka banget, sedangkan teman saya hanya meminum setengah dan memberikan sisanya untuk saya. Kami juga diberikan 4 potong garlic bread beserta mentega.


Makanan yang pertama kali datang adalah appetizernya berupa escargot mushroom yang 1 porsinya terdiri dari 6 mushroom dan escargot. Menu ini terdiri dari escargot yang dimasak bersama jamur dengan bumbu perpaduan antara cream, susu, keju dan minyak zaitun. Setiap potong escargotnya, diletakkan di atas jamur. Pertama saya coba escargotnya dulu. Perpaduan smeua bumbu meresap ke dalam sehingga membuat si escargot sangat berasa. Kemudian saya coba jamurnya, wah gak kalah enak tuh. entah kenapa jamur dan cream yang dalam bayangan saya akan terasa aneh apabila digabungkan menjadi sangat enak. Akhirnya, saya memakan si jamur bersamaan dengan escargot dan perpaduannya terasa mengasyikan.


Berikutnya adalah pesanan saya, dinde estragon berupa daging kalkun dimasak menggunakan tanaman bernama tarragon (cari2 di kamus online gak nemu bahasa indonesianya apa) dengan sedikit white wine sebagai pengharum, baked potato yang masih terbungkus alumunium foil dan sayuran dengan bumbu yang berbentuk krim, keju. Rasanya enak, tapi tidak istimewa


Pilihan teman saya adalah dorade provencale. Bentuknya berupa ikan kakap dimasak dengan jamur yang disetup, disajikan dengan tomat dilumuri minyak zaitun, serta baked potato yang ditaburi daun mint. Jamur yang digunakan adalah jamur champignon yang dimasak hingga berwarna hitam. Bentuknya sih gak menarik untuk dilihat, tapi rasanya enak banget. Buat saya bagian terbaiknya justru berupa tomat yang dilumuri minyak zaitun dan gak tau dicampur apa lagi karena rasanya enakkkkkkkkk banget. The best menu of the night sih si tomat ini, hehehe


Terakhir adalah dessertnya. dame Bruxelles itu berupa wafle berukuran agak besar yang dipanggang kering sehingga sangat renyah, ditaburi gula halus putih, disiram dengan melted chocolate dan 1 scope besar es krim vanila di atasnya. Saya tidak salah pilih, karena saya sengaja meminta saran sama pelayannya, mana dari semua menu dessert yang paling banyak melted chocolatenya. suapan demi suapan masuk ke dalam mulut saya. ah, tenryata seporsi waffle untuk berdua tetap terlalu besar.


Secara umum, menu di bokabuka buat saya enak, dengan 1 menu seperti dorade provencale yang sedikit di atas rata-rata kategori enak, tapi belum seluar biasa Java Bleu. Toh toh harga per menunya pun memang sekitar 10-20ribu lebih murah dibanding Java Bleu.


Bokabuka: Jl Cipete Raya no 1 Jakarta Selatan
Tel: (021) 766 4308

Penyesalan cinta

Ini bukan judul lagu, bukan juga judul sinetron. Saya hanya ingin membagi pengalaman bagaimana rasa cinta saya yang besar atas makanan membuat saya berpikir dalam.


Dua bulan yang lalu, atas rekomendasi seorang teman, saya dan tentunya seperti biasa ditemani oleh seorang partner, menikmati brunch di Rosso hotel Shangrilla. Teman yang merekomendasikan tempat ini sudah mewanti-wanti saya agar memesan tempat terlebih dahulu, karena brunch di Rosso selalu penuh dan hanya tersedia pada hari minggu saja. Akhirnya 3 hari sebelum hari h saya memesan tempat di restoran ini untuk 2 orang. Harga per paxnya adalah 260rb untuk yang tidak memakai wine, dan kalau tidak salah 280 rb untuk yang memakai wine. Saya memesan yang tidak memakai wine, dan setelah dihitung dengan tax dan service charge, harga per paxnya itu 320rb. Waktu yang tersedia untuk menimati Sunday brunchnya itu adalah dari pukul 11.30-14.30. Makanya saya agak bingung kenapa dinamakan brunch, dan bukan lunch saja.


Buat saya, uang 320rb per orang sekali makan adalah jumlah yang besar. Oleh karena itu, saya bertekad untuk tidak menyiakan kesempatan tersebut. Pada hari h, saya bangun lebih pagi untuk sarapan dan itu pun hanya berupa sup, agar ketika waktu makan siang tiba saya sudah sangat lapar. Teman saya yang bangun agak terlambat bahkan memutuskan untuk tidak makan pagi. Kesepakatan kami adalah untuk datang di tempat jam 11.15 agar ketika jam 11.30 tiba, kami sudah bisa langsung makan. Makan memang perlu strategi, begitulah pikir saya.


Saat yang ditunggu tiba. Di Rosso yang dekorasinya didominasi warna merah, dengan pelayan yang ramah (ya iyalah ramah, secara mahal bayarnya. Kalo gak ramah si kebangetan), saya mendapatkan kursi tepat di depan meja seafood. Huhuy!lobster, oyster, kepiting, tiger prwan, semua memanggil-manggil saya untuk segera melahap mereka. DAri awal kami duduk, pelayan sudah menanyakan apa yang ingi kami pesan untuk main course. Untuk appetizer, sebagai orang yang masih price sensitive dalam makanan, tentu saja yang saya ambil paling banyak adalah lobster. Di hari lain mana bisa makan lobster sepuasnya. Lobsternya fresh, udangnya juga. Tapi pilihan oysternya kurang ok. Ada 2 jenis oyster, dan salah satunya adalah kerang hijau biasa. Betul kata salah seorang teman saya, kalau mau oyster enak, jangan pilih yang all you can eat.


Setelah makan seafood dengan semangat 45, saatnya masuk ke appetizer yang lain. Aaaaaaaa panic mode on! help! Ternyata buffet appetizernya terdiri dari begitu banyak macam salad, cold cut, daging asap, keju, serta aneka jenis saus yang menggoda selera. Tenang fit...tarik nafas.... konsentrasi. Saya mengambil beberapa jenis salad dengan jumlah sedikit saja dan menambahkan saos merah yang rasanya manis (sepertinya dari cranberry) dan satu saus berwarna kuning yang rasanya agak asam. Di tengah euforia menyantap makanan tersebut, seorang pelayan datang untuk menanyakan apakah kami mengininkan soup. Setelah beberapa lama, dan beberapa kali balikan ke meja appetizer, akhirnya soup yang kami pesan datang. Hanya tersedia satu jenis soup hari itu, dan itu adalah minestrone soup. Tampilannya sangat sederhana dan bentuknya pada dasarnya hanya sup sayur biasa. Tapi di balik tampilan sederhananya, rasanya cukup enak. Teman saya setelah itu masih sempat mencicipi aneka macam pasta seperti Stuffed Ravioli with Tiger Prawn Sauce, yang dimasak dan diantarkan sendiri oleh chefnya kemeja kami, yang menurut saya rasanya enak tapi tidak terlalu istimewa. Untuk pasta, tersedia 10 jenis sauce lainnya. Saya sih merasa cukup dengan bola daging saja. tebal, tasty, spicy. Di sela-sela itu, aneka macam juice mengobati rasa haus kami


Main course yang kami pesan datang. Veal Wrapped in Cabbage Stuffed with Mushrooms and Spinach yang dipesan teman saya rasanya lumayan, tapi biasa saja, begitu pula Pan Seared Sea Bass with Marinated Veggies yang saya pesan. Tapi saya lebih suka pesanan saya yang rasanya lebih spicy. Yah namanya juga orang indonesia, kalau gak nendang gak sip. Kami makan perlahan, menikmati setiap suapannya. Saatnya..... dessert. Berjalan lah saya ke tempat hidangan penutup disajikan. Kalau tadi diawali dengan panik, kemudian euforia, mungkin saat ini lebih tepat disebut kerasukan. Aneka macam mousse, coklat, biskuit, puding, buah, es krim dan tart disajikan dengan sangat menggoda. Ah........ pusing-pusing.... pilih mana ya?saya mengambil satu mousse coklat yang bernama panacotta, puding mangga, beberapa potong praline. Teman saya mengambil es krim, tiramisu dan panacotta. Gak ada lagi dari kami yang sanggup mengambil aneka macam tart. Juara dari pilihan kami adalah: panacotta! Rasanya luar biasa bikin melayang. sloki yang kecil tersebut terdiri dari lapisan demi lapisan dark chocolate dan white chocolate yang lembut. Tidak terlalu manis, tidak terlalu pahit, aduh pokoknya enak deh. Saya punya prinsip yang agak aneh. Kalau saya menemukan makanan yang rasanya enak banget, saya tidak akan mengambil porsi kedua agar memori saya akan makanan enak tersebut tetap kuat. dalam 3 tahun terakhir ini, si penacotta adalah makanan kedua yang masuk dalam kategori tersebut. Kepuasan hari itu ditutup oleh secangkir teh untuk saya, dan secangkir kopi untuk teman saya. Kami mengakhiri pertempuran tepat pukul 14.30, dengan perut yang rasanya mau meletus. ya.. tanda-tanda asupan yang berlebihan.


Di taksi, pikiran saya mulai melayang. Bukan karena menyesal, tapi lebih karena khawatir. Satu persatu bayangan leluhur, saudara ataupun ayah saya masuk ke kepala dengan penyakit mereka masing-masing. Kolesterol, asam urat, diabetes, darah tinggi, dan penyakit berat yang disebabkan faktor-faktor tersebut. Saya diberkahi Tuhan dengan badan mungil yang berat badannya tidak akan bertambah walau makan sebanyak apapun. dalam usia 26 tahun, tiba-tiba saya bergidik membayangkan apakah saya akan menghabiskan hari tua dengan tumpukan aneka macam penyakit dan mengakhiri hidup saya perlahan tapi pasti dengan fungsi organ tubuh yang perlahan semakin menurun hanya karena: makanan! kok kayaknya pesta pora saya di hotel bintang lima itu jadi terasa berlebihan. Ada semacam tarik menarik di hati nurani saya. antara perasaan merasa berhak untuk menikmati hidup, dan perasaan bersalah. Sampai akhirnya saya sempat membuat visi gak penting untuk lucu-lucuan. Saya harus melakukan apapun agar ketika tua bisa hidup nyaman, kaya raya, makan enak tapi tetap sehat. Setidaknya pola hidup sehat menjadi bentuk tanggung jawab saya terhadap sanga maha kuasa yang menganugerahi saya tubuh ini. Pokoknya saya gak mau ketika udah tua cuma bisa makan sayur rebus dengan gula dan garam diet. Kata kuncinya adalah: kontrol


Keesokan harinya saya bangun lebih pagi, memaksakan diri jalan pagi di fatmawati dan sekitarnya selama setengah jam, disambung yoga selama setengah jam dan meditasi 15 menit. Waktu berjalan kakinya ditambah di akhir pekan. Baru beberapa hari kemudian saya menemukan fakta bahwa haram hukumnya menginjak jl fatmawati jam 6.15 dan sesudahnya untuk olahraga. Alih-alih badan sehat, hanya tumpukan polusi yang akan mengisi paru-paru saya. Saya pun hanya memakan oat/havermout untuk sarapan, dan menggantikan snack sore saya yang biasanya super beracun berbentuk gorengan yang digoreng menggunakan minyak jelantah berwarna hitam, bakso dengan penyedap, ataupun crepes dan donut yang penuh lemak dengan apel. Berusaha keluar dari kebiasaan memakan makanan yang semakin beracun semakin enak. Ternyata jalan pagi saya menyenangkan karena saya banyak melihat hal menarik yang tidak saya temui di siang hari. Tukang sayur, ibu-ibu bercengkrama, bapak-bapak berjalan pagi, pengemis yang kalau siang mangkalnya dekat kosan saya tapi kalau pagi di gang sebelah. Klorofil, dan susu cap beruang pun menjadi bagian dopping sehari-hari.


Tekad saya bertahan selama beberapa minggu. Teman-teman kantor sampai rajin menggoda saya, menaruh gorengan di atas meja, atau bahkan menawari traktiran racun. saya bergeming, bertahan dan tetap melaksanakan hidup sehat saya. tibalah saat tugas keluar kota, tumpukan pekerjaan yang tidak selesai-selesai, pola tidur yang berubah menjadi lebih larut. Tetap terjaga setelah shalat shubuh sepertinya menjadi sesuatu yang menyiksa. Godaan bantal, guling dan selimut tebal dalam ruang ber-ac menjadi tak tertahankan. Rusak sudah semua tekad dan visi hidup yang tadinya gak penting dan cuma lucu-lucuan menjadi kata-kata tanpa makna. Sekali berhenti olahraga, susah banget deh mulainya lagi. sepertinya saya harus memulai lagi dengan mengikuti kegiatan olahraga berbayar. Seengaknya kalau gak dateng jadi ngerasa rugi uang. Hati nurani memang sangat sulit untuk dituruti, apalagi godaan siap sedia menghadang, hiks...hiks... T_T.