Senin, 24 November 2008

Jayapura Trip 3 -Tugu McArthur dan malam minggu di jayapura-

Setelah puas berbincang dengan ibu Rosa, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah seorang rekan kami. Dari hotel kami menuju ke Tugu McArthur yang terletak di puncak bukit. Jalan masuk ke arah tugu McArthur yang terletak di kawasan militer tidak terlalu jauh dari Sentani. Saya betul-betul menikmati perjalanan tersebut karena deretan pepohonan hijau mengiringi perjalanan kami. Jalan yang menanjak dan berkelok semakin membuat perjalanan berkesan, ditambah jendela mobil yang dibuka membuat kami bisa menikmati semilir angin yang berhembus. Sebelum kami memasuki tugu McArthur, kami harus berhenti di pos pemeriksaan terlebih dahulu dan menyerahkan kartu identitas masing-masing yang bisa diambil ketika pulang. Dari pos pemeriksaan, tugu McArthur tidak jauh lagi. Kami memasuki daerah perumahan tentara, dengan rumah-rumah kecil berderet rapi di atas bukit dengan halaman yang ditanami bunga. Entah kenapa saya jadi membayangkan halaman rumah Miss Marple salah satu tokoh karangan Agatha Christie.

Akhirnya tibalah kami di puncak bukit tempat tugu tersebut berada. Subhanallah, indah sekali. Di sekeliling bukit tersebut ada beberapa tempat duduk dimana kita bisa meliaht ke arah danau Sentani dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Suasananya sangat tenang dan menyenangkan. Bukit-bukit kecil di sekeliling danau juga terlihat dengan jelas. Ke arah kanan sedikit, kami dapat melihat pemandangan ke arah kota. Di dekat tugu tersebut, ada pos penjagaan yang di dalamnya terdapat foto-foto bersejarah ketika Jenderal McArthur dan pasukannya pertama kali mendarat di Jayapura. Setelah puas berfoto ria di kawasan tugu, kami sepakat untuk makan siang di restoran tepi danau bernama Youghwa restaurant.


Sepertinya Yougwha restaurant ini cukup terkenal karena pengunjungnya ramai. Bahkan kabarnya, SBY pun makan siang disini ketika mengunjungi jayapura. Restorannya terletak tepat di tepi danau Sentani dengan pemandangan ke arah pulau-pulau kecil dan bukit di sekitarnya. REstoran ini menjual aneka makanan laut maupun ikan air tawar. Kami memesan ikan rica-rica, capcay dan udang. Rasanya tidak mengecewakan. Selesai makan siang, kami menuju ke kota Jayapura untuk kembali berburu souvenir. Kami bertanya kepada supir apakah ada tempat yang menjual kain khas Papua, ternyata ada. Kali ini saya sangat menikmati perjalanan menuju Jayapura. Tebing-tebing tinggi mengelilingi kota Jayapura di sebelah kiri apabila kita memasukinya dari arah bandara. Di sebelah kanan, kita bisa melihat kota, laut dan pelabuhan. Sangat mengesankan. Supir membawa kami ke daerah bernama Dok V untuk menuju ke suatu koperasi yang menjual kain motif papua. Sayangnya tempat tersebut tutup.

Ketika kami mengisi bensin, Theresia sempat bertanya kepada penjaga pom tersebut apakah ada toko yang menjual batik Papua dan kami beruntung karena toko tersebut berada tidak jauh dari pom bensin meski agak masuk ke dalam. Nama toko tersebut adalah Aneka Batik yang terletak di Jl Samudra Maya No 36 Dok V Bawah Papua. Sebetulnya saya sendiri tidak begitu yakin apabila masyarakat Papua mempunyai budaya menggunakan kain, apalagi batik. Tetapi namanya saja jaman globalisasi, apapun bisa dijual oleh siapapun. Toko tersebut menjual aneka kain termasuk sutra dan sutra tulis dengan motif yang memang tidak pernah saya temukan di Jawa. Berhubung harga sutra tulisnya 200rb per meter, saya memilih membeli bahan biasa saja seharga 170rb/ 3 meter dengan motif yang sangat bagus.


Selesai berbelanja, kami ingin sekali mengunjungi pantai. Ternyata pantai terdekat itu berada di wilayah Hamadi, dekat dengan lokasi toko souvenir. kami sempat berfoto di pelabuhan yang terletak di tengah kota dimana kapal-kapal yang sandar bercampur dengan orang-orang yang berenang dan bermain air. Hari menjelang sore dan cuaca mendung. Kami sangat berharap agar hujan tidak turun dan kami bisa menikmati suasanan pantai. Supir kami minta untuk bergegas, agar matahari tidak keburu tenggelam ketika kami tiba di pantai Hamadi. DAri jalan besar, pantai Hamadi agak masuk ke dalam tetapi tidak berapa jauh. Setiap mobil yang masuk ke arah pantai dikenai biaya 5.000, tetapi mobil kami kena 10.000 mungkin karena si bos yang bule terlihat dari luar. Buat saya, pantai Hamadi mempunyai pemandangan yang unik. Di satu sisi kita dapat melihat pantai, di seberang pantai terlihat deretan rawa-rawa yang dilatarbelakangi oleh barisan bukit. Cuaca yang mendung memberikan sensasi tersendiri.

Hujan mulai turun, dan kami kembali ke mobil untuk kemudian kembali ke daerah toko souvenir. Setelah puas berbelanja, kami kelaparan dan ingin menikmati makan malam dengan suasana yang berbeda. Kami minta supir untuk kembali mengantarkan kami ke resoran di atas bukit, namun supir kami bilang bahwa restoran tersebut tutup sampai Desmeber karena pemiliknya sedang pulang kampung ke makassar. Wah, sepertinya bisnis restoran di Jayapura menjanjikan sampai si pemilik restoran cukup kaya hingga bisa berlibur berbulan-bulan tanpa harus membuka usahanya.


Sayangnya, supir yang asli NTT itu tidak terlalu mengenal jalan di Jayapura. bos saya minta agar kami dibawa makan di tepi laut. Dia membawa kami ke deretan ruko dekat laut. Jelas bos saya protes. Akhirnya dia ngotot agar si supir membelokkan mobil ke daerah belakang ruko di dekat Siwss Bell hotel, menuju ke arah laut. Beruntunglah kami, karena tenryata di ujung jalan buntu tersebut ada tempat makan bernama Blue Cafe. Tempatnya dikelilingi lampu aneka warna, dan balkon-balkon kecil di tepi laut tempat kita bisa duduk-duduk. Pemandangan yang bisa didapatkan dari restoran tersebut adalah city lights dari arah bukit-bukit di sekitar Jayapura. Mungkin tidak salah apabila Jayapura disebut sebagai Hongkongnya Indonesia. REstoran tersebut menyajikan makanan laut yang ikan, udang dan cuminya dapat kita pilih dan kemudian mereka bakar. Gabungan antara seafood panas yang mengepul di atas meja, angin laut dan city lights menimbulkan suasana yang luar biasa. Karena malam itu malam minggu, restoran tersebut juga disertai oleh pertunjukkan live music.

Ada satu benda yang tidak berhasil saya temukan, yaitu coca cola Papua New Guinea pesanan teman saya yang gemar mencoba coca cola dari berbagai negara. Si supir bilang, barang tersebut tidak diijinkan lagi masuk ke Jayapura dan hanya bisa didapatkan di daerah perbatasan. DAerah perbatasan dari Jayapura memakan waktu sekitar 2 jam dengan mobil. Sayang sekali itu adalah malam terakhir kami di Jayapura. Apabila tidak, tentu dengan senang hati saya pergi ke daerah perbatasan untuk berkunjung ke PNG. Walau tidak bawa paspor, kabarnya bisa masuk dengan menggunakan Surat perjalanan laksana paspor yang bisa dibikin di tempat.


Setelah kenyang, kami kembali ke hotel. Perjalanan pulang justru membuat saya terkaget-kaget. Ada beberapa jalan yang tidak saya perhatikan ketika pergi, dan ketika malam justru menarik perhatian saya. Di Papua ada mall baru yang cukup besar. Kalau gak salah namanya jayapura ITC atau sesuatu seperti itulah. Di sana, kita bisa menemukan Centro Departmen Store! luar biasa... tidak jauh dari Centro, kita juga bisa menemukan Krisbow Store, toko yang tentu saja khusus menjual alat-alat produk Krisbow.

Kekagetan saya semakin bertambah ketika di daerah Abepura kami terjebak.... macet. Karena saat itu malam minggu, sepertinya semua orang berniat menghabiskan waktu di luar rumah dan memenuhi toko-toko yang berderet di sepanjang jalan di Abepura, termasuk di depan KFC. Siapa sangka di sebuah kota yang terletak di ujung timur Indonesia dan membutuhkan waktu 9 jam dengan pesawat saya masih akan menemukan suasana macet. Malam itu tanggal 8 November, 2 hari sebelum hari pahlawan. Ketika melewati Taman Makam Pahlawan di daerah Abepura, ada pamandangan yang cukup mengesankan karena setiap makam dihiasi oleh lilin-lilin yang terang benderang dan menimbulkan suasana syahdu.


Ada satu hal yang membuat atasan saya penasaran. Di meja resepsionis, ada sepasang patung bebentuk orang Papua yang bentuknya cukup bagus dan diletakkan dalam kotak kaca. Sayangya, kami tidak dapat menemukan patung sejenis di setiap toko yang kami datangi. Akhirnya kami bertanya kepada resepsionis dimana patung tersebut bisa didapatkan. Resepsionisnya bilang, "Kayunya memang dibawa dari sini, tetapi patungnya diukir di Yogya". Kembali saya dan Theresia gubrak dengan sukses.


Esok paginya kami harus berangkat ke bandara untuk menuju ke makassar. Bandara Sentani minggu pagi itu sangat penuh karena ternyata berbarengan dengan keberangkatan rombongan haji dari Papua. Lebih repot lagi, bandara tersebut tidak menyediakan troli sehingga barang bawaan kami yang cukup banyak itu harus dibawa oleh 2 porter ditambah anggota rombongan sebanyak 5 orang. akhirnya pesawat Lion Air tujuan Makassar lepas landas meninggalkan tanah Papua. Semoga lain waktu, saya bisa mengunjungi kota yang berbeda di Papua. Sepertinya Sorong dan Raja Ampatnya tempat yang menarik untuk snorkling...

jayapura trip 2 -berburu souvenir-

Setelah dari rumah sakit, kami memutuskan untuk pergi makan siang. Tadinya kami mau makan di sebuah restoran di atas bukit dimana kita bisa melihat pemandangan ke arah kota jayapura, tenyata restoran tersebut sedang tutup. Akhirnya kami makan di sebuah restoran yang menyediakan masakan Cina yang terletak di kompleks pertokoan dekat Swiss Bell Hotel. Rasa makanannya lumayan, dan cukup mengenyangkan meskipun tidak istimewa. Harga yang dibanderol pun tidak mahal. Setelah selesai makan siang, atasan saya memutuskan untuk berkunjung terlebih dahulu ke kantor Unicef Jayapura terkait dengan urusan kantor.


Dalam perjalanan, saya melihat bahwa Jayapura adalah kota yang sangat hidup dan ramai dengan penduduk yang sangat beragam, gabungan antara penduduk asli dan kaum pendatang. Dua tahun yang lalu saya pernah tinggal di Banda Aceh, dan sebagai perbandingan jayapura jauh lebih ramai, jauh lebih hidup. Di sepanjang jalan saya bisa melihat orang berjualan pecel lele, ayam goreng, rumah makan padang, martabak, dan aneka macam hidangan lainnya yang buka hingga larut malam. Jadi tidak usah khawatir akan keberadaan makanan di Jayapura, termasuk makanan halal sekalipun.


Dari kantor Unicef kami bergerak ke pusat kerajinan di daerah Hamadi yang berjarak sekitar 30 menit dari kota Jayapura. Di hamadi, toko Souvenir berjejer menawarkan aneka macam barang khas Papua seperti ukiran Asmat, Biak, koteka, tas dari kulit kayu, dll. Semua pemilik toko di Hamadi adalah pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan yang menampung produk yang dibuat oleh penduduk asli papua terutama yang tinggal di daerah Sentani. Penduduk asli Papua hanya sesekali terlihat melintas di daerah Hamadi. Atasan saya dan Theresia sibuk memilih begitu banyak barang untuk dipajang di kantor kami di jakarta. Saya hanya sempat melihat beberapa toko saja dan memutuskan untuk beristirahat di mobil karena kepala saya masih sakit.
Hari telah larut dan kami memutuskan untuk makan malam di daerah Sentani saja. Sayangnya, restoran yang akan kami datangi terlewati dan kami harus mencari restoran lain. Supir menyarankan kami untuk makan di sebuah restoran bernama Micky restoran, tempat dimana ia sering membawa para tamu untuk makan. REstorannya tidak terlalu besar, namun menu makanannya cukup lengkap dari mulai western hingga masakan Cina dengan kisaran harga 20.000-40.000 untuk menu yang bisa dishare.


Saya juga mendapatkan pengetahuan baru mengenai masalah minuman. Di Papua, mereka menyediakan jus berwarna ungu dengan rasa asam yang diberi nama terong wamena. Di Aceh namanya terong Belanda, di Ujung Pandang namanya Terong Ujung Bandang. Ibu saya yang orang Sunda bilang Terong kori. Bendanya si sama saja. Di restoran tersebut kami melihat beberapa ekspaktriat (bule). Berdasarkan hasil perbincangan saya dengan supir, kalangan ekspatriat memang banyak tinggal di sekitar Sentani dan mereka biasnaya bekerja di perusahaan penerbangan karena letak Sentani yang dekat dengan bandara. Setiba di hotel, saya melihat ada setitik noda darah di bagian pinggul celana saya. Saya bingung asalnya dari mana. Setelah saya perhatikan, ternyata dari tempat bekas saya disuntik. saya baru sadar rupanya ketika tadi sore si dokter menyuntik saya, dia tidak menggunakan alkohol sebelum dan sesudah menyuntik, juga tidak memberikan plester untuk menutupi bekas suntikan. Ada-ada saja! Sampai saat ini pun saya tetap belum tahu apa yang bikin saya sakit waktu itu.


Hari ketiga dan keempat tidak banyak kami habiskan untuk berjalan-jalan sehubungan training jurnalistik bagi media Papua yang kami selenggarakan bekerja sama dengan Unicef sehubungan dengan hari cuci tangan pakai sabun sedunia. Ada fakta cukup menarik yang kami dapat dari pihak Unicef sehubungan dengan kondisi sanitasi di Papua. Untuk banyak daerah, membangun fasilitas MCK sangat sulit karena harga bahan bangunan yang mahal. sebagai contoh, satu sak semen di Jayapura harganya sekitar 80rb, di Wamena menjadi 400rb, sedangkan di Puncak Jaya bisa mencapai 1.6 juta belum termasuk ongkos menerbangkannya dengan pesawat. Sungguh mencengangkan. Malam ketiga saya dan theresia memesan room service yang porsinya tenryata sangat besar. Baru malam keempat rombongan kami mempunyai waktu luang untuk makan malam di luar, sebuah restoran di daerah Sentani yang saya lupa namanya, juga dengan pengunjung kalangan ekspatriat dan menu yang setipe dengan restoran Micky. Rasa dan harganya juga mirip-mirip. Cukup memuaskanlah....


Keesokan harinya, atau hari Sabtu adalah hari luang terakhir kami di Jayapura. Kami memulai kegiatan dengan berburu souvenir di sekitar Sentani karena hari-hari sebelumnya kami melihat plang "Souvenir center". Si bos bilang, daripada beli di hamadi, lebih baik dia membeli dari souvenir yang memang hasilnya untuk orang papua sendiri. Tujuan pertama adalah letlet hut berupa sebuah rumah kecil dengan halaman yang luas di pinggir jalan raya hawaii sentani. Seorang gadis Papua menjaga ruangan tersebut. Jumlah barang yang dijajakan memang tidak sebanyak di Hamadi, tapi ada beberapa yang unik. Saya melihat patung-patung kecil terbuat dari batok kelapa berupa satu group malaikat yang sedang bermain alat musik atau yang satu lagi berupa paduan suara. Sayang harganya untuk benda-benda sekecil itu mencapai hampir 250rb tidak termasuk resiko patah ketika dimasukkan dalam koper. Letlet hut sendiri berada di bawah sebuah yayasan yang kalau tidak salah dikelola oleh para misionaris. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli beberapa souvenir termasuk kartu-kartu dengan gambar yang sangat unik.


Tujuan berikutnya adalah Rumah Agape. Tempatnya lebih kecil lagi, juga dijaga oleh seorang gadis Papua. Mereka mempunyai beberapa koleksi patung yang unik.
Kebetulan, pemilik Rumah Agape datang. beliau bernama ibu Rosa, seorang wanita asal Meksiko yang datang ke Papua 40 tahun yang lalu bersama suaminya yang misionaris. Ketika suaminya meninggal, Ibu Rosa memutuskan untuk tetap tinggal di Sentani dan akhirnya menjadi WNI. Beliau bercerita bahwa Rumah Agape menampung kerajinan-kerajinan yang dibuat penduduk asli Papua. Harga yang dibanderol untuk setiap barang adalah harga yang diajukan si pemilik barang tanpa ibu Rosa mengambil keuntungan. Jadi, tidak ada tawar-menawar di toko ini.


Rumah Agape juga menjual kopi Wamena yang harganya 7.000/100 gram. biasanya, para ekspatriat yang tinggal di sentani memesan kopi yang digiling sesuai keinginan kepada ibu Rosa. Beliau banyak bercerita tentang kondisi Papua saat ini, termasuk kegiatannya mengadakan kelas membaca dan menulis bagi penduduk sekitar yang buta huruf. DAri cerita beliau, saya bisa menangkap kekhawatirannya sehubungan dengan penyebaran AIDS di Papua. Beliau bilang, karena tingkat penyebaran AIDS sangat tinggi, para laki-laki mencari perempuan yang usianya semakin muda terutama perawan karena dianggap lebih bersih dan aman. Ibu rosa menggunakan istilah "There is almost no virgin anymore". Betul atau tidaknya tentu perlu dibuktikan dengan statistik.

foto lengkap bisa dilihat di: http://www.facebook.com/profile.php?id=563471571&ref=profile#/album.php?aid=61218&id=563471571

jayapura trip 1 -danau, abepura dan rumah sakit-















Salah satu tempat impian yang ingin saya kunjungi di indonesia adalah Papua. alahamdulillah, awal November ini saya mendapatkan kesmepatan untuk mengunjungi Jayapura dikarenakan tugas kantor, dan saya menantikan hari-hari tersebut dengan sangat senang.


Saya dan rekan saya Theresia, berangkat dari Jakarta pada tanggal 4 November dengan menggunakan expres air penerbangan pukul 5.30 pagi dari Bandara Sokearno Hatta Jakarta. Usia pesawat yang digunakan sepertinya sudah tidak terlalu muda lagi. Kami duduk di deretan bangku paling depan yang mungkin dulunya didesain sebagai kelas bisnis. Mengingat bawaan kami yang cukup banyak tempat tersebut sangat membantu karena kami bisa menaruh beberapa tas laptop dan infokus di depan kami. Sayangnya, tarikan dan goncngan pesawat ketika lepas landas maupun mendarat justru sangat terasa. Keanehan dari penerbangan ini dimulai ketika saat makan pagi dibagikan. Awalnya saya tidak menyadari, karena kursi yang kami duduki memang memiliki meja seperti kursi pesawat pada umumnya. Tetapi ketika pramugari memasuki deratan kedua dan seterusnya, mereka mengajukan pertanyaan "Pak, Bu, mau pakai meja?". Saya sempat tertegun sebentar mendengar pertanyaan tersebut. TErnyata, kecuali bangku deretan paling depan, bangku lain tidak memiliki meja. Sehingga setiap kali makanan dibagikan, pramugari akan mengeluarkan stok meja "portable" dari lemari penyimpanan untuk dibagikan dan kemudian disangkutkan ke kursi pesawat! Makanannya sendiri berupa sandwich isi sayur dan daging asap dengan roti yang sedikit keras. Lumayan daripada tidak sarapan.


Tujuan pertama kota transit adalah Makassar, dan perjalanan Jakarta Makassar memakan waktu sekitar 2.5 jam. Saya tidak pernah menyukai perjalanan udara ke Makassar karena biasanya penuh dengan guncangan dan guncangan tersebut memang terjadi meski tidak terlalu parah. Waktu transit yang dibutuhkan di bandara Makassar adalah 2 jam dan kami menggunakan waktu tersebut untuk pijat refleksi di salah satu counter yang tersedia. Lumayan untuk mengurangi lelah. Sekitar pukul 11.30 pesawat lepas landas menuju Sorong. Kembali kami mendapatkan kursi paling depan walau di pesawat yang berbeda, meski kali ini dengan ruang kaki yang lebih sempit dan tentunya tanpa meja. Menu makan siangnya adalah nasi goreng yang rasanya lumayan meski terlalu berminyak. Perjalanan Makassar-Sorong memakan waktu 2.5 jam, dan berlangsung sangat mulus. Kami diberkahi cuaca cerah, dan langit biru, nyaris tanpa goncangan.


Beberapa saat sebelum mendarat di Sorong, deretan pulau-pulau kecil mulai terlihat dengan aktifitas nelayan di sekitarnya. Saking laut tersebut sangat jernih, bahkan dari pesawat pun saya dapat melihat bagian dari laut yang dangkal. Bandara Sorong sangat kecil. Ketika pesawat mendarat, saya dapat melihat beberapa anak kecil yang sedang bermain di sisi landasan melambaikan tangan mereka sambil tersenyum, sayang kecepatan mendarat pesawat tidak mengijinkan kamera saya untuk mengambil gambar mereka.


Salah satu hal yang didapatkan dari duduk di bangku depan adalah saya bisa mendengarkan apa yang pramugari perbincangkan. Sementara pramugari tersebut sibuk pada saat transit, teman saya Theresia tidur layaknya orang pingsan. Berdasarkan hasil curi dengar saya, kamar mandi pesawat belum bisa digunakan sampai persediaan air diisi kembali karena ada penumpang yang lupa mematikan kran air hingga stok air habis. Berikutnya adalah ketika pramugari menghitung persediaan makanan dan ternyata jumlahnya kurang. Salah satu pramugari langsung bilang, "Cepet ke Bu Haji!". Saya penasaran dengan kata-kata tersebut, sampai akhirnya mendapatkan bukti ketika makanan kembali dibagikan di pesawat dan berupa beberapa potong lontong serta dua tusuk sate.


Perjalanan Jakarta Sorong termasuk transit yang memakan waktu sekitar 7 jam cukup melelahkan. Kami berharap waktu yang dibutuhkan dari Sorong ke Jayapura tidak akan terlalu lama. Tetapi begitu pramugari berkata bahwa perjalanan Sorong-Jayapura akan memakan waktu 1.5 jam, kami serentak berkata "Oh, tidak..!!!" Perjalanan dari Sorong ke Jayapura tidak terlalu mulus karena sempat menghadapi hujan-petir dan guncangan, untungnya tidak berlangsung lama. Saya duduk di sebelah seorang ibu kelahiran Semarang yang sudah lama tinggal di Papua. Beliau bercerita bahwa ongkos transportasi di Papua cukup mahal. Sebagai contoh, harga tiket pesawat dari Sorong ke Jayapura adalah sekitar 1.8 juta, sebagai perbandingan setelah saya cek tiket Jakarta-Jayapura yang saya miliki harganya sekitar 2.3 juta sekali jalan.


Sebelum mendarat di Bandara Sentani, kami bisa melihat deretan hutan dan bukit di sekitar Jayapura yang masih sangat hijau dan indah. Bandara Sentani sendiri cukup besar dan ramai dikelilingi perbukitan di sekitarnya. Ketika kami tiba, cuaca agak mendung dan angin bertiup semilir serta matahari mulai tenggelam. Kami kemudia menunggu bagasi untuk beberapa saat, dan sayangnya, koper Theresia nyasar di Sorong dan baru bisa diambil hari berikutnya.





Mobil penjemput dari Hotel Sentani Indah telah menunggu kami ketika kami tiba. Perjalanan dari hotel ke bandara memakan waktu sekitar 15 menit saja. Ternyata, berhubung pengetahuan geografi yang minim saya salah sangka. Bandara Sentani itu berada di kabupaten Jayapura, di semacam kota satelit bernama Sentani dan Jayapura masih 1 jam perjalanan lagi dari Bandara.
Kalau berdasarkan kelas sih, Hotel Sentani Indah itu termasuk bintang 3. Tapi kalau melihat bangunannya, seperti tidak terawat dan kekurangan pengunjung. Sepertinya dulu hotel itu dirancang sebagai resort, dan sepertinya dulu adalah hotel yang indah. Tetapi ketika kami datang, beberapa bagian bagunan tidak terawat, dan ada beberapa kamar yang sudah tidak difungsikan karena saya bisa melihat dari kuncinya yang jebol. Perjalanan dari lobi yang berbau amis ke kamar saya yang berada di ujung melewati lorong panjang yang mirip seperti lorong rumah sakit. Setibanya di kamar, kami berdua sudah kehabisan energi untuk makan malam dan memutuskan untuk langsung tidur.


Keesokan harinya, kami merasa tenggorokan kami sakit, terlebih lagi saya yang memang sudah agak demam sejak saat berangkat. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke kota terdekat (Sentani) untuk membeli obat, vitamin dan minuman karena kulkas kamar tidak ada isinya. Pagi itu, petugas cleaning service datang untuk membersihkan kamar tepat ketika kami akan pergi, dan saya sempat berbincang sebentar dengan bapak tersebut. Beliau adalah orang Jawa, pensiunan dari President hotel di Jakarta. BErdasarkan ceritanya, bau amis yang ada di sekitar hotel itu berasal dari serangga yang hidup di danau Sentani. Serangga tersebut seperti laron di Jawa, yang mencari lampu di malam hari, dan kemudian mati esok paginya dan menimbulkan bau seperti bau ikan. Jadi bapak itu bilang, bukan hotel kami yang tidak bersih, tetapi masalah tersebut tidak terhindarkan. Jadilah si bapak menggunakan karbol dengan jumlah yang agak eksesif setiap kali bebersih untuk menutupi bau si makhluk danau itu. Selain itu, pada pagi tersebut rombongan kedua kantor kami yang menggunakan penerbangan malam Garuda tiba.


Berdasarkan resepsionis hotel, kami bisa menggunakan taksi dari hotel ke kota Sentani. Ternyata, taksi tersebut adalah angkot. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu hanya sekitar 15 menit, saya memperhatikan bahwa kota seukuran Sentani pun cukup ramai. Ada tempat fotokopi, aneka bank, mini market, apotik 24 jam, warung makan Sunda bernama kedai MakNyuss hingga video Ezzy rental dvd dan Paparons Pizza. Setelah membeli obat berupa antibiotik, penghilang demam dan vitamin, kami meminta saran penjaga apotik cara termudah untuk menuju tepi danau Sentani. Kembali kami disarankan naik taksi tapi dengan jurusan yang berbeda. Ternyata, taksi itu ada 2 ukuran. Taksi 103A yang kami gunakan dari hotel ke Sentani itu berupa mobil carry yang ukurannya kecil, ongkosnya hanya 3.000 saja. Sedangkan dari Sentani ke tepi danau, kami harus menggunakan taksi 104A berupa kendaraan L300 yang lebih besar dengan ongkos 5.000 karena tujuaannya adalah Entrop, kota satelit sebelum Jayapura.


Akhirnya taksi yang kami tunggu pun tiba. Sebetulnya badan saya sudah semakin tidak enak dan pagi itu cuaca panas luar biasa. Orang Sunda bilang sih mentrang-mentring. Tapi demi perjalanan yang sudah lama diimpikan, saya memaksakan diri. Tepi danau ternyata tidak terlalu jauh, tetapi kami memutuskan untuk turun di tujuan terjauh angkot karena penasaran. Jadi walaupun sepanjang perjalanan kami menyusuri tepi danau Sentani yang Indah, kami tidak berhenti dan memutuskan untuk berhenti ketika pulang ke hotel saja. Sekita 30 menit kemudian, taksi melewati sebuah kota satelit bernama Abepura yang apabila dilihat sekilas sepertinya kota pendidikkan atau lokasi kantor pemerintahan, karena banyak dinas-dinas pemerintah yang berlokasi disitu, dan orang-orang bergaya mahasiswa. SEcara tidak sengaja, di kanan jalan saya melihat Museum Papua dan Taman Budaya Papua yang lokasinya berdampingan. Kami langsung memutuskan untuk berhenti disitu.


Tempat pertama yang kami kunjungi adalah taman budaya papua yang terdiri dari anjungan-anjungan kabupaten di Papua, seperti angjungan-anjunagn di Taman Mini. Sayangnya, kondisi bangunan tersebut tidak terlalu terawat. Tidak ada pengunjung maupun aktifitas berarti disitu. Untungnya, seorang pria papua memanggil kami untuk mengunjungi salah satu anjungan dan kami sempat berbincang-bincang dengan pria tersebut. TErnyata, taman budaya itu hanya digunakan setahun sekali setiap kali ada festival budaya Papua yang diselenggarakan sekitar bulan Agustus, dimana perwakilan dari seluruh kabupaten mengirim utusannya untuk eksebisi. Selama itu, masyarakat seperti beberapa keluarga yang sekilas saya lihat, meninggali anjungan-anjungan tersebut. Setelah mengambil beberapa foto, kami beranjak pergi untuk mengunjungi museum.


Keadaan jauh lebih sepi lagi. Ketika kami masuk, hanya ada 1 motor terparkir di depan seorang satpam yang sedang berbincang dengan dua orang gadis. Ketika kami bertanya apakah museum sudah buka, satpam tersebut harus bertanya dulu sementara kami menunggu di depan sebuah bangunan. Tidak lama kemudian 1 orang ibu dan pria asli Papua datang. Ternyata mereka pegawai museum, dan kamilah pengunjung pertama yang tiba jam 10 pagi meski di plang museum tertera tulisan kalau museum buka pukul 8 pagi. Museum Papua sendiri terdiri dari 3 bangunan 2 lantai yang satu sama lain terhubung dengan sebuah koridor. Kami memasuki bangunan pertama yang berisi koleksi pakaian perang. Saya sempat mengambil beberapa foto, namun si Ibu penjaga museum berkata bahwa biasanya dia tidak mengijinkan dokumentasi sehingga sesi foto-foto kami hentikan. Setelah puas melihat-lihat lantai pertama, kami naik ke lantai kedua tanpa disertai penjaga museum.


Koleksi lantai kedua jauh lebih menarik karena berisikan beraneka mecam benda yang digunakan oleh masyarakat Papua dan juga tengkorak fosil yang ditemukan di suatu daerah. Jiwa bandel kami berdua kumat. Mumpung petugas museum tidak ada, kami ambil foto sepuasnya termasuk foto si tengkorak. Tidak berapa lama kemudian, kami mendengar derap kaki penjaga museum menaiki anak tangga ke lantai dua. Langsung saja kamera saya masukkan tas. Penjaga yang bernama Pak Minggus tersebut akhirnya turut menemani kami berkeliling museum dan memberikan banyak penjelasan menarik. Ternyata, koleksi Museum Papua itu dibagi dua. Yang ditaruh dalam rak kaca dan yang tidak. Benda yang ditaruh dalam rak kaca, tenyata benda yang mengandung magis yang tidak boleh disentuh oleh pengunjung karena dapat menyebabkan si pengunjung sakit, sedangkan yang tidak dilindungi kaca berarti aman. Ketika saya bertanya bagaimana para petugas museum mengetahui perbedannya, Pak Minggus bilang bahwa para petugas museum sudah terbiasa sehingga mereka mampu melihat cahaya di sekitar suatu benda apabila benda tersebut mengandung magic.


Kemudia pak Minggus menunjukkan sebuah Patung dari Biak yang saya lupa istilahnya. Dalam suatu ekshebisi, seorang pengunjung langsung mengambil foto patung tersebut dengan kamera hp dari jarak dekat. Dalam waktu sekejap, ada sms masuk yang bertuliskan "Jangan ambil foto saya apabila kamu tidak mau terkena bencana", sehingga si pengunjung langsung menghapus foto tersebut. Percaya tidak percaya sih, kalau penghuni patung kuno biak bisa melek teknologi informasi. Sambil berkeliling, Pak Minggus juga bilang bahwa pengunjung yang mengambil foto tanpa ijin biasanya sakit. Saya dan Theresia langsung bertatapan penuh makna. Setelah puas berkeliling, akhirnya kami sampai di bangunan terakhir.

Ternyata ada satu lagi petugas, seorang bapak yang berasal dari Jawa dan telah tinggal di Papua berpuluh tahun lamanya, dan bermaksud menghabiskan hari tua di Lembang. Beliau bilang bahwa Mueseum sedang mempersiapkan pameran benda-benda Papua dan selain festival budaya Papua, ada juga FEstival Budaya Sentani yang diselenggarkaan sekitar bulan Oktober dimana masyarakat atau suku-suku yang hidup di sekitar danau Sentani menunjukkan budaya mereka. Wah, sayang sekali tidak saupun acara tersebut sesuai dengan kunjungan kami. Ongkos berkunjung ke museum sebetulnya 1000/orang. Tetapi karena tidak ada loket yang dibuka, akhirnya kami memberikan uang ala kadarnya kepada Pak Minggus.


Cuaca semakin panas, badan saya semakin tidak enak sehingga kami memutuskan untuk pulang ke hotel karena jam 1 siang sudah diajak untuk mengunjungi jayapura oleh atasan kami dengan menggunakan mobil sewaan. Dalam perjalanan dari Abepura-Sentani, kami memutuskan untuk menghapus beberapa foto yang kami ambil di museum, termasuk foto si tengkorak dan juga sepakat untuk berhenti di tepi danau untuk foto-foto. Ada beberapa pondokan di tepi danau tempat orang biasa duduk-duduk, dan kami pun berhenti disitu. Pemandandangan di sekitar danau sangat indah, sayangnya seperti umumnya tempat wisata di Indonesia yang lain, tidak didukung oleh kesadaran warga menjaga kebersihan. Kami menemukan banyak sampah di sekitar gubuk-gubuk tersebut, beserta jejak-jejak ludahan Pinang merah yang biasa dikunyah warga asli Papua. Karena namanya tepi danau, tentu saja banyak semak-semak yang mengelilinginya beserta serangga yang menyertainya. Saya juga sempat digigit serangga disitu. Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan dengan taksi ke hotel.


Karena sudah menunjukkan jam makan siang, kami memutuskan untuk makan siang di sebuah warung tepat di sebelah hotel yang menjual bakso dan ayam bakar. Yang jaga kalau dari logatnya sih terdengar seperti orang Jawa. Kami berdua memutuskan untuk memesan 2 mangkuk bakso. Setelah selesai makan, saya kembali memakan obat yang telah saya beli. Karena perut saya tidak enak, kami bergegas kembali ke hotel. Di kamar hotel, entah kenapa tiba-tiba perut saya mules luar biasa. Setelah buang air 2 kali, saya juga muntah-muntah. Krena perut saya melilit, saya bahkan tidak bisa duduk dan hanya bisa berbaring sambil meringkuk. Seperti sakit tersebut tidak cukup, badan saya gatal luar biasa dan kulit saya dari mulai muka, perut, tangan dan kaki merah-merah. Saya tidak bisa berhenti menggaruk, bahkan gatalnya menjalar hingga kepala. Karena takut gatal-gatal tersebut disebabkan oleh serangga, saya berganti pakaian tapi tetap tidak membantu. Saya juga menduga bahwa alergi saya disebabkan oleh obat yang saya minum, tetapi saya telah meminum obat demam dan antibiotik tersebut dari jaman kecil dan tidak pernah menimbulkan masalah, kecuali obatnya ganti formula karena saya memang alergi aspirin. Theresia yang khawatir akhirnya berkata apabila jam 1 siang keadaan saya tidak membaik, lebih baik saya pergi ke rumah sakit sekalian ikut rombongan si bos ke Jayapura. Namun apabila sore setelah pulang dari rumah sakit keadaan saya tidak membaik, lebih baik sore kami kembali ke museum siapa tahu sakit saya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat non medis, dengan kata lain disebabkan oleh mengambil foto si tengkorak tanpa izin.


Jam 1 siang rasa melilit di perut saya mereda, namun merah-merah di kulit saya masih ada sehingga saya memutuskan untuk bangun dan ikut rombongan ke Jayapura. Rekan-rekan saya yang lain telah menunggu dengan cukup khawatir, dan memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit terlebih dahulu. Perjalanan Sentani-Jayapura sebetulnya sangat indah dan menyenangkan, tetapi saya tidak terlalu menikmati karena badan yang masih agak meriang. Akhirnya kami tiba di RSU Jayapura dan menuju ke UGD yang kondisinya agak mengkhawatirkan dan kurang bersih. Seorang perawat mengukur tekanan darah saya dan memanggil dokter. Setelah melihat kondisi saya, dokter tersebut meminta si perawat untuk memberikan saya suntikan anti alergi. Tunggu punya tunggu si perawat tidak datang juga. Akhirnya rekan saya yang turut menunggui bertanya kepada si dokter kenapa saya menunggu begitu lama. Kemudia si dokter akhirnya datang dan bertanya apakah si perawat sudah menyuntik saya dan saya bilang belum. Dokter kemudia berkata "Ya ampun, perawatnya sudah pulang!". Saya hanya bisa melongo. Rupanya kebiasaan disana, kalau terjadi pergantian shift jaga perawat dan penggantinya belum datang, perawatnya main pulang saja. Akhirnya si dokter memberikan suntikan kepada saya. Saya kemudian menuju kasir. Theresia yang dari tadi menghilang tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh sambil membawa plastik hitam berisi 6 buah suntikan. Dia bilang si perawat meminta dia menebus resep, yang ternyata isinya suntikan. Saya cukup shock melihat jumlahnya karena membayangkan jangan-jangan saya harus menyuntik diri sendiri 6 kali lagi. Ternyata dokternya bilang tidak perlu, karena saya sudah menggunakan suntikan dari rumah sakit. Akhirnya suntikan itu nganggur.


Ketika akan membayar, saya bertanya berapa biaya yang harus dikeluarkan. Tiba-tiba dokternya bilang, "Wah, kasirnya sudah pulang!". Itulah saat-saat dimana saya biasa berkata: GUBRAK! Akhirnya si dokter yang merangkap perawat dan kasir itu bilang bahwa biaya yang diperlukan sekitar 60 ribu. JAdi rekan-rekan, saya sarankan apabila terpaksa masuk rumah sakit di Jayapura, mungkin jamnya bisa disesuaikan dengan jadwal jaga dan hindari datang di rumah sakit pada jam pergantian jaga (sekitar jam 3 sore).

foto lengkap bisa dilihat di: http://www.facebook.com/profile.php?id=563471571&ref=profile#/album.php?aid=61218&id=563471571