Senin, 16 Maret 2009

trip review part 1: Menjajal kuliner banda aceh

Ketika 2 tahun lalu saya meninggalkan Aceh setelah kontrak kerja selesai, saya berharap akan dapat mengunjungi bumi Serambi Mekah lagi. Ternyata, harapan saya terkabul, karena saya mendapatkan kesempatan untuk kembali menjejakkan kaki di Aceh.

Hari pertama saya tiba di Aceh, saya sudah dapat melihat perubahan fisik yang signifikan. Setidaknya, bandara Sultan Iskandar Muda atau yang lebih familiar disebut Blang Bintang telah direnovasi menjadi bandara internasional (ada rute air asia banda aceh-kuala lumpur) dan 6 hari setelah saya tiba diresmikan oleh presiden. Jalan dari Bandara menuju pusat kota pun menjadi sangat mulus beraspal.

Saya tinggal di hotel 61, sebuah hotel berbintang dua di daerah simpang lima, daerah pusat kota Banda Aceh. Secara lokasi, hotel ini memang sempurna karena tepat terletak di pusat kota dengan akses angkutan umum, becak, dan tempat-tempat makan yang bisa ditempuh berjalan kaki, toko souvernir, bank, warnet, atm,dll. Fasilitas wifi pun tersedia di setiap kamar. Sayangnya hotel 3 lantai tersebut tidak ada lift. Sebenarnya, banyak juga hotel lain sekelas di Banda Aceh yang juga tanpa lift. Makan pagi di antar ke kamar dengan menu roti, 2 potong sosis goreng yang kadang berkurang jadi 1, dan telur goreng, kecuali hari rabu yang menunya diganti menjadi nasi goreng dengan telur. Pada saat saya tinggal disana, telepon pabx kamar belum berfungsi yang seringkali menyulitkan saya untuk memanggil bell boy atau room service karena harus turun ke lantai 1, dan air panas di kamar mandi yang datang dan pergi. Salah satu penghiburan tinggal di hotel ini adalah letaknya yang tepat di atas restoran A&W. Lumayanlah kalau bosen sama roti, bisa makan burger (in ironic way)

Malam pertama, rekan kerja saya belum datang jadi saya harus makan malam sendirian. Sebetulnya di Aceh tidak umum perempuan makan sendirian, apalagi di malam hari. Tapi karena perut sudah tidak tahan, akhirnya saya memutuskan untuk makan malam di restoran Gunung salju yang letaknya di seberang hotel. Gunung salju ini terkenal karena menyediakan menu bistik dan es krim buatan sendiri. Deritan sertifikat terpampang di dinding restoran. Ketika satu piring bistik tiba di meja saya, ternyata wujudnya tidak berubah. potongan daging, dengan daun selada, kentang dan saus coklat kental yang rasanya agak manis. Kalau tertarik, bisa juga mencoba mie bistiknya. Untuk ice cream home madenya lumayan juga, ada yang dicampur jus belimbing segala jadi rasanya semriwing asam manis.

Baru besok malamnya saya bisa mencicipi mie kepiting rajali yang sudah saya idamkan sejak dari Jakarta. Mie Rajali terletak sejajar dengan bistik gunung salju, di daerah peunayong-simpang lima. Satu porsi mie Aceh, datang dengan potongan kepiting yang besar-besar. hmmmm spicy dan mantap banget deh. Ada satu tempat masakan kesukaan saya yang paling tepat dinikmati siang hari. Namanya restoran Ujong Batee, yang terletak di daerah Jambotape seberang kantor polisi. REstoran ini menyediakan aneka masakan, tetapi yang paling top itu gulai kepitingnya. Satu porsi besar gulai kepiting itu harganya 60rb. Tetapi karena teman saya bukan penggemar berat kepiting, jadi saya tidak makan gulainya karena takut tidak habis. Adalagi menu kesukaan saya di tempat ini yaitu sayur bunga kates (pepaya) dan juga urab bunga kates. pahit, spicy, sedikit pedas. yummy.... di restoran ini, paling tepat mengakhiri makan siang dengan segelas rujak aceh yang menurut saya lebih cocok dipanggil es buah. Malam harinya, saya dan teman saya menjamu tamu di Banda seafood cabang Ulhee leu. LEtaknya di pinggir laut, dekat pelabuhan Ulhee leu. Sayangnya karena kesana malam hari, kami tidak bisa melihat perbukitan dan kapal-kapal yang hilir mudik di sekitar situ. DAri namanya sudah jelas kalau restoran ini menyediakan seafood. Kita bisa memilih seafood segar dari box es yang tersedia untuk diolah dengan berbagai bumbu masakan. Sepertinya Banda Seafood Ulhe leu sedang naik daun, karena rombongan kami pada saat itu berbarengan dengan rombongan gubernur Aceh yang sedang menjamu seorang menteri.

Di dekat simpang lima, ada tempat bernama rex berbentuk lapangan yang menampung penjaja makanan kaki lima di malam hari. Jumlah pedagangnya banyak, tapi kalau diperhatikan jenis makanan yang dijual itu sangat terbatas. Nasi goreng, mie aceh, kerang rebus, martabak aceh, sate matang dan sate jawa serta juice. Di daerah seberang hotel 61 sendiri kalau malam banyak juga penjual makanan seperti roti cane kari yang belum sempat saya coba, kebab baba rafi yang mulai menjamur di Banda Aceh, dan roti bakar bandung. Sebagai orang sunda yang dalam selera makan beda tipis sama kambing, makanan Aceh yang selalu berbumbu terkadang bikin bosan. Tempat pelarian saya dulu adalah sebuah warung chinese food di dekat Rex bernama purnama yang menjual aneka macam tumis sayuran. Ketika kemarin saya kesana, saya pesan puyonghai yang bentuk dan rasanya biasa banget. Percobaan berikutnya adalah warung nasi uduk di sebelah purnama yang punya tumis sayur bunga kates yang enak banget. sayang waktu kesana sayurnya sudah habis dan rasa nasi uduk dengan dendengnya gak istimewa.

Restoran yang akan terakhir saya bahas adalah Kok Phin Kitchen, yang diambil dari nama kokinya, kok phin. Dulu, Kok Phin kerja untuk restoran bernama imperial kitchen di daerah Setui yang sekitar tahun 2006 itu tempat berkumpulnya expatriat Banda Aceh. Gosipnya, karena ada ketidaksesuaian dengan pemilik restoran yang lama, si koki membuka tempat sendiri tidak jauh dari tempat yang lama yang masih tetap berdiri. akhirnya saya sempat juga mengunjungi restoran yang baru berbentuk ruko 4 lantai. Kok Phin seperti biasa selalu menyambut tamu-tamunya dengan celana pendek. Agar mendapatkan view, kami duduk di lantai dua yang sepi, karena lantai 3 yanga da ruangan karaoke juga sudah dipesan. Sepertinya ada penurunan target market dari Kok Pin dibandingkan dengan Imperial Kitchen. Dulu, sambil menunggu makanan siap, kita disuguhi kacang dan juga disediakan handuk basah. Sekarang tidak lagi. Rasnaya harga makanan pun sedikit lebih murah. saya memesan menu favorit saya hasil olahan Kok Phin yaitu kepiting asam manis dan udang goreng mayonaise, ditambah capcay. Rasanya masih seperti yang saya ingat, dan masih tetap enak. Sayangnya, pelayan di restoran ini tidak mempunyai pengetahuan produk yang baik seperti 1 kepiting kurang lebih berapa ratus gram, bumbunya apa saja, dll tapi hal seperti ini memang terjadi di hampir semua tempat makan di Banda Aceh. Pelayan hampir selalu bertanya kepada kokinya apabila ada customer yang rajin bertanya.

Tidak ada komentar: