Senin, 24 November 2008

jayapura trip 2 -berburu souvenir-

Setelah dari rumah sakit, kami memutuskan untuk pergi makan siang. Tadinya kami mau makan di sebuah restoran di atas bukit dimana kita bisa melihat pemandangan ke arah kota jayapura, tenyata restoran tersebut sedang tutup. Akhirnya kami makan di sebuah restoran yang menyediakan masakan Cina yang terletak di kompleks pertokoan dekat Swiss Bell Hotel. Rasa makanannya lumayan, dan cukup mengenyangkan meskipun tidak istimewa. Harga yang dibanderol pun tidak mahal. Setelah selesai makan siang, atasan saya memutuskan untuk berkunjung terlebih dahulu ke kantor Unicef Jayapura terkait dengan urusan kantor.


Dalam perjalanan, saya melihat bahwa Jayapura adalah kota yang sangat hidup dan ramai dengan penduduk yang sangat beragam, gabungan antara penduduk asli dan kaum pendatang. Dua tahun yang lalu saya pernah tinggal di Banda Aceh, dan sebagai perbandingan jayapura jauh lebih ramai, jauh lebih hidup. Di sepanjang jalan saya bisa melihat orang berjualan pecel lele, ayam goreng, rumah makan padang, martabak, dan aneka macam hidangan lainnya yang buka hingga larut malam. Jadi tidak usah khawatir akan keberadaan makanan di Jayapura, termasuk makanan halal sekalipun.


Dari kantor Unicef kami bergerak ke pusat kerajinan di daerah Hamadi yang berjarak sekitar 30 menit dari kota Jayapura. Di hamadi, toko Souvenir berjejer menawarkan aneka macam barang khas Papua seperti ukiran Asmat, Biak, koteka, tas dari kulit kayu, dll. Semua pemilik toko di Hamadi adalah pendatang, terutama dari Sulawesi Selatan yang menampung produk yang dibuat oleh penduduk asli papua terutama yang tinggal di daerah Sentani. Penduduk asli Papua hanya sesekali terlihat melintas di daerah Hamadi. Atasan saya dan Theresia sibuk memilih begitu banyak barang untuk dipajang di kantor kami di jakarta. Saya hanya sempat melihat beberapa toko saja dan memutuskan untuk beristirahat di mobil karena kepala saya masih sakit.
Hari telah larut dan kami memutuskan untuk makan malam di daerah Sentani saja. Sayangnya, restoran yang akan kami datangi terlewati dan kami harus mencari restoran lain. Supir menyarankan kami untuk makan di sebuah restoran bernama Micky restoran, tempat dimana ia sering membawa para tamu untuk makan. REstorannya tidak terlalu besar, namun menu makanannya cukup lengkap dari mulai western hingga masakan Cina dengan kisaran harga 20.000-40.000 untuk menu yang bisa dishare.


Saya juga mendapatkan pengetahuan baru mengenai masalah minuman. Di Papua, mereka menyediakan jus berwarna ungu dengan rasa asam yang diberi nama terong wamena. Di Aceh namanya terong Belanda, di Ujung Pandang namanya Terong Ujung Bandang. Ibu saya yang orang Sunda bilang Terong kori. Bendanya si sama saja. Di restoran tersebut kami melihat beberapa ekspaktriat (bule). Berdasarkan hasil perbincangan saya dengan supir, kalangan ekspatriat memang banyak tinggal di sekitar Sentani dan mereka biasnaya bekerja di perusahaan penerbangan karena letak Sentani yang dekat dengan bandara. Setiba di hotel, saya melihat ada setitik noda darah di bagian pinggul celana saya. Saya bingung asalnya dari mana. Setelah saya perhatikan, ternyata dari tempat bekas saya disuntik. saya baru sadar rupanya ketika tadi sore si dokter menyuntik saya, dia tidak menggunakan alkohol sebelum dan sesudah menyuntik, juga tidak memberikan plester untuk menutupi bekas suntikan. Ada-ada saja! Sampai saat ini pun saya tetap belum tahu apa yang bikin saya sakit waktu itu.


Hari ketiga dan keempat tidak banyak kami habiskan untuk berjalan-jalan sehubungan training jurnalistik bagi media Papua yang kami selenggarakan bekerja sama dengan Unicef sehubungan dengan hari cuci tangan pakai sabun sedunia. Ada fakta cukup menarik yang kami dapat dari pihak Unicef sehubungan dengan kondisi sanitasi di Papua. Untuk banyak daerah, membangun fasilitas MCK sangat sulit karena harga bahan bangunan yang mahal. sebagai contoh, satu sak semen di Jayapura harganya sekitar 80rb, di Wamena menjadi 400rb, sedangkan di Puncak Jaya bisa mencapai 1.6 juta belum termasuk ongkos menerbangkannya dengan pesawat. Sungguh mencengangkan. Malam ketiga saya dan theresia memesan room service yang porsinya tenryata sangat besar. Baru malam keempat rombongan kami mempunyai waktu luang untuk makan malam di luar, sebuah restoran di daerah Sentani yang saya lupa namanya, juga dengan pengunjung kalangan ekspatriat dan menu yang setipe dengan restoran Micky. Rasa dan harganya juga mirip-mirip. Cukup memuaskanlah....


Keesokan harinya, atau hari Sabtu adalah hari luang terakhir kami di Jayapura. Kami memulai kegiatan dengan berburu souvenir di sekitar Sentani karena hari-hari sebelumnya kami melihat plang "Souvenir center". Si bos bilang, daripada beli di hamadi, lebih baik dia membeli dari souvenir yang memang hasilnya untuk orang papua sendiri. Tujuan pertama adalah letlet hut berupa sebuah rumah kecil dengan halaman yang luas di pinggir jalan raya hawaii sentani. Seorang gadis Papua menjaga ruangan tersebut. Jumlah barang yang dijajakan memang tidak sebanyak di Hamadi, tapi ada beberapa yang unik. Saya melihat patung-patung kecil terbuat dari batok kelapa berupa satu group malaikat yang sedang bermain alat musik atau yang satu lagi berupa paduan suara. Sayang harganya untuk benda-benda sekecil itu mencapai hampir 250rb tidak termasuk resiko patah ketika dimasukkan dalam koper. Letlet hut sendiri berada di bawah sebuah yayasan yang kalau tidak salah dikelola oleh para misionaris. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli beberapa souvenir termasuk kartu-kartu dengan gambar yang sangat unik.


Tujuan berikutnya adalah Rumah Agape. Tempatnya lebih kecil lagi, juga dijaga oleh seorang gadis Papua. Mereka mempunyai beberapa koleksi patung yang unik.
Kebetulan, pemilik Rumah Agape datang. beliau bernama ibu Rosa, seorang wanita asal Meksiko yang datang ke Papua 40 tahun yang lalu bersama suaminya yang misionaris. Ketika suaminya meninggal, Ibu Rosa memutuskan untuk tetap tinggal di Sentani dan akhirnya menjadi WNI. Beliau bercerita bahwa Rumah Agape menampung kerajinan-kerajinan yang dibuat penduduk asli Papua. Harga yang dibanderol untuk setiap barang adalah harga yang diajukan si pemilik barang tanpa ibu Rosa mengambil keuntungan. Jadi, tidak ada tawar-menawar di toko ini.


Rumah Agape juga menjual kopi Wamena yang harganya 7.000/100 gram. biasanya, para ekspatriat yang tinggal di sentani memesan kopi yang digiling sesuai keinginan kepada ibu Rosa. Beliau banyak bercerita tentang kondisi Papua saat ini, termasuk kegiatannya mengadakan kelas membaca dan menulis bagi penduduk sekitar yang buta huruf. DAri cerita beliau, saya bisa menangkap kekhawatirannya sehubungan dengan penyebaran AIDS di Papua. Beliau bilang, karena tingkat penyebaran AIDS sangat tinggi, para laki-laki mencari perempuan yang usianya semakin muda terutama perawan karena dianggap lebih bersih dan aman. Ibu rosa menggunakan istilah "There is almost no virgin anymore". Betul atau tidaknya tentu perlu dibuktikan dengan statistik.

foto lengkap bisa dilihat di: http://www.facebook.com/profile.php?id=563471571&ref=profile#/album.php?aid=61218&id=563471571

Tidak ada komentar: