Jumat, 19 Juni 2009

kampung naga

catper Kampung Naga

Dengan menggunakan bus carteran, saya dan keluarga besar beberapa waktu lalu pergi mengunjungi garut dan kampung naga. Titik tolak keberangkatan kami adalah garut, karena pada saat itu adalah pemilu dan ada sebagian yang menggunakan hak pilihnya disana. Perjalanan dari Leles-Garut menuju kampung naga melewati jalan yang berkelok-kelok tapi dengan pemandangan yang sangat indah. Waktu tempuh antara Leles-Kmpung Naga dengan bus sewaan itu sekitar 1 jam. Di sepanjang perjalanan, terutama di sebelah kiri jalan dari arah kota Garut, kita bisa melihat pemandnagan lembah, sawah dan sungai yang menawan, sangat menyegarkan pandangan.


Kampung naga ternyata terletak di sebelah kiri jalan, dan ada semacam gapura besar menandai pintu masuknya. Hal pertama yang kami lihat adalah lapangan parkir kendaraan. Awalnya saya bertanya dimana letak kampungnya. Berjalanlah kami ke dalam, dan ternyata tidak jauh dari parkir bus ada semacam pos penjagaan dengan plang yang menuliskan syarat-syarat mengenai bagaimana cara memasuki kampung naga. Disitu sih tertulis kalau ingin mengunjungi kampung naga harus ada surat izin tertulis dari si tetua kampung, dll, apalagi kalau ingin melakukan penelitian. Tapi ternyata ada cara lain. Satiap hari, ada penduduk kampung naga yang mendapatkan giliran untuk berjaga di pos dan menemani tamu apabila ada yang ingin berkunjung ke kampung naga. Akhirnya kami pun menggunakan jasa bapak tersebut. Biaya yang dikeluarkan sama sekali tidak mahal. 100rb itu sudah termasuk parkir dan guide yang mendapingi sekitar 40 orang. jumlahnya sebenernya sukarela sih, kecuali biaya parkir. asal kita nanti belanja saja di tempat souvenir.


Setelah lepas deretan warung, hal yang pertama kami lihat adalah tangga. Beberapa dari saudara saya yang sudah sepuh memutuskan untuk membatalkan perjalanan mereka dan menunggu saja di tempat awal. Tangga tersebut curam berkelok menuju ke bawah. Semua orang yang memutuskan untuk turun langsung berpikiran "wah, baliknya gimana nih?". Tapi saya pribadi sangat menikmati perjalanan ke bawah tersebut. Total, ada sekitar 360 anak tangga yang harus dilalui untuk mencapai lembah kampung naga, karena kampung tersebut terletak jauh di bawah permukaan jalan. Bahkan katanya nama kamppung naga sendiri diambil dari bentuk anak tangganya yang berkelok seperti naga. katanya lho ya.... Pemandangan dari anak-anak tangga tersebut cukup menakjubkan. Sawah-sawah yang berbentuk terasering menghiasi perbukitan yang menghadap sungai besar. Bahkan, ada air terjun mini di dekat bukit tersebut. Dari kejauhan, atap-atap rumah kampung naga yang terbuat dari ijuk sudah mulai terlihat.


Kita pun melintasi gang-gang rumah penduduk kampung tersebut, dan semua rumah menghadap ke arah yang sama serta terbuat dari bilik sederhana. Ada beberapa peraturan yang ahrus diikuti oleh warga kampung. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan listrik, tapi boleh mendapatkan listrik dengan accu, atau penerangan dengan menggunakan minyak tanah. Awalnya saya membayangkan kalau kampung naga itu adalah kampung yang sangat kuno dan seolah membawa kita ke jaman yang berbeda. Tapi ternyata gak sekuno itu juga, soalnya mereka boleh punya tv asal pake accu dan bukan listrik. Jadi, deretan antena tv menghiasi atap perumahan mereka. hmmmm sebenernya amsih cocok disebut kampung adat gak yah kalau begitu? Saya termasuk yang kurang puas dengan ketidakunoan kampung tersebut. Ibu saya bilang, bahwa keadaan kampung naga tersebut mirip dengan kondisi garut di tahun 1960an. bibi saya yang jauh lebih muda dari ibu saya bilang bahwa dia masih mengalami kehidupan seperti di kampung naga tersebut. Saya sempat bertanya apakah anak-anak kampung naga diizinkan bersekolah. Ternyata mereka diizinkan bersekolah, walau letak sekolah tidak ada di kampung tersebut jadi harus keluar kampung dan melewati 360 anak tangga itu setiap harinya.


Bentuk dan bahan material rumah satu dan lainnya sama. Di bukit perumahan yang paling tinggi, ada satu rumah yang disebut rumah ageung (dalam bahasa indonesia artinya rumah besar). Rumah ini tidak boleh dimasuki sembarangan orang. Hanya tetua adat saja yang boleh memasuki rumah tersebut dan mengetahui apa isinya. Kalau dilihat dari luar, rumah ini tidak memiliki jendela, dikelilingi oleh pagar dan tanaman yang menghalangi pandangan ke arah dalam. Kami pun tidak boleh mengambil foto dari tepat di depan rumah tersebut, harus dari jarak yang agak jauh. Tapi kamera sekarang kan ada zoomnya, jadi ya gak terlalu berpengaruh juga. Salah satu sepupu saya yang masih anak kuliahan malah bilang "teh, kok orang di kampung ini gak penasaran yah? kalo nisa yang tinggal disini nisa mau ngendap malem-malem biar tau apa isinya." huahahhahaha.


Guide yang menjadi petunjuk jalan mengajak kami berkeliling kampung dan melihat bentuk dapur tradisional, isi dalam rumah, dll. Salah satu hal yang masih mereka pegang teguh adalah larangan-larangan adat seperti menebang pohon. Mereka masih menggunakan cara tradisional dalam mengelola ternak mereka. Bahkan guidenya bilang, karena masih menggunakan tradisi itulah ayam-ayam mereka walaupun wabah flu burung melanda tapi tetap sehat walafiat. Salah satu hal yang menurut saya lucu di kampung tersebut adalah, saya melihat salah satu penduduknya sedang mencukur habis bulu dombanya dengan menggunakan gunting. wah kayak di new zealand aja. Ada beberapa toko souvenir yang dimiliki penduduk kampung tersebut dan menjual alat maupun aksesoris tradisional. Toko souvenir mana yang dikunjungi adalah tergantung dari siapa guide hari itu, karena biasanya toko tersebut adalah milik guidenya. jadi semua toko akan mendapat giliran masing-masing tanpa harus rebutan. Agak menyesal juga saya kurang banyak ngobrol sama guidenya karena lebih banyak foto-foto.


Di arah keluar kampung, ada sebuah sungai dengan banyak bebatuan yang di atasnya. Banyak dari keponakan saya terutama yang cowok, langsung bersemangat menceburkan diri dan bermain di sungai tersebut. Maklum di Bandung sungai sudah sangat tercemar sehingga jarang-jarang mereka bisa mendapatkan kesempatan langka berenang di sungai. Ketika kami sudah akan pulang, ada rombongan turis bule yang baru datang. Dari logat mereka, sepertinya berasal kalau tidak dari belanda ya dari jerman. Salah satu dari mereka bahkan mencoba untuk pipis di bilik toilet tradisinal yang disebut pacilingan oleh orang Sunda berbentuk bilik setengah badan. Jadi kalau berdiri, pinggang keatas akan terlihat dari lur. Atas izin bule tersebut, saya ambil fotonya :-D


Tibalah saatnya pulang. Ketika melewati sawah-sawah saya masih bisa riang gembira. Menaiki anak tangga awal pun masih bisa sambil nyanyi-nyanyi. semakin tinggi anak tangga, saya semakin ngos-ngosan. Bahkan di beberapa bagian setiap 5 anak tangga saya berhenti, begitu pula kakak laki-laki saya. Bahkan tante saya sempat menawarkan bantuan, jadi agak memalukan memang situasinya. Untung saja di tengah perjalanan tangga itu ada warung, jadi kami berhenti sebentar buat minum dan beristirahat sejenak. Baiklah, masih lebih dari 100 anak tangga lagi yang harus dilewati untuk mencapai tempat parkir. Selangkah demi selangkah dlewati, dan akhirnya tanda-tanda peradaban muncul juga. Di atas keluarga besar saya sudah menunggu. kakak saya sampai sebelum saya dan saya sampai terakhir! Begitu saya sampai para sesepuh, ibu, uwa, bibi, emang semua menyoraki dan tepuk tangan. Duh... muka...ditaro dimana nih? Ternyata, dari satu bis, juara pertama meniti tangga adalah uwak saya yang berusia 73th, disusul ibu saya yang 67th tanpa beristirahat di satu anak tangga pun. ruarrrr biasaaa! Lebih luar biasa lagi anak-anak kampung naga yang setiap hari harus melewati anak tangga menyiksa itu untuk bersekolah. Sepertinya porsi olahraga saya harus ditingkakan nih, atau kembali makan daun-daunan lalab seperti sesepuh keluarga saya itu. biar kayak kambing, back to nature sepertinya bikin sehat.....


Setelah beristirahat sejenak dan mengisi kembali cairan tubuh, bus pun kembali bertolak ke garut. Rendaman air panas pegunungan di cipanas telah menanti. Duh, enaknya habis cape turuni lembah mendaki bukit terus merendam badan di air panas berbelerang. my "ah..." moment.

Tidak ada komentar: