Senin, 24 November 2008

Jayapura Trip 3 -Tugu McArthur dan malam minggu di jayapura-

Setelah puas berbincang dengan ibu Rosa, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah seorang rekan kami. Dari hotel kami menuju ke Tugu McArthur yang terletak di puncak bukit. Jalan masuk ke arah tugu McArthur yang terletak di kawasan militer tidak terlalu jauh dari Sentani. Saya betul-betul menikmati perjalanan tersebut karena deretan pepohonan hijau mengiringi perjalanan kami. Jalan yang menanjak dan berkelok semakin membuat perjalanan berkesan, ditambah jendela mobil yang dibuka membuat kami bisa menikmati semilir angin yang berhembus. Sebelum kami memasuki tugu McArthur, kami harus berhenti di pos pemeriksaan terlebih dahulu dan menyerahkan kartu identitas masing-masing yang bisa diambil ketika pulang. Dari pos pemeriksaan, tugu McArthur tidak jauh lagi. Kami memasuki daerah perumahan tentara, dengan rumah-rumah kecil berderet rapi di atas bukit dengan halaman yang ditanami bunga. Entah kenapa saya jadi membayangkan halaman rumah Miss Marple salah satu tokoh karangan Agatha Christie.

Akhirnya tibalah kami di puncak bukit tempat tugu tersebut berada. Subhanallah, indah sekali. Di sekeliling bukit tersebut ada beberapa tempat duduk dimana kita bisa meliaht ke arah danau Sentani dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Suasananya sangat tenang dan menyenangkan. Bukit-bukit kecil di sekeliling danau juga terlihat dengan jelas. Ke arah kanan sedikit, kami dapat melihat pemandangan ke arah kota. Di dekat tugu tersebut, ada pos penjagaan yang di dalamnya terdapat foto-foto bersejarah ketika Jenderal McArthur dan pasukannya pertama kali mendarat di Jayapura. Setelah puas berfoto ria di kawasan tugu, kami sepakat untuk makan siang di restoran tepi danau bernama Youghwa restaurant.


Sepertinya Yougwha restaurant ini cukup terkenal karena pengunjungnya ramai. Bahkan kabarnya, SBY pun makan siang disini ketika mengunjungi jayapura. Restorannya terletak tepat di tepi danau Sentani dengan pemandangan ke arah pulau-pulau kecil dan bukit di sekitarnya. REstoran ini menjual aneka makanan laut maupun ikan air tawar. Kami memesan ikan rica-rica, capcay dan udang. Rasanya tidak mengecewakan. Selesai makan siang, kami menuju ke kota Jayapura untuk kembali berburu souvenir. Kami bertanya kepada supir apakah ada tempat yang menjual kain khas Papua, ternyata ada. Kali ini saya sangat menikmati perjalanan menuju Jayapura. Tebing-tebing tinggi mengelilingi kota Jayapura di sebelah kiri apabila kita memasukinya dari arah bandara. Di sebelah kanan, kita bisa melihat kota, laut dan pelabuhan. Sangat mengesankan. Supir membawa kami ke daerah bernama Dok V untuk menuju ke suatu koperasi yang menjual kain motif papua. Sayangnya tempat tersebut tutup.

Ketika kami mengisi bensin, Theresia sempat bertanya kepada penjaga pom tersebut apakah ada toko yang menjual batik Papua dan kami beruntung karena toko tersebut berada tidak jauh dari pom bensin meski agak masuk ke dalam. Nama toko tersebut adalah Aneka Batik yang terletak di Jl Samudra Maya No 36 Dok V Bawah Papua. Sebetulnya saya sendiri tidak begitu yakin apabila masyarakat Papua mempunyai budaya menggunakan kain, apalagi batik. Tetapi namanya saja jaman globalisasi, apapun bisa dijual oleh siapapun. Toko tersebut menjual aneka kain termasuk sutra dan sutra tulis dengan motif yang memang tidak pernah saya temukan di Jawa. Berhubung harga sutra tulisnya 200rb per meter, saya memilih membeli bahan biasa saja seharga 170rb/ 3 meter dengan motif yang sangat bagus.


Selesai berbelanja, kami ingin sekali mengunjungi pantai. Ternyata pantai terdekat itu berada di wilayah Hamadi, dekat dengan lokasi toko souvenir. kami sempat berfoto di pelabuhan yang terletak di tengah kota dimana kapal-kapal yang sandar bercampur dengan orang-orang yang berenang dan bermain air. Hari menjelang sore dan cuaca mendung. Kami sangat berharap agar hujan tidak turun dan kami bisa menikmati suasanan pantai. Supir kami minta untuk bergegas, agar matahari tidak keburu tenggelam ketika kami tiba di pantai Hamadi. DAri jalan besar, pantai Hamadi agak masuk ke dalam tetapi tidak berapa jauh. Setiap mobil yang masuk ke arah pantai dikenai biaya 5.000, tetapi mobil kami kena 10.000 mungkin karena si bos yang bule terlihat dari luar. Buat saya, pantai Hamadi mempunyai pemandangan yang unik. Di satu sisi kita dapat melihat pantai, di seberang pantai terlihat deretan rawa-rawa yang dilatarbelakangi oleh barisan bukit. Cuaca yang mendung memberikan sensasi tersendiri.

Hujan mulai turun, dan kami kembali ke mobil untuk kemudian kembali ke daerah toko souvenir. Setelah puas berbelanja, kami kelaparan dan ingin menikmati makan malam dengan suasana yang berbeda. Kami minta supir untuk kembali mengantarkan kami ke resoran di atas bukit, namun supir kami bilang bahwa restoran tersebut tutup sampai Desmeber karena pemiliknya sedang pulang kampung ke makassar. Wah, sepertinya bisnis restoran di Jayapura menjanjikan sampai si pemilik restoran cukup kaya hingga bisa berlibur berbulan-bulan tanpa harus membuka usahanya.


Sayangnya, supir yang asli NTT itu tidak terlalu mengenal jalan di Jayapura. bos saya minta agar kami dibawa makan di tepi laut. Dia membawa kami ke deretan ruko dekat laut. Jelas bos saya protes. Akhirnya dia ngotot agar si supir membelokkan mobil ke daerah belakang ruko di dekat Siwss Bell hotel, menuju ke arah laut. Beruntunglah kami, karena tenryata di ujung jalan buntu tersebut ada tempat makan bernama Blue Cafe. Tempatnya dikelilingi lampu aneka warna, dan balkon-balkon kecil di tepi laut tempat kita bisa duduk-duduk. Pemandangan yang bisa didapatkan dari restoran tersebut adalah city lights dari arah bukit-bukit di sekitar Jayapura. Mungkin tidak salah apabila Jayapura disebut sebagai Hongkongnya Indonesia. REstoran tersebut menyajikan makanan laut yang ikan, udang dan cuminya dapat kita pilih dan kemudian mereka bakar. Gabungan antara seafood panas yang mengepul di atas meja, angin laut dan city lights menimbulkan suasana yang luar biasa. Karena malam itu malam minggu, restoran tersebut juga disertai oleh pertunjukkan live music.

Ada satu benda yang tidak berhasil saya temukan, yaitu coca cola Papua New Guinea pesanan teman saya yang gemar mencoba coca cola dari berbagai negara. Si supir bilang, barang tersebut tidak diijinkan lagi masuk ke Jayapura dan hanya bisa didapatkan di daerah perbatasan. DAerah perbatasan dari Jayapura memakan waktu sekitar 2 jam dengan mobil. Sayang sekali itu adalah malam terakhir kami di Jayapura. Apabila tidak, tentu dengan senang hati saya pergi ke daerah perbatasan untuk berkunjung ke PNG. Walau tidak bawa paspor, kabarnya bisa masuk dengan menggunakan Surat perjalanan laksana paspor yang bisa dibikin di tempat.


Setelah kenyang, kami kembali ke hotel. Perjalanan pulang justru membuat saya terkaget-kaget. Ada beberapa jalan yang tidak saya perhatikan ketika pergi, dan ketika malam justru menarik perhatian saya. Di Papua ada mall baru yang cukup besar. Kalau gak salah namanya jayapura ITC atau sesuatu seperti itulah. Di sana, kita bisa menemukan Centro Departmen Store! luar biasa... tidak jauh dari Centro, kita juga bisa menemukan Krisbow Store, toko yang tentu saja khusus menjual alat-alat produk Krisbow.

Kekagetan saya semakin bertambah ketika di daerah Abepura kami terjebak.... macet. Karena saat itu malam minggu, sepertinya semua orang berniat menghabiskan waktu di luar rumah dan memenuhi toko-toko yang berderet di sepanjang jalan di Abepura, termasuk di depan KFC. Siapa sangka di sebuah kota yang terletak di ujung timur Indonesia dan membutuhkan waktu 9 jam dengan pesawat saya masih akan menemukan suasana macet. Malam itu tanggal 8 November, 2 hari sebelum hari pahlawan. Ketika melewati Taman Makam Pahlawan di daerah Abepura, ada pamandangan yang cukup mengesankan karena setiap makam dihiasi oleh lilin-lilin yang terang benderang dan menimbulkan suasana syahdu.


Ada satu hal yang membuat atasan saya penasaran. Di meja resepsionis, ada sepasang patung bebentuk orang Papua yang bentuknya cukup bagus dan diletakkan dalam kotak kaca. Sayangya, kami tidak dapat menemukan patung sejenis di setiap toko yang kami datangi. Akhirnya kami bertanya kepada resepsionis dimana patung tersebut bisa didapatkan. Resepsionisnya bilang, "Kayunya memang dibawa dari sini, tetapi patungnya diukir di Yogya". Kembali saya dan Theresia gubrak dengan sukses.


Esok paginya kami harus berangkat ke bandara untuk menuju ke makassar. Bandara Sentani minggu pagi itu sangat penuh karena ternyata berbarengan dengan keberangkatan rombongan haji dari Papua. Lebih repot lagi, bandara tersebut tidak menyediakan troli sehingga barang bawaan kami yang cukup banyak itu harus dibawa oleh 2 porter ditambah anggota rombongan sebanyak 5 orang. akhirnya pesawat Lion Air tujuan Makassar lepas landas meninggalkan tanah Papua. Semoga lain waktu, saya bisa mengunjungi kota yang berbeda di Papua. Sepertinya Sorong dan Raja Ampatnya tempat yang menarik untuk snorkling...

Tidak ada komentar: